Kamis, 12 Maret 2009

f)Pendidikan anak usia dini

a.artikel 1

PAUD AWAL KUALITAS ANAK MENYONGSONG MASA DEPAN.

Pada Undang-Undang Khusus yang mengatur tentang anak yaitu dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada pasal 53 ayat (1): Pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan biaya pendidikan dan/atau bantuan cuma-cuma atau pelayanan khusus bagi anak dari keluarga tidak mampu, anak telantar, dan anak yang bertempat tinggal di daerah terpencil.
Implikasi undang-undang itu adalah anak dari keluarga tidak mampu akan mendapatkan biaya pendidikan secara cuma-cuma dari pemerintah. Permasalahannya, bagaimana pemerintah menyosialisasikan dan membuat masyarakat mudah mengaksesnya.
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sedang digalakkan di berbagai tempat di wilayah Indonesia. Pendidikan anak memang harus dimulai sejak dini, agar anak bisa mengembangkan potensinya secara optimal. Anak-anak yang mengikuti PAUD menjadi lebih mandiri, disiplin, dan mudah diarahkan untuk menyerap ilmu pengetahuan secara optimal.
Itulah yang saya alami sebagai guru Madrasah Ibtidaiyah atau sekolah yang setara dengan sekolah dasar di ujung UTara Kabupaten Magelang karena kebetulan saya mengampu kelas satu.Siswa yang sebelumnya memperoleh PAUD akan sangat berbeda dengan siswa yang sama sekali tidak tersentuh PAUD baik informal maupun nonformal. Ibarat jalan masuk menuju pendidikan dasar, PAUD memuluskan jalan itu sehingga anak menjadi lebih mandiri, lebih disiplin, dan lebih mudah mengembangkan kecerdasan majemuk anak.
Fenomena yang terjadi di Kabupaten Magelang mulai tahun ajaran baru 2007-2008 pemerintah memperbolehkan anak masuk SD tanpa melalui TK. Anjuran tersebut harus dipertimbangkan lagi jika pemerintah ingin menyukseskan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun. Dari hasil observasi di beberapa MI dan SD, tingkat drop out siswa SD yang tidak melalui TK lebih tinggi daripada siswa yang melalui TK. Pemerintah harus memikirkan akibat yang ditimbulkan. Kesenjangan pasti terjadi.
Pemerintah harus lebih tanggap pada fenomena tersebut, karena dengan memperbolehkan anak masuk SD tanpa melalui TK berarti telah mengabaikan suatu pendidikan di usia dini yang paling dasar bagi anak. Konsep bermain sambil belajar serta belajar sambil bermain pada PAUD merupakan pondasi yang mengarahkan anak pada pengembangan kemampuan yang lebih beragam. Kebijakan pemerintah kabupaten akan ikut menentukan nasib anak serta kualitas anak di masa depan.
Masa depan yang berkualitas tidak datang dengan tiba-tiba, oleh karena itu lewat PAUD kita pasang pondasi yang kuat agar di kemudian hari anak bisa berdiri kokoh dan menjadi sosok manusia yang berkualitas.
Di samping pemerintah, masyarakat adalah komunitas yang sangat berperan untuk mengembangkan PAUD. Jika kendalanya masalah biaya, masyarakat dalam hal ini lembaga penyelenggara PAUD bisa menyiasatinya dengan mereduksi biaya melalui kreativitas membuat alat peraga sendiri, menghilangkan kewajiban seragam, serta memenuhi gizi anak-anak PAUD melalui program pemerintah.
Alternatif lain PAUD bisa diselenggarakan oleh kelompok perempuan di masyarakat, dengan membekali diri melalui pelatihan PAUD (banyak organisasi/LSM yang bersedia mmeberikan pelatihan cuma-cuma). Mereka bisa bergantian menjadi pendamping anak-anak pada PAUD. Tentu saja untuk menerapkan ide ini diperlukan inisiasi pemerintah untuk menyosialisasikan serta memberdayakan masyarakat terutama di daerah terpencil.
PAUD nonformal khusus seperti Taman Pendidikan Alquran juga bisa diintegrasikan dengan PAUD umum yang bertujuan mengoptimalkan pengembangan kecerdasan majemuk anak.
Kita bisa memulainya dari mana saja terutama dari diri kita masing-masing. Berikanlah yang terbaik buat anak untuk menyongsong masa depannya, masa depan anak Indonesia yang cemerlang.


b.artikel 2

Pendidikan Matematika pada Anak Usia Dini


Rendahnya mutu pendidikan masih disandang bangsa Indonesia. Hal ini dapat diminimalkan dengan mengoptimalkan pendidikan pada anak sejak dini, terutama pendidikan matematika. Mengingat image masyarakat terhadap matematika yang menganggap pelajaran yang menakutkan. Padahal, matematika dapat diberikan kepada anak sejak usia 0+ tahun.

Anak pada usia 0-6 tahun perlu mendapat perhatian khusus karena pada usia inilah kesiapan mental dan emosional anak mulai dibentuk. Penelitian terhadap Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) menunjukkan bahwa mutu pendidikan dan keberhasilan akademis secara signifikan dipengaruhi oleh kualitas masukan pendidikan yaitu kesiapan mental dan emosional anak memasuki sekolah dasar.

Anak mulai belajar dan beradaptasi dengan lingkungannya sejak bayi. Hal ini dikarenakan pertumbuhan otak bayi dibentuk pada usia 0-6 tahun. Oleh sebab itu asupan nutrisi yang cukup juga harus diperhatikan. Para ahli neurologi meyakini sekitar 50% kapasitas kecerdasan manusia terjadi pada usia 4 tahun, 80% terjadi ketika usia 8 tahun, dan 100% ketika anak mencapai usia 8 - 18 tahun.

Itulah sebabnya, mengapa masa anak-anak dinamakan masa keemasan. Sebab, setelah masa perkembangan ini lewat, berapapun kapabilitas kecerdasan yang dicapai oleh masing-masing individu, tidak akan meningkat lagi.

Bagi yang memiliki anak, tentu tidak ingin melewatkan masa keemasan ini. Berdasarkan kajian neurologi dan psikologi perkembangan, kualitas anak usia dini disamping dipengaruhi oleh faktor bawaan juga dipengaruhi faktor kesehatan, gizi dan psikososial yang diperoleh dari lingkungannya. Maka faktor lingkungan harus direkayasa dengan mengupayakan semaksimal mungkin agar kekurangan yang dipengaruhi faktor bawaan tersebut bisa diperbaiki.

Dalam tahun-tahun pertama kehidupan, otak anak berkembang sangat pesat dan menghasilkan bertrilyun-trilyun sambungan yang memuat berbagai kemampuan dan potensi. Nutrisi bagi perkembangan anak merupakan benang merah yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.

Setidaknya terdapat 6 aspek yang harus diperhatikan terkait dengan perkembangan anak antara lain: pertama, perkembangan fisik: hal ini terkait dengan perkembangan motorik dan fisik anak seperti berjalan dan kemampuan mengontrol pergerakan tubuh.

Kedua, perkembangan sensorik: berkaitan dengan kemampuan anak menggunakan panca indra dalam mengumpulkan informasi. Ketiga, perkembangan komunikasi dan bahasa: terkait dengan kemampuan menangkap rangsangan visual dan suara serta meresponnya, terutama berhubungan dengan kemampuan berbahasa dan mengekspresikan pikiran dan perasaan. Keempat, perkembangan kognitif: berkaitan dengan bagaimana anak berpikir dan bertindak. Kelima, perkembangan emosional: berkaitan dengan kemampuan mengontrol perasaan dalam situasi dan kondisi tertentu. Keenam, perkembangan sosial: berkaitan dengan kemampuan memahami identitas pribadi, relasi dengan orang lain, dan status dalam lingkungan sosial.

Para orang tua juga dituntut untuk memahami fase-fase pertumbuhan anak. Fase pertama, mulai pada usia 0-1 tahun. Pada permulaan hidupnya, anak diusia ini merupakan suatu mahkluk yang tertutup dan egosentris. Ia mempunyai dunia sendiri yang berpusat pada dirinya sendiri. Dalam fase ini, anak mengalami pertumbuhan pada semua bagian tubuhnya. Ia mulai terlatih mengenal dunia sekitarnya dengan berbagai macam gerakan. Anak mulai dapat memegang dan menjangkau benda-benda disekitarnya. Ini berarti sudah mulai ada hubungan antara dirinya dan dunia luar yang terjadi pada pertengahan tahun pertama (± 6 bulan). Pada akhir fase ini terdapat dua hal yang penting yaitu: anak belajar berjalan dan mulai belajar berbicara.

Fase kedua, terjadi pada usia 2-4 tahun. Anak semakin tertarik kepada dunia luar terutama dengan berbagai macam permainan dan bahasa. Dunia sekitarnya dipandang dan diberi corak menurut keadaan dan sifat-sifat dirinya. Disinilah mulai timbul kesadaran akan "Akunya". Anak berubah menjadi pemberontak dan semua harus tunduk kepada keinginannya.

Fase ketiga, terjadi pada usia 5-8 tahun. Pada fase pertama dan kedua, anak masih bersifat sangat subjektif namun pada fase ketiga ini anak mulai dapat melihat sekelilingnya dengan lebih objektif. Semangat bermain berkembang menjadi semangat bekerja. Timbul kesadaran kerja dan rasa tanggung jawab terhadap kewajibannya. Rasa sosial juga mulai tumbuh. Ini berarti dalam hubungan sosialnya anak sudah dapat tunduk pada ketentuan-ketentuan disekitarnya. Mereka mengingini ketentuan-ketentuan yang logis dan konkrit. Pandangan dan keinginan akan realitas mulai timbul.

Pendidikan Matematika

Untuk pendidikan matematika dapat diberikan pada anak usia 0+ tahun sambil bermain, karena waktu bermain anak akan mendapat kesempatan bereksplorasi, bereksperimen dan dengan bebas mengekspresikan dirinya. Dengan bermain, tanpa sengaja anak akan memahami konsep-konsep matematika tertentu dan melihat adanya hubungan antara satu benda dan yang lainnya.

Anak juga sering menggunakan benda sebagai simbul yang akan membantunya dalam memahami konsep-konsep matematika yang lebih abstrak. Ketika bermain, anak lebih terstimulasi untuk kreatif dan gigih dalam mencari solusi jika dihadapkan atau menemukan masalah.

Pada pendidikan matematika dapat diberikan misalnya pada pengenalan bilangan, terlebih dahulu diperdengarkan angka dengan menyebutkan angka satu, dua, tiga dan seterusnya. Dan perlihatkan benda-benda berjumlah satu, dua, tiga dan seterusnya, bukan berarti materinya langsung mengenalkan lambang bilangan "dua" karena anak akan bingung. Dengan bertambahnya kecerdasan dan umur barulah diperkenalkan ke lambang bilangan.

Pengenalan geometri, anak diberikan berbagai macam bentuk bangun misalnya bola, kotak, persegi, lingkaran dan sebagainya. Dengan memerintahkan anak mengambil bangun yang disebutkan nama dan ciri-cirinya.

Pengenalan penjumlahan dan pengurangan, pakailah lima bola berdiameter sama yang dapat digenggam. Untuk pengurangan, sebanyak lima bola diambil satu, dua, ..., dan lima. Sebaliknya penjumlahan dengan menambahkan satu, dua, ..., sampai empat pada bola yang tergenggam. Mengingat ciri khas pada setiap jumlah bola yang sering dilihatnya, anak pun akan melihat kejanggalan ketika dikurangi atau ditambah. Peristiwa tersebut membuatnya semakin memahami hakikat "bertambah" dan "berkurang", yang ditandai perubahan jumlah bola yang digenggamnya. Apalagi pada peragaan bola yang diameter dan warnanya beragam, pemahamannya tidak lagi terikat dengan ukuran, tetapi pada jumlah bola yang tampak.

Pengenalan hubungan atau pengasosiasian antara benda, misalnya berikan kotak dan dilanjutkan dengan memperlihatkan benda yang berbentuk kotak lain seperti kotak susu, bungkus sabun dan sebagainya. Dibenak anak dapat menghubungkan antar kotak yang satu dengan yang lainnya. Sehingga pendidikan matematika dapat diberikan kepada anak usia dini dimulai dari pendidikan keluarga, yang dilakukan oleh orang tua sebagai guru terdekat sang anak.

c.Artikel 3

Orang Tua "Guru" Kreatif

Peran penting yang dapat dilakukan orang tua yaitu sebagai: Pertama, pengamat. Orang tua mengamati apa yang dilakukan oleh anak sehingga dapat mengikuti proses yang berlangsung. Ketika dibutuhkan, orang tua dapat memberikan dukungan dengan mengacungkan jempol, mengangguk tanda setuju, menyatakan rasa sukanya, bahkan ikut bermain. Kedua, manajer. Orang tua memperkaya ide anak dengan ikut mempersiapkan peralatan sampat tempat bermain. Ketiga, teman bermain. Orang tua ikut bermain dengan kedudukan sejajar dengan anak. Keempat, pemimpin (play leader). Dalam hal ini orang tua berperan menjadi teman bermain, sekaligus memberikan pengayaan dengan memperkenalkan cara serta tema baru dalam bermain.

Pengaruh orang tua sebagai "guru" pada anak memiliki porsi terbesar dilingkungannya, sehingga orang tua dalam mendidik dapat beracuan: pertama, berorientasi pada anak (pupil centered). Dalam mengajar anak tidak dengan komunikasi satu arah dengan kata lain orang tua dinyatakan orang yang paling tahu dan paling pandai.

Kedua, dinamis. Dalam mendidik anak bawalah mereka sambil bermain dan orang tua dapat memancing anak untuk memunculkan ide kreatif dan inovatifnya. Ketiga, demokratis. Ini berarti, memberikan kesempatan pada anak untuk menuangkan pikirannya dan bersikap tidak sok kuasa.


d.Artikel 4


Perkembangan Anak Usia Dini

Banyak pendapat dan gagasan tentang perkembangan anak usia dini, Montessori yakin bahwa pendidikan dimulai sejak bayi lahir. Bayipun harus dikenalkan pada orang-orang di sekitarnya, suara-suara, benda-benda, diajak bercanda dan bercakap-cakap agar mereka berkembang menjadi anak yang normal dan sehat. Metode pembelajaran yang sesuai dengan tahun-tahun kelahiran sampai usia enam tahun biasanya menentukan kepribadian anak setelah dewasa. Tentu juga dipengaruhi seberapa baik dan sehat orang tua berperilaku dan bersikap terhadap anak-anak usia dini. Karena perkembangan mental usia-usia awal berlangsung cepat, inilah periode yang tidak boleh disepelekan. Pada tahun-tahun awal ini anak-anak memiliki periode-periode sensitive atau kepekaan untuk mempelajari atau berlatih sesuatu. Sebagian besar anak-anak berkembang pada asa yang berbeda dan membutuhkan lingkungan yang dapat membuka jalan pikiran mereka.

Menurut Montessori, paling tidak ada beberapa tahap perkembangan sebagai berikut:

1. Sejak lahir sampai usia 3 tahun, anak memiliki kepekaan sensoris dan daya pikir yang sudah mulai dapat “menyerap” pengalaman-pengalaman melalui sensorinya.
2. Usia setengah tahun sampai kira-kira tiga tahun, mulai memiliki kepekaan bahasa dan sangat tepat untuk mengembangkan bahasanya (berbicara, bercakap-cakap).
3. Masa usia 2 – 4 tahun, gerakan-gerakan otot mulai dapat dikoordinasikan dengan baik, untuk berjalan maupun untuk banyak bergerak yang semi rutin dan yang rutin, berminat pada benda-benda kecil, dan mulai menyadari adanya urutan waktu (pagi, siang, sore, malam).
4. Rentang usia tiga sampai enam tahun, terjadilah kepekaan untuk peneguhan sensoris, semakin memiliki kepekaan indrawi, khususnya pada usia sekitar 4 tahun memiliki kepekaan menulis dan pada usia 4 – 6 tahun memiliki kepekaan yang bagus untuk membaca.

Pendapat Mantessori ini mendapat dukungan dari tokoh pendidkan Taman Siswa, Ki hadjar Dewantara, sangat meyakini bahwa suasana pendidikan yang baik dan tepat adalah dalam suasana kekeluargaan dan dengan prinsip asih (mengasihi), asah (memahirkan), asuh (membimbing). Anak bertumbuh kembang dengan baik kalau mendapatkan perlakuan kasih sayang, pengasuhan yang penuh pengertian dan dalam situasi yang damai dan harmoni. Ki Hadjar Dewantara menganjurkan agar dalam pendidikan, anak memperoleh pendidikan untuk mencerdaskan (mengembangkan) pikiran, pendidikan untuk mencerdaskan hati (kepekaan hati nurani), dan pendidikan yang meningkatkan keterampilan.

Tokoh pendidikan ini sangat menekankan bahwa untuk usia dini bahkan juga untuk mereka yang dewasa, kegiatan pembelajaran dan pendidikan itu bagaikan kegiatan-kegiatan yang disengaja namun sekaligus alamiah seperti bermain di “taman”. Bagaikan keluarga yang sedang mengasuh dan membimbing anak-anak secara alamiah sesuai dengan kodrat anak di sebuah taman. Anak-anak yang mengalami suasana kekeluargaan yang hangat, akrab, damai, baik di rumah maupun di sekolah, serta mendapatkan bimbingan dengan penuh kasih sayang, pelatihan kebiasaan secara alami, akan berkembang menjadi anak yang bahagia dan sehat.


e.Artikel 5

Mengelola PAUD

Tiga substansi dasar yang menjadi patologi pendidikan yang sampai saat ini yang belum juga belum teratasi. Pertama, buruknya mutu pendidikan juga dapat dilihat dari hasil pengembangan sumber daya manusia yang dinyatakan dalam Human Development Index (HDI).HDI merupakan indeks komposit yang diukur dari beberapa komponen, meliputi pendidikan, kesehatan dan ekonomi. HDI Indonesia tergolong rendah, berada di bawah Malaysia, Thailand, dan Filiphina. Penelitian yang dilakukan oleh Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS), prestasi siswa Indonesia di bidang matematika mendekati level rendah, sedangkan Malaysia pada level Menengah menuju level tinggi, dan Singapura berada pada level tingkat lanjut.

Kedua, cerminan sikap atau watak manusia Indonesia yang masih belum menampakkan sikap yang menjunjung nilai-nilai kejujuran, kebenaran, dan rasa tanggung jawab (sikap kedewasaan). Ketiga, yang paling parah adalah minimnya keterampilan yang dimiliki, sehingga kemandirian dalam hal ekonomi setelah menyelesaikan sebuah jenjang pendidikan kurang terwujud.

Ketiga hal itu merupakan sasaran utama yang harus diwujudkan dalam pembangunan pendidikan dalam perspektif makro. Kenyataannya, sejak Indonesia merdeka sampai saat ini belum dapat terwujud secara optimal. Dalam konteks ini, pembangunan pendidikan merupakan sesuatu prioritas yang harus dipikirkan dan direncanakan bagaimana formulasi yang tepat. Dengan demikian, pendidikan mau tidak. mau akan menjadi pusat perhatian oleh seluruh elemen bangsa untuk dikaji kembali baik perencanaannya, pelaksanaannya, dan pengawasannya yang kemudian diartikulasikan dengan istilah manajemen.

Pengelolaan lembaga pendidikan tidak bisa dikelola dengan waktu sisa, manajemen tukang cukur, dan kemampuan minim, meminjam falsafah Jawa “Bondo Bahu Pikir Lek Perlu Sak Nyawane”, artinya kita dalam berjuang perlu pengorbanan bukan hanya angan-angan tanpa mau memikirkan keuatan materi untuk berjuang. Pemberdayaan sumber daya manusia merupakan kunci utama dalam meningkatkan dan mengembangkan kualitas pendidikan. Peserta didik akan memiliki pribadi yang baik bila diasuh oleh pendidik yang memiliki kepribadian yang baik pula, murid akan memiliki keinginan belajar yang tinggi bila dididik oleh pendidik yang mempunyai animo tinggi untuk belajar, anak akan memiliki keterampilan bila dibimbing oleh pembimbing yang cekatan dan tanggap lingkungan, anak dapat hidup berdisiplin, bersih, tertib bila dia dibina oleh pendidik yang memiliki pola hidup teratur, demikain seterusnya.

Pengelolaan pendidikan bukanlah mengelola sebuah tempat usaha barang, melainkan mengelola sumber daya manusia dengan peradaban dimasa mendatang. Suatu bencana besar ketika manusia mengelola pendidikan hanya dilihat dari kacamata pribadi, orang yang demikain ini termasuk melemahkan generasi mendatang. Begitui pula bagi orang yang mengembangkan pendidikan hanya mengandalkan kekuasaan atau power semata. Untuk itulah dibutuhkan formula yang tepat dalam mengatur segala permasalahan manajemen Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
Pertama, pengelolaan PAUD selama ini terlalu banyak seninya dibanding dengan ilmunya, sehingga gaya manajemen yang dilakukan lebih bersifat try and error. Kedua, penerapan manajemen “gotong royong” artinya semua orang melakukan semua pekerjaan, tidak ada pembagian kerja yang tegas dan jelas, sehingga proses manajemen tidak berlangsung secara efektif dan efisien. Bahkan sering terjadi benturan antara satu unit dengan unit lainnya, ini menyebabkan pendayagunaan sumberdaya organisasi tidak secara sinergis dan banyak pemborosan. Dalam hal ini yang terjadi adalah sama-sama bekerja, tetapi bukan kerjasama. Ketiga, gaya manajemen tukang cukur, yaitu satu orang melakukan semua pekerjaan, mulai dari membuka kios, menyapu, memotong rambut, menutup kios, dan mengelola keuangan sekaligus. Dalam organisasi banyak orang yang “merasa” dirinya mampu dalam segala hal (ngabehi) dan tidak memberikan porsi pekerjaan kepada orang lain. Akibatnya organisasi yang semestinya dapat menjalankan beban pekerjaan yang lebih banyak, justru tidak dapat melakukan pekerjaan karena tersentralisasi di tangan beberapa orang saja, sedang yang lain justru kurang pekerjaan. Keempat, adalah manajemen “sungkanisme”, yaitu suatu manajemen yang tidak asertif. Budaya sungkan (segan) menegur kesalahan teman dan budaya marah kalau ditegur teman membuat organisasi berjalan kesana-kemari tak tentu arah, sehingga tak bisa mencapai tujuan yang dikehendaki.



f.artikel 6

IMPLEMENTASI KONSEP MONTESSORI PADA PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

Anak bukanlah orang dewasa dalam ukuran kecil. Oleh sebab itu, anak harus diperlakukan sesuai dengan tahap-tahap perkembangannya. Hanya saja, dalam praktik pendidikan sehari-hari, tidak selalu demikian yang terjadi. Banyak contoh yang menunjukkan betapa para orang tua dan masyarakat pada umummnya memperlakukan anak tidak sesuai dengan tingkat perkembangananya. Di dalam keluarga orang tua sering memaksakan keinginannya sesuai kehendaknya, di sekolah guru sering memberikan tekanan (preasure) tidak sesuai dengan tahap perkembangan anak, di berbagai media cetak/elektronika tekanan ini lebih tidak terbatas lagi, bahkan cenderung ekstrim.


g.artikel 7


Pendidikan Usia Dini sebagai Wahana menumbuhkan Kesiapan anak menuju jenjang Pendidikan Formal

Dalam rangka HUT Yayasan Kemala Hikmah Bhayangkari XXIX tahun 2009 dimeriahkan dengan Seminar Sehari,yang dikuti Oleh Kepala TK,Guru dan Pengelola TK Bhayangkari se-Bali.
Seminar dibuka secara resmi oleh Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi Bali,tanggal 1 April 2009 bertempat di Gedung Kemala Hikmah Polda Provinsi Bali.
Seminar yang mengambil Topik “ Peningkatan Sumber Daya Manusia Dalam Rangka Pengelolaan Tenaga Pendidik Anak Usia Dini “ sebagai Pemakalah/Nara Sumber adalah Kadis Dikpora Provinsi Bali.
Sebagaimana kita maklumi bahwa sesuai Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Undang-undang Sisdiknas ,Pendidikan Usia Dini merupakan pendidikan Pra Sekolah . Pendidikan Usia Dini adalah sebagai wahana atau kesempatan menumbuh kembangkan kesiapan Fisik,Sikap ,Mental ,Keberanian,dan Emosional anak sangat perlu dilakukan,guna menuju ke jenjang Pendidikan Formal.

Sejalan dengan hal tersebut dalam rangka pengelolaan Pendidikan Usia Dini maka perlu dipersiapkan SDM yang memenuhi persyaratan ,disamping Kurikulum yang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan anak. Sehingga tujuan dari pada Pendidikan Anak Usia Dini tepat arah,tepat sasaran dan tepat guna.
Untuk itu seminar separti ini sangat baik diselenggarakan yang pesertanya Para guru dan Pengelola TK.
Kepala Dinas Dikpora Provinsi Bali,menekankan melalui Makalah yang disajikan antara lain :
1.Pendidikan Usia Dini atau Taman Kanak - kanak seyogyanya benar- benar sebagai
Taman yang Indah. Ini berarti bahwa Taman Kanak- kanak harus memberikan nuansa
yang indah, menarik dan menyenangkan bagi peserta didik dan anak-anak tidak
seharusnya diberikan pelajaran. Akan tetapi para guru dituntut untuk bisa
menumbuhkan suasana bermain sambil belajar.
2.Pada Pendidikan Usia Dini ,bagi para guru tidak diperkenankan adanya pemaksaan
kehendak kepada anak didik,ciptakanlah suasana yang bernuansa kebebasan kepada
anak sesuai dengan pertumbuhan fisik,sikap,mental dan emosi anak.


h.artikel 8

MEMAHAMI PENDIDIKAN ANAK USIA DINI


Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah salah satu upaya pembinaan yangditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun, yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.

Tujuan PAUD adalah membantu mengembangkan seluruh potensi dan kemampuan fisik, intelektual, emosional, moral dan agama secra optimal dlam lingkungan pendidikan yang kondusif, demokratis dan kompetitif.


LANDASAN YURIDIS
Pembukaan UUD 1945 ; ‘Salah satu tujuan kemerdekaan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.’
Amandemen UUD 1945 pasal 28 C
’Setiap anak berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.’
3. UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 9 ayat (1)
’Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minta dan bakat.’
4. UU No 20/2003 pasal 28
1) Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar.
2) Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, non formal, dan/atau informal.
3) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk Taman Kanak-Kanak (TK), Raudhatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat.
4) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan non formal berbentuk kelompok bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat.
5) Pendidikan anak usia dini pada jalur informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.

PAUD MERUPAKAN KOMITMEN DUNIA

Komitmen Jomtien Thailand (1990)
’Pendidikan untuk semua orang, sejak lahir sampai menjelang ajal.’

Deklarasi Dakkar (2000)
’Memperluas dan memperbaiki keseluruhan perawatan dan pendidikan anak usia dini secara komprehensif terutama yang sangat rawan dan terlantar.’
Deklarasi ”A World Fit For Children” di New York (2002)
‘Penyediaan Pendidikan yang berkualitas’

PENTINGNYA PAUD
1) PAUD sebagai titik sentral strategi pembangunan sumber daya manusia dan sangat fundamental.
2) PAUD memegang peranan penting dan menentukan bagi sejarah perkembangan anak selanjutnya, sebab merupakan fondasi dasar bagi kepribadian anak.
3) Anak yang mendapatkan pembinaan sejak dini akan dapat meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan fisik maupun mental yang akan berdampak pada peningkatan prestasi belajar, etos kerja, produktivitas, pada akhirnya anak akan mampu lebih mandiri dan mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.
4) Merupakan Masa Golden Age (Usia Keemasan). Dari perkembangan otak manusia, maka tahap perkembangan otak pada anak usia dini menempati posisi yang paling vital yakni mencapai 80% perkembangan otak.
5) Cerminan diri untuk melihat keberhasilan anak dimasa mendatang. Anak yang mendapatkan layanan baik semenjak usia 0-6 tahun memiliki harapan lebih besar untuk meraih keberhasilan di masa mendatang. Sebaliknya anak yang tidak mendapatkan pelayanan pendidikan yang memadai membutuhkan perjuangan yang cukup berat untuk mengembangkan hidup selanjutnya.


KONDISI YANG MEMPENGARUHI ANAK USIA DINI

Faktor Bawaan : faktor yang diturunkan dari kedua orang tuanya, baik bersifat fisik maupun psikis.

Faktor Lingkungan
Lingkungan dalam kandungan
Lngkungan di luar kandungan : lingkungan keluarga, masyarakat, sekolah dll.



i.artikel 9

Pihak-Pihak yang Berperan dalam PAUD

Pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan pendidikan anak usia dini adalah pemerintah (negara), masyarakat dan keluarga. Keluarga adalah institusi pertama yang melakukan pendidikan dan pembinaan terhadap anak (generasi). Disanalah pertama kali dasar?dasar kepribadian anak dibangun. Anak dibimbing bagaimana ia mengenal Penciptanya agar kelak ia hanya mengabdi kepada Sang Pencipta Allah SWT. Demikian pula dengan pengajaran perilaku dan budi pekerti anak yang didapatkan dari sikap keseharian orangtua ketika bergaul dengan mereka. Bagaimana ia diajarkan untuk memilih kalimat?kalimat yang baik, sikap sopan santun, kasih sayang terhadap saudara dan orang lain. Mereka diajarkan untuk memilih cara yang benar ketika memenuhi kebutuhan hidup dan memilih barang halal yang akan mereka gunakan. Kesimpulannya, potensi dasar untuk membentuk generasi berkualitas dipersiapkan oleh keluarga.
Masyarakat yang menjadi lingkungan anak menjalani aktivitas sosialnya mempunyai peran yang besar dalam mempengaruhi baik buruknya proses pendidikan, karena anak satu bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat. Interaksi dalam lingkungan ini sangat diperlukan dan berpengaruh dalam pertumbuhan dan perkembangan anak, baik secara fisik maupun biologis. Oleh sebab itu masalah?masalah yang akan dihadapi anak ketika berinteraksi dalam masyarakat harus difahami agar kita dapat mengupayakan solusinya. Masyarakat yang terdiri dari sekumpulan orang yang mempunyai pemikiran dan perasaan yang sama serta interaksi mereka diatur dengan aturan yang sama, tatkala masing?masing memandang betapa pentingnya menjaga suasana kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan generasi maka semua orang akan sepakat memandang mana perkara-perkara yang akan membawa pengaruh positif dan mana yang membawa pengaruh negatif bagi pendidikan generasi. Sedapat mungkin perkara negatif yang akan menjerumuskan anak akan dicegah bersama. Disinilah peran masyarakat sebagai kontrol sosial untuk terwujudnya generasi ideal. Masyarakat yang menjadi lingkungan hidup generasi tidak saja para tetangganya tetapi juga termasuk sekolah dan masyarakat dalam satu negara. Karena itu para tetangga, para pendidik dan juga pemerintah sebagai penyelenggara urusan negara bertanggung jawab dalam proses pendidikan generasi.
Selain keluarga dan sekolah, partai dan organisasi masyarakat seperti majelis ta’lim, mempunyai peran dalam melahirkan generasi berkualitas pemimpin. Disanalah generasi akan dibina untuk menjadi politikus yang ulung dan tangguh. Oleh sebab itu, partai dan ormas ini juga berperan dalam membina para ibu agar ibu dapat mendidik generasi secara baik dan benar. Dari seluruh pihak yang mempunyai tanggungjawab dalam mendidik generasi cerdas, generasi peduli bangsa, tentu negaralah yang mempunyai peran terbesar dan terpenting dalam menjamin berlangsungnya proses pendidikan generasi.
Negara bertanggung jawab mengatur suguhan yang ditayangkan dalam media elektronik dan juga mengatur dan mengawasi penerbitan seluruh media cetak. Negara berkewajiban menindak perilaku penyimpangan yang berdampak buruk pada masyarakat dll. Negara sebagai penyelenggara pendidikan generasi yang utama, wajib mencukupi segala sarana untuk memenuhi kebutuhan pendidikan umat secara layak. Atas dasar ini negara wajib menyempurnakan pendidikan bebas biaya bagi seluruh rakyatnya. Kebijakan pendidikan bebas biaya akan membuka peluang yang sebesar?besarnya bagi setiap individu rakyat untuk mengenyam pendidikan, sehingga pendidikan tidak hanya menyentuh kalangan tertentu (yang mampu) saja, dan tidak lagi dijadikan ajang bisnis yang bisa mengurangi mutu pendidikan itu sendiri. Padahal mutu pendidikan sangat mempengaruhi corak generasi yang dihasilkannya.
Negara wajib menyediakan tenaga-tenaga pendidik yang handal. Mereka yang memiliki kepribadian Islam yang luhur, punya semangat pengabdian yang tinggi dan mengerti filosofi pendidikan generasi serta cara?cara yang harus dilakukannya, karena mereka adalah tauladan bagi anak didiknya. Kelemahan sifat pada pendidik berpengaruh besar terhadap pola pendidikan generasi. Seorang guru tidak hanya menjadi penyampai ilmu pada muridnya tetapi ia seorang pendidik dan pembina generasi. Agar para pendidik bersemangat dalam menjalankan tugasnya tentu saja negara harus menjamin kehidupan materi mereka. Ini dapat memberi motivasi lebih pada mereka meski tugas mereka tidak ditujukan semata untuk memperoleh materi, tetapi merupakan ibadah yang mempunyai nilai tersendiri di sisi Allah SWT. Betapa besar jasa para pendidik yang hingga ada ungkapan: "Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa". Tentu saja pengabdian mereka harus mendapat penghargaan, dan ini merupakan tanggungjawab negara.




j.artikel 10

Pentingnya Pendidikan Anak Usia Dini

Masa usia dini merupakan periode emas (golden age) bagi perkembangan anak untuk memperoleh proses pendidikan. Periode ini adalah tahun-tahun berharga bagi seorang anak untuk mengenali berbagai macam fakta di lingkungannya sebagai stimulans terhadap perkembangan kepribadian, psikomotor, kognitif maupun sosialnya. Berdasarkan hasil penelitian, sekitar 50% kapabilitas kecerdasan orang dewasa telah terjadi ketika anak berumur 4 tahun, 80% telah terjadi ketika berumur 8 tahun, dan mencapai titik kulminasi ketika anak berumur sekitar 18 tahun (Direktorat PAUD, 2004). Hal ini berarti bahwa perkembangan yang terjadi dalam kurun waktu 4 tahun pertama sama besarnya dengan perkembangan yang terjadi pada kurun waktu 14 tahun berikutnya. Sehingga periode emas ini merupakan periode kritis bagi anak, dimana perkembangan yang diperoleh pada periode ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan periode berikutnya hingga masa dewasa. Sementara masa emas ini hanya datang sekali, sehingga apabila terlewat berarti habislah peluangnya. Untuk itu pendidikan untuk usia dini dalam bentuk pemberian rangsangan-rangsangan (stimulasi) dari lingkungan terdekat sangat diperlukan untuk mengoptimalkan kemampuan anak.
Pemerintah Indonesia telah memperkenalkan panduan stimulasi dalam program Bina Keluarga Balita (BKB) sejak tahun 1980, namun implementasinya belum memasyarakat. Hasil penelitian Herawati (2002) di Bogor menemukan bahwa dari 265 keluarga yang diteliti, hanya terdapat 15% yang mengetahui program BKB. Faktor penentu lain dari kurang memasyarakatnya program BKB adalah rendahnya tingkat partisipasi orang tua. Kemudian pada tahun 2001, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda mengeluarkan program PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Namun keberadaan program tersebut sampai saat ini belum menjangkau tingkat pedesaan secara merata, sehingga belum dapat diakses langsung oleh masyarakat.
Pendidikan anak usia dini merupakan pendidikan yang sangat mendasar dan strategis dalam pembangunan sumberdaya manusia. Tidak mengherankan apabila banyak negara menaruh perhatian yang sangat besar terhadap penyelenggaraan pendidikan anak usia dini. Di Indonesia sesuai pasal 28 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan anak usia telah ditempatkan sejajar dengan pendidikan lainnya. Bahkan pada puncak acara peringatan Hari Anak Nasional tanggal 23 Juli 2003, Presiden Republik Indonesia telah mencanangkan pelaksanaan pendidikan anak usia dini di seluruh Indonesia demi kepentingan terbaik anak Indonesia (Direktorat PAUD, 2004).

k.Artikel 11


Kurikulum untuk anak usia dini, perlukah?

Anak-anak usia dini hidup dalam dunia bermain. Meskipun demikian,tak ada salahnya jika orang tua memiliki rancangan bahan atau materi untuk mengisi hari-hari mereka. Hal yang pasti, kurikulum untuk anak usia dini haruslah sangat fleksibel, sesuai dengan kemampuan dan minat anak.

Kelas-kelas pra-sekolah seperti Play Group (PG) atau Taman Kanak-Kanak (TK) pasti memiliki kurikulum dan target-target, namun karena tuntutan aturan formal, mau tidak mau guru akan menilai perkembangan anak secara kasar, berdasarkan akumulasi kemampuan yang dikuasai anak selama kurun waktu tertentu. Jelas penilaian itu tidak valid, karena ketika guru memasuki kurikulum mewarnai misalnya, beberapa anak mungkin belum siap dengan fase itu. Mereka mungkin menolak untuk melakukannya atau hanya membubuhkan satu coretan pendek di kertasnya, karena dia memang belum berminat.

Di sinilah peran orang tua sangat dibutuhkan. Tak peduli apakah anak-anak masuk TK ataupun tidak, tugas orang tua-lah untuk memahami anak-anaknya dengan baik, sehingga tahu kapan harus memperkenalkan sebuah keterampilan, kapan harus menundanya, kapan harus memacunya lebih kencang, dan bagaimana membuat anak menjadi tertarik untuk mempelajari sesuatu tanpa harus dipaksa oleh waktu dan penilaian pihak lain.

Pendidikan sungguh jauh melampaui batas-batas nilai kuantitatif seperti diterapkan di sekolah. Pendidikan adalah rangkaian proses belajar untuk menjadi manusia yang terus tumbuh, baik secara fisik, mental, maupun spiritual.

Menyusun kurikulum untuk anak usia dini berarti siap mengikuti irama mereka dan siap untuk melangkah lebih jauh saat mereka berminat untuk tahu lebih banyak. Ketika anak-anak diperkenalkan tentang kuda misalnya, bisa jadi rasa ingin tahu mereka berkembang, ingin tahu tentang makanannya, di mana tidurnya, dan mungkin ingin mencoba menaikinya dan mengoleksi gambar-gambarnya.

Adapun secara terstruktur, ada banyak model kurikulum anak usia dini yang telah dikembangkan di dunia. Kurikulum Montessori adalah salah satu di antaranya. Model ini cocok bagi mereka yang senang dengan keteraturan dan mengharapkan anak-anak juga bersikap teratur dan runut. Sebuah buku berjudul Montessori untuk Prasekolah yang disusun oleh seorang praktisi kurikulum Montessori bernama Elizabeth G. Hainstock dan diterbitkan edisi terjemahannya oleh penerbit Delapratasa Publishing, bisa menjadi pilihan untuk mengetahui lebih detail kegiatan-kegiatan ala Montessori.

Melalui buku tersebut akan kita temukan bahwa model Montessori lebih banyak mempergunakan perabotan rumah tangga sebagai media dan mempergunakan kegiatan rutin sehari-hari di rumah sebagai aktivitas belajar.

Temuan tentang multi kecerdasan oleh Howard Gardner juga bisa menginspirasi kita untuk menyusun kurikulum. Delapan bahkan sembilan jenis kecerdasan versi Gardner, yaitu: kecerdasan bahasa, logika-matematika, visual-spasial, fisik, interpersonal, intrapersonal, musikal, natural, dan spiritual bisa dijadikan acuan untuk memilih ragam kegiatan belajar-bermain di rumah.

Buku yang ditulis Thomas Amstrong berjudul Sekolah Para Juara mencoba menjabarkan konsep multi kecerdasan tersebut dalam konteks sekolah formal untuk anak-anak yang lebih besar. Namun bukan tidak mungkin hal itu bisa menginspirasi para orang tua yang memiliki anak usia dini untuk menerapkan jalan pikiran Amstrong ke dalam konteks belajar anak usia dini di rumah.


l.Artikel 12

Kurikulum berdasarkan Perkembangan Anak

Perkembangan anak secara umum ternyata bisa diukur dengan beberapa ukuran berikut: perkembangan fisik motorik, perkembangan kognitif, perkembangan moral & sosial, emosional, dan komunikasi (Slamet Suyanto, Dasar-dasar Pendidikan Anak Usia Dini:192. Penerbit: Hikayat Publishing. Yogyakarta)

Kita bisa menciptakan kurikulum dengan mengacu pada teori tersebut. Berikut gambaran kasar kurikulum yang mungkin diterapkan:

Perkembangan fisik motorik

  1. Motorik Kasar : Berlari, memanjat, menendang bola, menangkap bola, bermain lompat tali, berjalan pada titian keseimbangan, dll.
  2. Motorik Halus : Mewarnai pola, makan dengan sendok, mengancingkan baju, menarik resluiting, menggunting pola,menyisir rambut, mengikat tali sepatu, menjahit dengan alat jahit tiruan, dll.
  3. Organ Sensoris : Membedakan berbagai macam rasa, mengenali berbagai macam bau, mengenali berbagai macam warna benda, mengenali berbagai benda dari ciri-ciri fisiknya, mampu membedakan berbagai macam bentuk, dll.

Perkembangan Kognitif

Misalnya: mengenal nama-nama warna,mengenal nama bagian-bagian tubuh, mengenal nama anggota keluarga,mampu membandingkan dua objek atau lebih, menghitung, menata, mengurutkan; mengetahui nama-nama hari dan bulan; mengetahui perbedaan waktu pagi, siang, atau malam; mengetahui perbedaan kecepatan (lambat dan cepat); mengetahui perbedaan tinggi dan rendah, besar dan kecil, panjang dan pendek; mengenal nama-nama huruf alfabet atau membaca kata; memahami kuantitas benda, dll.

Perkembangan Moral dan sosial

Misalnya: Mengetahui sopan santun, mengetahui aturan-aturan dalam keluarga atau sekolah jika ia bersekolah, mampu bermain dan berkomunikasi bersama teman-teman, mampu bergantian atau antre, dll.

Perkembangan Emosional

Misalnya: Menunjukkan rasa sayang pada teman, orang tua, dan saudaranya; menunjukkan rasa empati; mengetahui simbol-simbol emosi: sedih, gembira, atau marah dan mampu mengontrol emosinya sesuai kondisi yang tepat.

Perkembangan Komunikasi (Berbahasa)

Misalnya: Mampu mengungkapkan keinginannya dengan kata-kata,mampu melafalkan kata-kata dengan jelas (bisa dimengerti oleh orang lain).

Begitu beragam model kurikulum yang ada. Mau pilih yang mana? Mengumpulkan sebanyak mungkin sumber dan memilahnya sesuai kekhasan keluarga masing-masing adalah cara paling baik agar kita memiliki bahan yang lebih kaya untuk anak-anak kita.


m.artikel 13

Pendidikan Anak Usia Dini

Pendidikan Anak Usia Dini atau disingkat PAUD adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.

Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.

Ada dua tujuan diselenggarakannya pendidikan anak usia dini yaitu: Tujuan utama: untuk membentuk anak Indonesia yang berkualitas, yaitu anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki kesiapan yang optimal di dalam memasuki pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan di masa dewasa. Tujuan penyerta yaitu untuk membantu menyiapkan anak mencapai kesiapan belajar (akademik) di sekolah.

Bentuk Satuan Pendidikan Anak Usia Dini

Menurut Pasal 28 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bentuk satuan pendidikan anak usia dini dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:

Jalur Pendidikan Formal

Terdiri atas Taman Kanak-kanak dan Raudhatul Atfal. Taman Kanak-kanak dan Raudhatul Atfal dapat diikuti anak usia lima tahun keatas. Termasuk disini adalah Bustanul Atfal.

Jalur Pendidikan Nonformal

Terdiri atas Penitipan Anak, Kelompok Bermain dan Satuan PAUD Sejenis. Kelompok Bermain dapat diikuti anak usia dua tahun keatas, sedangkan Penitipan Anak dan Satuan PAUD Sejenis diikuti anak sejak lahir, atau usia tiga bulan.

Jalur Pendidikan Informal

Terdiri atas pendidikan yang diselenggarakan di keluarga dan di lingkungan. Ini menunjukkan bahwa pemerintah melindungi hak anak untuk mendapatkan layanan pendidikan, meskipun mereka tidak masuk ke lembaga pendidikan anak usia dini, baik formal maupun nonformal.


n.artikel 14

Standar Pendidikan Anak Usia Dini Nonformal

Sebagai upaya memberikan layanan pendidikan yang berkualitas bagi anak usia dini, Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) menyusun draf Standar Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Nonformal. Standar ini mencakup seluruh pelayanan anak usia dini sejak lahir sampai dengan usia enam tahun, khusus untuk layanan PAUD Nonformal lebih memprioritaskan anak usia 0-4 tahun.

Direktur PAUD Depdiknas Gutama mengemukakan, sejak lama pemerintah dituntut oleh masyarakat untuk menyusun standar yang jelas. Selama ini, kata dia, kurikulum PAUD Nonformal pun belum ada, yang ada adalah acuan resmi dari Depdiknas, tetapi belum ada khusus yang dibuat karena standar nasionalnya belum ada. "Standar ini akan menjadi acuan kita,bukan standar yang maksimal tapi yang minimal," katanya pada Uji Publik Draf Standar PAUD Nonformal di Graha Depdiknas, Jakarta, Senin (24/03/2008) .

Hadir dalam acara Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (Dirjen PMPTK) Baedhowi, Direktur Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal (Dirjen PNFI) Ace Suryadi, Ketua BSNP Yunan Yusuf, dan para pengelola PAUD. Gutama mengatakan, standar ini disusun bukan untukmenghambat potensi PAUD di masyarakat yang sedang tumbuh dan berkembang, tetapi justru memberikan peluang agar mereka bisa tumbuh berkembang dan akhirnya mencapai standar minimal yang diharapkan. "Jangan sampai ada anak yang tidak mendapatkan sentuhan pendidikan sejak anak usia dini," ujarnya.

Anggani Sudono, Koordinator Penyusunan Standar PAUD Nonformal menyampaikan, tujuan diselenggarakan uji publik Standar PAUD Nonformal adalah untuk memperoleh masukan yang sebanyak-banyaknya agar standar ini sesuai dengan kehendak semua. "Sekaligus menjadi payung semua kegiatan anak usia dini yang dilakukan oleh seluruh masyarakat di Indonesia," katanya.

Anggani mengatakan, anak usia dini apabila mendapatkan penanganan, pengasuhan, dan pendidikan sedini mungkin maka akan memberi dasar yang kuat untuk pendidikan selanjutnya. "Ini (PAUD) merupakan investasi dalam kehidupan selanjutnya. Standar PAUD akan diberlakukan di seluruh wilayah Indonesia," katanya. Anggani menyebutkan, komponen standar pendidikan usia dini terdiri atas tingkat pencapaian perkembangan anak usia dini; pendidik dan tenaga kependidikan PAUD; program, isi, proses, dan penilaian PAUD; infrastruktur pendukung, sarana, dan prasarana, serta pengelolaan dan pembiayaan.

Endang Ekowarni, Ketua Tim Ad hoc Penyusunan Standar PAUD mengatakan, pada komponen pertama standar yang disusun yakni bukan standar kelulusan, tetapi menggunakan istilah tingkat pencapaian perkembangan anak usia dini dengan target setiap tahap harus dicapai anak dengan sehat, cerdas, dan ceria. "Jadi sehat dan cerdas menurut tahap perkembangannya, dan ceria juga sesuai dengan usianya. Pada akhirnya mereka akan siap untuk mengikuti pendidikan formal."


o.artikel 15

Tutor Pendidikan Anak Usia Dini




Berkembangnya pelayanan pendidikan anak usia dini (PAUD) membutuhkan banyak tutor kompeten untuk merangsang pertumbuhan dan perkembangan anak berusia 0-6 tahun. Seiring kebijakan pemerintah menyelenggarakan rumah pintar yang tersebar di seluruh penjuru desa/kelurahan, kegiatan PAUD makin mendapat tempat dalam masyarakat. Gaung pun bersambut antara pemerintah dan masyarakat. Upaya pemerintah dan LSM peduli anak memfasilitasi penyediaan alat permainan edukatif (APE), pelatihan guru, bantuan seragam anak-anak, bahkan pembangunan gedung PAUD, mendorong masyarakat kian sadar pentingnya PAUD sebagai bagian pendidikan anak-anak.
Di samping PAUD modern yang dikelola lembaga-lembaga yang mapan, di kalangan rakyat bawah juga mulai dikembangkan PAUD berbasis masyarakat untuk masyarakat kalangan bawah yang tidak mampu mengakses PAUD modern. PAUD berbasis masyarakat konsepnya amat sederhana. Jangan dulu bicara kualitas ketika membicarakan pendidikan untuk masyarakat bawah. Ketersediaan akses merupakan jawaban yang tepat bagaimana anak-anak yang berasal dari kalangan miskin memperoleh pendidikan.
Dewasa ini disadari, pendidikan yang diberikan sedini mungkin berdampak amat positif dalam tumbuh kembang anak. Usia 0-6 tahun adalah usia emas pertumbuhan dan perkembangan. Dengan kata lain, pendidikan yang diberikan semenjak dini akan sangat menentukan pada masa-masa selanjutnya. Masa anak usia dini adalah masa yang sangat strategis dengan memberikan rangsangan yang tepat. Rangsangan-rangsangan itu termasuk pemberian perawatan-perawatan yang sifatnya medis, kemudian memberikan gizi, kecerdasan, serta tempat bermain yang tepat kepada anak agar anak itu cerdas secara komplet, bukan hanya dalam aspek intelektual.
Tak mengherankan perbaikan gizi dalam masyarakat cukup efektif melalui lembaga-lembaga PAUD. PAUD berbasis masyarakat yang dikembangkan sebuah LSM di Kelurahan Tandang dan Sendangguwo, Kecamatan Tembalang, Kota Semarang, di samping diisi kegiatan permainan dan rangsangan edukatif juga diselipi kegiatan makan bersama sebagai sarana perbaikan gizi. Dan terbukti, makan bersama tidak hanya memberi manfaat bahwa gizi anak makin membaik, tetapi juga anak belajar makan bersama orang lain. Pendamping juga dapat mengajarkan keterampilan berbagi kepada peserta didik. Dan terbukti, anak-anak yang mengikuti PAUD perkembangan individu dan sosialnya melampaui anak-anak lain yang tidak mengikuti PAUD.

Sosialisasi Terlambat

Indonesia memang terlambat dalam mensosialisasikan program PAUD. Program ini baru secara serius digarap pada tahun 2005. Jadi wajar manakala perkembangannya belum sampai pada taraf yang memuaskan. Meski begitu, upaya pemerintah menyebarluaskan PAUD dan kesadaran masyarakat belum diimbangi dengan insentif memadai, selain juga belum diimbangi de-ngan kesiapan tutor untuk mendidik anak. Sebagian besar PAUD masih atas inisiatif dan prakarsa masyarakat.
Pertama, banyak tutor kegiatan PAUD diambil dari ibu rumah tangga setempat. Ini memberi kesan “yang penting berjalan dahulu”, masalah latar belakang pendidikan cenderung diabaikan. Dengan demikian mereka membutuhkan serangkaian pelatihan yang memadai agar mampu mengasuh anak-anak. Ini pun membawa masalah karena banyak ibu senang mengajar karena biasanya dipaketkan dengan kegiatan PKK kampung dan kader kesehatan. Namun, mereka kadang malas mengikuti pengembangan diri melalui serangkaian pelatihan yang memaksa mereka duduk lama dalam kelas untuk menyerap materi pembelajaran. Mereka lebih menyukai pelatihan praktis seperti beyond center cyrcle time (BCCT) yang langsung dapat diterapkan dalam kelas.
Ketika belakangan ini ada syarat bahwa tutor PAUD minimal berpendidikan sarjana (S-1) atau D-4, timbul masalah apakah para sarjana pendidikan itu mau bekerja untuk PAUD berbasis masyarakat yang insentifnya saja habis untuk membeli bensin. Mendidik PAUD sebenarnya tidak hanya berdasar minat saja. Untuk melatih anak-anak bermain, berinteraksi dengan orang lain ternyata pengalaman sebagai ibu rumah tangga yang mengasuh anaknya sendiri di rumah belum cukup.
Perlu kreativitas agar suasana kelas menjadi hidup sehingga anak-anak kerasan dalam proses pembelajaran. Tentu saja, PAUD berbasis masyarakat ini tertinggal jauh dalam hal kualitas dari PAUD-PAUD yang profesional, yang diselenggarakan oleh lembaga yang sudah berpengalaman. Sebagai upaya memperluas jangkauan akses pendidikan, penyelenggaraan PAUD sudah amat menolong. Dan kelebihan PAUD berbasis masyarakat berada di tengah-tengah masyarakat sehingga menjadi milik masyarakat. Kebutuhan dan pengembangan dapat didiskusikan bersama warga masyarakat.

Kesejahteraan Tutor

Kedua, manajemen PAUD berbasis masyarakat belum dikelola secara memadai. Misalnya, soal penilaian atau evaluasi peserta didik, kenaikan jenjang belum mempergunakan standar yang baku. Mereka menjadikan PAUD sebagai karya sosial di sela-sela kegiatan mengurus rumah tangga. Kebanyakan juga tidak didukung oleh lembaga yang kredibel dalam pendidikan. Oleh karena itu, mereka tidak berkelanjutan kalau kelak lembaga donor atau pemerintah yang selama ini menopangnya menarik dukungan.
Tidak tersedianya alat evaluasi atau monitor menyebabkan perkembangan anak tahap demi tahap kurang terpantau. Para tutor jika tidak memiliki referensi mengenai perkembangan peserta didiknya, padahal dengan sering mengadakan evaluasi akan diperoleh informasi untuk mengembangkan mutu ajar pada pembelajaran berikutnya. Minimnya pengetahuan dan pelatihan menyebabkan adanya PAUD yang sudah mengajari anak-anaknya membaca, bukan sekadar bermain.
Ketiga, terbatasnya referensi pengajaran PAUD menyebabkan kreativitas pengajaran menjadi amat sempit. Lalu sangat mudah mereka kehabisan bahan pembelajaran yang berakibat kegiatan yang diberikan cenderung monoton. Anak-anak cepat bosan dengan pembelajaran yang diulang-ulang. Keempat, rendahnya insentif yang diberikan kepada para guru PAUD. Tahun ini dari 188.834 tutor PAUD baru sekitar 30.000 yang mendapatkan insentif dari pemerintah. Besaran insentif juga tidak seberapa, hanya Rp 100.000 per bulan, yang sama sekali tidak menunjang pengembangan tutor yang bersangkutan. Rendahnya insentif menyebabkan peminat menjadi tutor kurang berkembang, bahkan cenderung dianggap kegiatan sambilan belaka.
Jika pemerintah serius (baca: Depdiknas), mestinya PAUD berbasis masyarakat di garda depan mendapatkan perhatian yang lebih serius. Ingar-bingar tunjangan fungsional guru dan dosen ironisnya tidak menyentuh kesejahteraan pada tutor PAUD. Yang jelas, menjadi kebutuhan besar untuk makin memanusiakan guru PAUD tidak hanya dari sisi anggaran yang kian memadai, tetapi juga dukungan kebijakan yang bermuara pada penyediaan tutor yang memadai, bahan ajar yang lengkap, dan kebutuhan lain yang diperlukan.







e)Pendidikan informal

a.artikel 1

Pemerintah Harus Lebih Perhatikan Pendidikan Informal

Bogor-Perhatian pemerintah kepada pendidikan informal dan non-formal dirasa masih kurang. Pebedaan sikap bahkan masih terasa dengan kesan menomorduakannya.

Bogor-Perhatian pemerintah kepada pendidikan informal dan non-formal dirasa masih kurang. Pebedaan sikap bahkan masih terasa dengan kesan menomorduakannya.”Padahal sesungguhnya ada yang istimewa dalam program informal dan non formal ini, yaitu daya jangkaunya yang mampu menjangkau segala umur, tidak terikat status pernikahan, dan bisa menjangkau wilayah terpencil”, demikian Yusup Haryanto, SPd, koordinator PKBM Tunas Melati, Pemuda Muhammadiyah kabupaten Bogor kepada muhammadiyah.or.id

setelah ada program BOS, sebenarnya masyarakat sudah banyak terbantu, khususnya untuk biaya SPP. Namun menurutnya, di lapangan ternyata biaya transport peserta didik ke sekolah masih banyak yang memberatkan orang tua siswa, terutama siswa dari daerah terpencil. “ Inilah kelemahan konsep Sekolah Terbuka” yang masih mengharuskan siswa berangkat dari rumah ke sekolah tertentu. Belum lagi masalah dengan status perkawinan, dimana sekolah formal tidak memungkinkan seorang siswa sudah menikah ikut bersekolah.

Dengan pertimbangan itulah,pogram PKMB Tunas Melati yang pada awalnya merupakan hasil MOU PP Pemuda Muhammadiyah dan Dirjen Pendidikan Informal dan Non Formal saat ini menjadi solusi yang cukup menarik bagi warga belajar di daerah kabupaten Bogor. Program yang difasilitasi dengan Kelas Berjalan, berupa Bis ini bisa menjangkau pelosok dan masyarakat miskin dengan mudah. “ Karena program ini geratis dan kami mendatangi mereka".

Saat ini, PKBM Tunas Melati mengelola tujuh kecamatan di Kabupaten Garut, yaitu kecamatan Nanggung, Pamijahan, Jasinga, Leuwiliang, Cibubulang, Sukajaya, Darmaga dan Tamansari. Kesemuanya dikelompokkan pada 28 Kelompok belajar yang masing-masing kelompok berkisar antara 80 hingga 100 warga belajar, dengan dipandu tujuh hingga delapan tutor. Pogram yang baru berjalan setahun ini, saat ini sudah meluluekan 700 warga belajar dari paket A, B, dan C selain program pemberantasan buta aksara melalui Keaksaraan Fungsional, program Pendidikan Anak Usia Dini, Kursus Masuk Desa dan Beasiswa Belajar.

Keberlanjutan dan Pengembangan Program

Program yang sedang berjalan ini masih belum pasti apakah masih akan mendapat support dana dari Depdiknas untuk kelanjutan programnya, namun karena melihat manfaat program yang besar serta sambutan masyarakat yang besar, dengan ada tidaknya bantuan dari pemeintah segenap pengelola dan keluarga besar Muhammadiyah Kabupaten Bogor bertekad untuk meneruskan program, selama ini masalah yang dihadapi adalah kecilnya honor tutor yang saat ini berjumlah seratus orang. Karen a itu, selain berharap bahwa ke depan masih akan ada pihak-pihak yang mau bekerjasama membiayai program strategis ini, juga perlu diperhatikan bagaimana menaikkan kesejahteraan para tutor yang diambil dari keluarga besar Angkatan Muda Muhammadiyah Kabupaten Bogor sendiri.

Saat ini, PKBM Tunas Melati bertempat di kompleks amal usaha Muhammadiyah Kabupaten Bogor, Jl Raya Leuwiliang No. 106, Bogor. Telp. 0251 47619. Di kompleks tersebut berdiri TK ABA, MI Muhammadiyah, Mu’alimim Muhammadiyah (Mts dan MA), BMT, Poskestren, Panti Asuhan Yatim dan Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan (STKIP) Muhammadiyah Bogor.

b.ARTIKEL 2

MANKERTRANS:Pendidikan informal tak tersentuh,anggaran 20 persen tertimpang

Jakarta, - Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) menilai alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen ada ketimpangan. Pasalnya, seluruh dana tersebut hanya dikucurkan pada sektor pendidikan formal, padahal pendidikan tidak serta merta ada di struktur formal.

"Semangatnya UUD 1945, 20 persen alokasi anggaran diterjemahkan untuk pendidikan, jadi sepenuhnya untuk depdiknas. Padahal struktur pendidikan ada formal, informal dan non formal," jelas Erman pada wartawan dalam Rakor Nasional Depnakertrans tahun 2008 di Jakarta, Selasa (26/8).

Menteri menguraikan, untuk pendidikan formal memang menjadi tanggung jawab departemen pendidikan nasional, sedangkan informal ada di depnakertrans. "Dan untuk sektor pendidikan nonformal biasanya ada di masyarakat," ujarnya.

Untuk itu, lanjutnya, sektor pendidikan yang perlu dibantu adalah pendidikan informal. Misalnya, ada pelatihan untuk pengangguran, tapi dananya tidak ada yang dialokasikan untuk pendidikan semacam ini. Kemudian, ada sekelompok masyarakat yang ingin mengadakan pelatihan jurnalistik profesional, anggaran dana juga tidak ada.

Jika semua anggaran 20 persen hanya dialokasikan untuk depdiknas, Erman menegaskan, "Itu artinya politik anggaran UUD 1945 tidaklah tepat," tandasnya.

c.Artikel 3

Perbanyak sekolah informal

Kebijakan tentang ditambahnya peluang pendidikan informal memang tengah gencar-gencarnya disosialisasikan oleh pemerintah. Jika saja kita mampu mengapresiasi kebijakan itu secara positif, maka tak harus ada lagi istilah putus sekolah karena kekurangan biaya, tak punya baju seragam, gedung sekolahnya jauh di gunung atau mungkin nyaris roboh. Sekolah informal bisa dilakukan di mana saja dan oleh siapa saja yang memiliki pengetahuan.

Pendidikan bukanlah monopoli sekolah formal. Terlebih jika terkait dengan "masa depan" finansial, hubungan antara pendidikan formal dan pekerjaan seringkali tak beriringan. Semuanya sangat tergantung pada kemauan belajar, kerja keras, dan adaptasi anak-anak terhadap perkembangan zaman.

Seorang petani lulusan sekolah dasar, karena kegigihannya bisa hidup berkecukupan hanya dengan menanam sayuran, TAPI sarjana yang sudah dua tahun lebih lulus dari perguruan tinggi, karena tak punya skill yang memadai untuk memasuki pasar kerja atau mungkin terlalu pilih-pilih pekerjaan, bisa jadi masih saja jadi pengangguran. Semua sangat relatif jika ukurannya adalah kesuksesan masa depan finansial.

Sayangnya, sekolah informal selama ini sering dianggap sebagai sekolah kelas 3 setelah pendidikan formal dan non formal. Sekolah informal lebih berkesan sebagai pilihan paling akhir dari model pendidikan yang ada, yaitu hanya ditujukan bagi mereka yang putus sekolah, ekonomi lemah, kecerdasan rendah, berkebutuhan khusus, dan hal-hal yang marginal lainnya.

Sesungguhnya, sekolah informal bisa berperan lebih dari sekedar alternatif dari pendidikan formal. Namun patut diakui, hal itu akan sangat dipengaruhi oleh kualitas para penyelenggaranya. Sekolah informal bisa menjadi wahana baru bagi tumbuhnya kreativitas pendidikan yang selama ini terlalu dikerangkeng oleh aturan-aturan yang kaku. Sekolah informal bisa menjadi wadah untuk melihat pelajaran dari sudut pandang yang berbeda, yang lebih heterogen, dan juga adaptif terhadap perkembangan yang ada.

Kalau di sekolah formal tumbuhan hanya dipandang sebatas makhluk hidup yang tidak bergerak, memiliki daun, batang, dan akar, maka di sekolah informal seorang pendidik bisa membawa anak-anak pada realitas tumbuhan yang sebenarnya, yang fungsinya bagi kehidupan begitu substansial, sehingga memelihara dan membudidayakannya menjadi sebuah kebutuhan bersama, sehingga menyemai biji dan kemudian menanamnya menjadi pekerjaan lanjutan yang mengasyikkan dan bahkan bisa menghasilkan sesuatu.

Sekolah informal. Semoga siapapun yang peduli, tertarik, dan merasa memiliki kemampuan akan tetap bersemangat untuk menumbuhkannya di wilayah-wilayah terdekat. Hal itu insya Allah akan menjadi amal sholeh tiada terputus yang bisa kita berikan dalam kehidupan ini. Selamat berkarya!

d.Artikel 4

Homeschooling solusi atau kerugian

Akhir-akhir ini metode pendidikan Homeschooling sedang ramai diperbincangkan oleh masyarakat, dipelopori oleh Kak Seto melalui Asah Pena yaitu sebuah lembaga yang didirikan untuk membantu proses belajar mengajar di dalam Homeschooling, apalagi juga didukung melalui pemberitaan yang luas dari media masa, maka semakin tinggilah apresiasi masyarakat -gembor terhadap metode pembelajaran ini, apalagi dengan gembar-gembor dari media massa yang menyatakan bahwa Homeschooling merupakan alernatif pendidikan yang sangat tepat untuk saat ini mengalahkan dominasi sekolah yang sudah sejak dahulu berada dalam garis terdepan dalam melakukan pembelajaran kepada siswa maka masyarakat perlu dijelaskan apakah memang Homeschooling seindah yang mereka bayangkan?

Homeschooling dan Legalitas

Sebelum berbicara mengenai legalitas dari Homeschoolng, harus diketahui dulu apakah sebenarnya Homeschooling itu. Home Schooling atau biasa disingkat HS merupakan pendidikan berbasis rumah, yang memungkinkan anak berkembang sesuai dengan potensi diri mereka masing-masing (Daryono, 2008). Sistem ini sendiri terlebih dahulu berkembang di Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya di dunia. Baru kemudian mulai menjadi tren di Indonesia tahun-tahun belakangan ini. Sebenarnya jika kita flashback ke belakang sistem pembelajaran HS telah ada bahkan sejak sebelum jaman penjajahan dulu, beberapa tokoh penting kita seperti Ki Hajar Dewantara, Buya Hamka dan KH Agus Salim telah lebih dulu mengenyam sistem pengajaran HS ini.

Pendidikan alternatif dengan model sekolah rumah (home schooling) tidak hanya menumbuhkan keinginan belajar secara fleksibel pada anak, namun juga mampu menumbuhkan karakter moral pada anak. Pasalnya, dengan menyerahkan proses belajar sebagai hak anak untuk mendapatkan pendidikan, akan mendorong anak untuk belajar berdisiplin dan bertanggung jawab, terhadap segala kegiatan belajar yang telah dilakukannya (Mulyadi, 2008).

Berbicara mengenai payung hukum, Homeschooling sebenarnya sudah mempunyai payung hukum. Menurut, Harun Al Rosyid Kepala Balai Pengembangan Pendidikan Luar Sekolah dan Non Formal (BPPLSP) mengatakan sekolah rumah atau home schooling ini telah memiliki payung hukum UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Anak peserta home schooling dapat mengikuti ujian nasional berbarengan dengan siswa sekolah formal melalui sekolah mitra yang ditunjuk Dinas Pendidikan.. selain itu, di Indonesia, pendidikan dalam keluarga merupakan kegiatan pendidikan jalur informal, kutipan UU no 20/2003 Sisdiknas). Pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Negara tidak mengatur pada proses pembelajarannya, tetapi hasil pendidikan dari informal diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.

Kemudian (kutipan pasal 90 SNP), peserta didik pendidikan informal dapat memperoleh sertifikat kompetensi yang setara dengan sertifikat kompetensi dari pendidikan formal setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau oleh lembaga sertifikat mandiri / profesi sesuai ketentuan berlaku dan peserta didik pendidikan informal dapat memperoleh ijasah yang setara dengan Ijasah dari pendidikan dasar dan menengah jalur formal setelah lulus uji kompetensi dan ujian nasional yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang teraktreditasi sesuai ketentuan yang berlaku. Dari penjelasan ini maka dapat diketahui bahwa sebenarnya Homeschooling memiliki payung hukum yang jelas dalam melaksanakan metode pembelajaran yang mereka lakukan sehingga masyarakat tidak perlu merasa terlalu takut untuk menyekolahkan anaknya di dalam Homeschooling

Keuntungan dan Kerugian

Metode pembelajaran tematik dan konseptual serta aplikatif menjadi beberapa poin keunggulan HS. Home schooling memberi banyak keleluasaan bagi anak untuk menikmati proses belajar tanpa harus merasa tertekan dengan beban-beban yang terkondisi oleh target kurikulum. Setiap siswa HS diberi kesempatan untuk terjun langsung mempelajari materi yang disediakan, jadi tidak melulu membahas teori. Mereka juga diajak mengevaluasi secara langsung tentang materi yang sedang di bahas. Bahkan bagi siswa yang memiliki ketertarikan di bidang tertentu, misalnya Fisika atau Ilmu alam, diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengadakan observasi dan penelitian sesuai ketertarikan mereka.

Beberapa keunggulan lain home schooling sebagai pendidikan alternatif, yaitu karena sistem ini menyediakan pendidikan moral atau keagamaan, lingkungan sosial dan suasana belajar yang lebih baik, menyediakan waktu belajar yang lebih fleksibel. Juga memberikan kehangatan dan proteksi dalam pembelajaran terutama bagi anak yang sakit atau cacat, menghindari penyakit sosial yang dianggap orang tua dapat terjadi di sekolah seperti tawuran, kenakalan remaja (bullying), narkoba dan pelecehan. Selain itu sistem ini juga memberikan keterampilan khusus yang menuntut pembelajaran dalam waktu yang lama seperti pertanian, seni, olahraga, dan sejenisnya, memberikan pembelajaran langsung yang kontekstual, tematik, dan nonscholastik yang tidak tersekat-sekat oleh batasan ilmu.

Ada keunggulan, pasti ada juga kekurangannya, begitu juga dengan home schooling, beberapa kekurangan harus siap dihadapi oleh orang tua yang memilih home schooling sebagai alternatif pendidikan, diantaranya tidak ada kompetisi atau bersaing. Sehingga anak tidak bisa membandingkan sampai dimana kemampuannya dibanding anak-anak lain seusia dia.. Selain itu anak belum tentu merasa cocok jika diajar oleh orang tua sendiri, apalagi jika memang mereka tidak punya pengalaman mengajar sebelumnya

Kekurangan lain yang tidak bisa kita pungkiri adalah kurangnya interaksi dengan teman sebaya dari berbagai status sosial yang dapat memberikan pengalaman berharga untuk belajar hidup di masyarakat. Kemungkinan lainnya anak bisa terisolasi dari lingkungan sosial yang kurang menyenangkan sehingga akan kurang siap nantinya menghadapi berbagai kesalahan atau ketidakpastian. Faktor tingginya biaya home schooling juga menjadi salah satu kekurangan, karena dipastikan biaya yang dikeluarkan untuk memberikan pendidikan home schooling lebih besar dibanding jika kita mengikuti pendidikan formil disekolah umum.

Sudah Adaptifhkah dengan Indonesia

Untuk menelaah lebih jauh tentang bagaimana pendidikan home schooling ini bisa lebih progresif berkembang di Indonesia, tentu tidak terlepas dari paradigma berfikir masyarakat yang mulai cenderung kritis dan selektif dan tentu saja evaluatif terhadap hasil yang sudah dicapai oleh pendidikan formal yang dikemas dan didesain oleh pemerintah. Secara empiris barangkali salah satu faktor yang mempengaruhi mengapa terjadi pergeseran dinamika pemikiran masyarakat terhadap pola pendidikan di Indonesia adalah salah satunya dikarenakan para orang tua murid sudah begitu menyadari bahwa sudah lama pendidikan kita di â?ohantui â?ooleh tingginya kekerasan sosiologis yang selama ini terjadi dalam interaksi dunia pendidikan kita. Kasus tawuran, seks bebas dan narkoba dikalangan pelajar dengan jumlah korban jiwa yang tidak sedikit adalah salah satu faktor yang menyebabkan para orang tua terbangun landasan berfikirnya untuk melakukan terobosan mencari pendidikan alternatif yang relatif â?oamanâ? buat anak-anaknya dan rezim diktatorianisme pendidik terhadap peserta didik yang selama ini menjadi budaya dalam pola pendidikan kita juga telah membuka mata sebagian masyarakat terutama para orang tua murid untuk lebih mempertimbangkan putra-putrinya untuk sekolah di pendidikan formal.

Realitas lain yang perlu dicermati mengapa pendidikan home schooling ini menjadi pilihan alternatif masyarakat adalah ketika masyarakat mulai menyadari bahwa sebenarnya pola pendidikan formal di Indonesia belum menyentuh substansi kebutuhan riel tantangan dalam era globalisasi yang harus di respon secara kualitatif oleh peserta didik dengan menyiapkan kompetensi yang relevan dan obyektif terhadap kebutuhan skill mereka ketika mereka beraktivitas (bekerja atau berwirausaha). Dan salah satu aspek yang diangkat oleh program pendidikan home schooling ini adalah standard kompetensi internasional tersebut. Maka terjawab sudah bagaimana seharusnya stakeholders (pihak yang terlibat dan berkepentingan dalam dunia pendikan) termasuk dalam konteks ini juga pihak perusahaan dan instansi yang menampung dan mengakomodir kebutuhan tenaga kerja para lulusan untuk concern menyikapi maraknya pendidikan alternatif semisal home schooling ini dalam perspektif yang lebih otonom dan komprehensif, termasuk didalamnya memberikan solusi tentang otoritas standard kelulusan dan formalisasi pendidikan yang di atur secara baku dan menjadi domain pemerintah.Â

Tinggal persoalannya adalah sejauhmana masyarakat lebih selektif memilih pendidikan home schooling ini, tidak semata-mata karena faktor status sosial karena memang biaya program pendidikan ini tidak sedikit (atau sekedar trend) saja. Melainkan karena memang masyarakat kita sudah memahami bagaimana konstalasi dan dinamika dunia pendidikan di era globalisasi ini yang menuntut segi otentitas dan kultur lingkungan mondial berkaitan dengan skill dan kompetensi. Kredibilitas program pendidikan home schooling ini bukan hanya diukur dari tingkat fleksibilitas dan kesan informalistik dengan nuansa yang lebih persuasif dan menyenangkan saja, dimensi belajar mengajar yang tidak terbelenggu oleh ruang dan waktu dengan model on the job method maupun off the job method, garansi dan konsepsi link & mach dengan dunia usaha dan industri dan sebagainya. Namun tingkat kredibilitas program pendidikan home schooling ini juga di dasarkan atas legitimasi yang diberikan pemerintah.

Apakah pemerintah mau lebih bersikap inklusif atau eksklusif dalam menyoal eksistensi program pendidikan home schooling ini yang nota bene bisa saja mengklaim dirinya setingkat dengan strata pendidikan yang sudah baku di Indonesia. Terlepas memang setiap program pendidikan yang diterapkan di Indonesia apapun itu bentuknya tidak menjamin semua aspek kognitif dan sosial peserta didik terakomodir dengan baik. Seperti halnya program pendidikan home schooling ini yang nota bene jelas tidak menspesifikasikan diri pada aspek sosialisme interaksi dan proses transformasi budaya dan sifat komunitas, namun cenderung individualistic, jadi mau Homeschooling atau tidak itu terserah anda.

e.Artikel 5

Homeschooling Histeria

Homeschooling atau sekolah rumah, masih saja menjadi bahan perbincangan yang menarik. Penerapan homeschooling pun tak sepi dari pro dan kontra. Memang, homeschooling sendiri sebenarnya bukan barang baru di dunia pendidikan. Pemerintah sendiri mengamini keberadaan homeschooling melalui UU Sisdiknas, Pasal 27 mengenai pendidikan informal.

Apakah diamininya homeschooling oleh pemerintah dikarenakan ingin berlepas tangan dari tanggung jawabnya sebagai penyelenggara pendidikan? Wallahu?alam. Karena, homeschooling sendiri mulai pembiayaan, fasilitas belajar mengajar sampai tenaga pengajar diselenggarakan oleh masyarakat. Memang pemerintah menyediakan kurikulum sebagai tuntunan bahan ajar, namun masyarakat cenderung memilih kurikulum luar yang rata-rata berasal dari luar Indonesia. Contohnya, kurikulum Franklin Classical School dari Amerika Serikat.
Homeschooling Indonesia dinaungi Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif (Asah-Pena). Juga ada Morning Star Academy, Komunitas Homeschooling Berkemas, Homeschooling Kak Seto, dan KerLip.

Tampaknya, gelombang ketertarikan masyarakat terhadap homeschooling dipacu oleh banyak sebab. Di antaranya, biaya pendidikan formal yang kian membumbung tinggi, terjadinya bullying action pada lingkungan sekolah, rutinitas belajar mengajar yang terasa berat dan membosankan, peserta didik telah fokus dalam kesibukan tertentu (bekerja) serta lebih mudah menanamkan nilai agamis dalam berbagai mata pelajaran yang disajikan.

Pendek kata, apakah homeschooling adalah buah dari ketidakpercayaan masyarakat terhadap mutu sekolah formal dalam mendidik dan membentuk pribadi benih insan bangsa. Ditambah beban biaya pendidikan formal yang kian mahal, serta penerapan kurikulum yang cenderung gonta-ganti dan membuat peserta didik merasa seperti animal test? Lagi-lagi, wallahu?alam.

Pasal 7 UU Sisdiknas mengenai Hak dan Kewajiban Orangtua. Ayat 1. Orangtua berhak berperanserta dalam memilih satuan pendidikan dan memperoleh informasi tentang perkembangan pendidikan anak. Ayat 2. Orangtua dari anak usia wajib belajar berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya.
Mengaitkan antara homeschooling dan Pasal 7 tersebut, saya menyimpulkan, homeschooling sebenarnya bagus kalau diposisikan sebagai wahana pembentuk karakter dan kepribadian anak.

Orangtua justru akan ikut terlibat dan mewarnai pembentukan karakter dan kepribadian anak mereka melalui homeschooling, dengan bahan ajar yang lebih menitikberatkan pada penanaman nilai keimanan serta akhlak yang terpuji. Hasilnya adalah tidak saja terbentuk karakter yang khas, namun anak nantinya memiliki pendewasaan berpikir dan tidak bermental tempe.

Namun, yang menjadi polemik adalah tidak semua orangtua siap dan mumpuni menjadi guru bagi anaknya. Kapasitas ilmu yang dikuasai serta waktu yang tersita untuk mencari nafkah, membuat realita homeschooling sebagai pembentuk kepribadian masih sulit diwujudkan secara merata demi perbaikan iman dan mental insan bangsa ini. Akhirnya, homeschooling tetap menjadi alternatif bagi sebagian orangtua. Padahal, yang pertama kali mewarnai tingkah polah dan pemikiran anak sejak lahir adalah orangtua. Artinya, orangtua adalah guru pertama bagi anak-anaknya.

Homeschooling seharusnya bukan sebagai wahana belajar mengajar yang menolak sekolah formal, namun sebagai wahana belajar mengajar yang melibatkan orangtua dalam penanaman nilai iman dan akhlak terpuji bagi anak mereka.
Inilah saatnya untuk memperbaiki mutu sekolah formal agar menjadi sekolah yang ramah biaya, juga pada aspek fisik dan psikologis peserta didik sehingga mampu mewujudkan cita-cita pendidikan yang sebenarnya dan menjadikan homeschooling sebagai wahana pembentuk iman dan kepribadian insan bangsa.

Bukan justru mengadu domba antara homeschooling dan sekolah formal. Bukankah tujuan pendidikan membentuk insan yang bertakwa serta berakhlak baik dan berguna bagi sesama, bangsa dan agama? Pemerintah pun tetap nomor satu sebagai penyelenggara pendidikan, dan orangtua pun tidak meninggalkan kewajibannya sebagai sekolah pertama bagi anaknya. Gejolak homeschooling histeria yang menolak sekolah formal pun dapat diredam. Bagaimana menurut Anda? (Mia Endriza Y, S.P. Ketua AlPen ProSa Kalsel)


f.artikel 6

Pendidikan Informal Akan Diintegrasikan

Untuk menyesuaikan dunia pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja, Departemen Pendidikan Nasional berencana mengintegrasikan pendidikan informal dengan pendidikan formal pada tingkat sekolah menengah. Pendidikan informal, menurut Mendiknas Bambang Sudibyo, lebih memenuhi kebutuhan masyarakat (demand driven). Karena itu, jika lulusan sekolah menengah juga dibekali dengan pendidikan informal, mereka akan lebih memenuhi kebutuhan dunia kerja.Demikian disampaikan Mendiknas Bambang Sudibyo seusai membuka rapat kerja nasional Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Profesi Indonesia (LP3I) di Jakarta, Senin (20/12). ”Pelan-pelan, sekolah menengah kita dorong untuk menerapkan sistem kredit supaya hasil-hasil kursus pendidikan informal bisa ditransfer ke pendidikan formal. anak-anak SMA kita dengan demikian bisa memiliki keterampilan, kecakapan hidup yang bisa mereka peroleh dari pendidikan informal,” ujar Bambang Sudibyo. Sebagai langkah awal, pemerintah akan mengeluarkan peraturan pemerintah yang berisi pengakuan terhadap pendidikan informal dan mengatur bagaimana mentransfer hasil pendidikan informal kepada pendidikan formal. AkreditasiLembaga-lembaga pendidikan informal yang bisa diintegrasikan ke dalam pendidikan formal, lanjut Bambang, sebelumnya harus melalui proses akreditasi melalui badan-badan yang ditunjuk oleh Depdiknas. Saat ini, Dirjen Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (PLSP) Depdiknas sudah memiliki sejumlah badan yang bisa dikembangkan menjadi lembaga yang menangani akreditasi. ”Tentunya, nanti ada proses akreditasi. Kalau pemerintah bermaksud mentransfer pendidikan informal ke pendidikan formal, pemerintah memiliki kebutuhan untuk mengontrolnya melalui akreditasi. Kita sudah memiliki beberapa lembaga yang selama ini mengembangkan program kecakapan hidup. Saya kira itu bisa menjadi embrio lembaga yang akan menangani akreditasi,” katanya. Mengenai pendidikan informal seperti apa yang akan diintegrasikan ke dalam pendidikan formal, Bambang mengatakan bahwa hal itu terserah pada ma-sing-masing sekolah. Sesuai UU Sisdiknas, kurikulum efektif diramu oleh masing-masing sekolah sedangkan pemerintah hanya memberikan garis besarnya saja. Bambang dalam kesempatan sama juga mengatakan bahwa pendidikan informal yang saat ini kualitasnya sudah bagus dan bisa langsung diintegrasikan dengan pendidikan formal antara lain adalah pendidikan informal yang diberikan oleh lembaga-lembaga yang berada di bawah Dirjen PLSP Depdiknas. Jumlah lembaga pendidikan informal di bawah Dirjen PLSP saat ini 2500, dengan jenis kursus 131.


g.artikel 7


Respons lembaga informal


Bahasa Inggris tidak pernah digunakan secara luas sebagai lingua franca bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Namun, terus terjadi peningkatan kebutuhan dan jumlah pemakai bahasa Inggris-mulai dari tingkat paling minim hingga tingkat kemampuan mendekati penutur asli-terutama di kalangan anak muda kelas menengah perkotaan. Terinspirasi oleh selebriti idola mereka yang populer lewat stasiun-stasiun televisi ala MTV yang lebih suka merekrut pembawa acara dari kalangan lulusan universitas di luar negeri, para kawula muda suka menampilkan diri dalam lingkungan kerja maupun pergaulan sosial dengan berbicara, setidaknya penggalan frase, berbahasa asing untuk menonjolkan gaya hidup perkotaan mereka.
Merespons kekurangan dalam pembelajaran bahasa asing di sekolah dan kebutuhan di masyarakat, kursus bahasa asing berkembang amat marak mulai dari kursus yang dikelola perwakilan resmi negara asing seperti The British Council, Goethe Institut, CCCL, Netherlands Education Centre (NEC), sampai kursus privat milik perseorangan. Sementara sekolah-sekolah secara de facto masih berkutat pada pengajaran tata bahasa dan hafalan aturan berbahasa, kursus-kursus justru menekankan keterampilan berbicara. Beberapa kursus tidak segan-segan mempromosikan program "lancar berbicara dalam tiga bulan" untuk menarik konsumen. Bahkan untuk mempercepat keterampilan berbicara, beberapa kursus menyediakan guru penutur asli.
Biasanya program oleh penutur asli ditawarkan dengan harga lebih mahal dibandingkan yang diajar guru lokal meski belum tentu guru penutur asli lebih kompeten. Mentalitas pascakolonialisme justru dilakukan orang-orang lokal yang lebih menghargai instruktur penutur asli berbahasa Inggris yang tidak berpengalaman- bahkan kadang tidak terdidik di bidangnya-dibandingkan instruktur lokal yang lancar berbahasa Inggris, berpengalaman, dan terdidik di bidangnya.



h.artikel 8


KOMPETENSI TUTOR TERBATAS, PENDIDIKAN INFORMAL ALTERNATIF TERAKHIR

Menurut Erman pada “Apresiasi Wartawan Peduli PTK-PNF” di Gedung Gerai Informasi Depdiknas Jakarta, Rabu (5/7) selain itu pamong belajar, penilik, TLD (Tenaga Lapangan Dikmas), pendidik PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), instruktur kursus dan pengelola satuan Pendidik PNF masih dihadapkan pada persoalan-persoalan intensif, daya saing dan kepemimpinan. Diperlukan upaya strategis, sistematik dan berkelanjutan dalam pembangunan mutu pendidikan khususnya pendidikan non formal yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan terkait, katanya. "PNF idealnya tidak lagi minim sentuhan, dalam konteks peningkatan mutu maka pemerintah membuka ruang seluas-luasnya bagi warga masyarakat untuk terlibat dalam memberikan saran maupun kritik terhadap mutu penyelenggaraan pendidikan itu, terutama menyangkut mutu PTK- PNF," katanya. Relevansi dengan semangat keterbukaan dan untuk mewujudkan kualitas PNF, pemerintah menurut dia memandang perlu menyebar-luaskan informasi tentang PNF dan secara khusus mutu PTK-PNF. Salah satu elemen yang dapat menjadi mitra kerjasama strategis dalam penyebarluasan informasi tentang mutu pendidik dan tenaga kependidikan PNF adalah wartawan, katanya. Pertimbangan tersebut relevan mengingat keberadaan wartawan merupakan kekuatan pembentuk opini yang sangat signifikan pada era informasi dewasa ini. Salah satu bentuk kegiatan yang akan diselenggarakan dalam rangka kerjasama strategis adalah “Apresiasi Wartawan Peduli PTK-PNF”. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk meningkatkan mutu saling pengertian dan kesepahaman antara Dit. PTK-PNF Ditjen PMPTK dengan wartawan tentang perlunya dukungan media massa terhadap strategi, program, dan kegiatan Dit. PTK-PNF. Juga memberikan apresiasi secara selektif kepada wartawan Koran nasional maupun daerah yang telah menulis tentang PTK-PNF dan meningkatkan efektifitas sosialisasi strategi, program dan kegiatan Dit. PTK-PNF Ditjen PMPTK kepada masyarakat luas yang membutuhkan sehingga terbangun partisipasi dan dukungan dari masyarakat yang lebih berkelanjutan. Kegiatan ini berkesesuaian dengan upaya pemerintah dalam menata kebijakannya dalam tema-tema sbb:perluasan dan pemerataan akses, peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing, serta peningkatan tata kelola, akuntabilitas dan pencitraan publik. Depdiknas mempunyai perhatian sangat besar terhadap peningkatan mutu pendidikan di Indonesia baik mutu pendidikan formal persekolahan maupun pendidikan non formal yang dikenal dengan pendidikan Kesetaraan Paket A/B/C Pendidikan Anak Usia Dini, Kursus dan Pelatihan, kata Erman.


i.artikel 9


Antara Sekolah dan Kursus INFORMAL

PENGUASAAN bahasa asing, terutama bahasa asing yang sedang dominan dalam pergaulan internasional, merupakan salah satu akses untuk meraih keberhasilan dalam berbagai bidang. Peta dominasi bahasa asing selalu berubah, baik di tingkat dunia maupun di suatu negara, seiring dengan perubahan sosial dan politik.
PADA abad pertengahan, bahasa Latin memegang peran penting. Ketika abad pertengahan berganti dengan abad Renaissance dan pencerahan, bahasa Perancis menggeser posisi bahasa Latin. Selanjutnya, revolusi industri dan persekutuan Amerika Serikat-Inggris-Australia yang makin menguat telah mengukuhkan dominasi bahasa Inggris pada abad ke-20. Apakah dominasi bahasa Inggris akan langgeng di abad ke-21 ini ataukah akan diganti bahasa lain (China, misalnya), amat bergantung pada perkembangan ekonomi, sosial, dan politik selanjutnya.
Dalam konteks itu, pengajaran bahasa asing di Indonesia juga mengalami berbagai perubahan. Dalam pengajaran bahasa, biasanya ada empat bidang keterampilan yang dijadikan acuan kurikulum: mendengarkan, membaca, berbicara, dan menulis. Sementara itu, tata bahasa merupakan keterampilan yang diajarkan guna meningkatkan penguasaan dalam empat bidang itu. Ironisnya, penekanan yang berlebihan pada tata bahasa ditengarai justru menghambat keterampilan berkomunikasi. Perbedaan penekanan kurikulum bahasa asing di sekolah dan kursus menarik untuk dicermati.
Di Indonesia, sejak kemerdekaan, penggunaan bahasa Belanda makin menurun seiring dengan penerimaan bahasa nasional republik yang baru. Meski bahasa Indonesia berhasil mengukuhkan posisinya sebagai bahasa nasional dan lingua franca, penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa asing makin mapan dengan keputusan pemerintah memilih bahasa Inggris sebagai bahasa asing pertama dan dukungan lembaga-lembaga asing seperti The Ford Foundation, RELO (Regional English Language Office) dan The British Council, serta kebijakan di sektor pendidikan formal, bahasa Inggris diajarkan secara resmi sebagai bahasa asing di sekolah.

j.artikel 10


lembaga Informal Pendidikan Tinggi Dan Karakteristiknya

Untuk memahami lebih jauh apa dan bagaimana lembaga informal pendidikan tinggi itu, barangkali kita perlu mengkaji terlebih dahulu mengenai beberapa faktor yang menjadi latar belakang pendiriannya. Ada tiga hal yang ditengarai sebagai faktor yang melandasi dilembagakannya pendidikan tinggi informal, yakni:
Keinginan para ilmuwan dan para sarjana dari kalangan muda untuk saling berkomunikasi dan saling mendorong semangat keilmuan mereka.
Kehausan akan ilmu pengetahuan yang didorong dengan adanya kebutuhan untuk memperluas pengetahuan umum dan untuk memahami gejala-gejala alam.
Semangat dalam mempertahankan keimanan Islam dalam menghadapi misionaris agama-agama lain.
Secara eksplisit karakteristik pendidikan formal dan informal yang berlangsung pada periode klasik sulit dibedakan.1 Namun ada sisi lain yang dapat kita kaji secara kritis untuk membedakan diantara keduanya, yaitu dari segi sumber pendanaan yang diterima dari negara. Dana yang diterima pendidikan formal sifatnya langsung atau dalam istilah Azyumardi disebut kontan2, sedang dalam pendidikan informal sifatnya tidak langsung, misalnya saja melalui ketentuan hukum perwakafan. Untuk menambah kejelasan, berikut ini akan diklasifikasikan beberapa faktor yang termasuk dalam karakteristik pendidikan informal, meliputi:

Lokasi : selain masjid dan madrasah
Kurikulum : pengetahuan umum lebih dominan.
Metode : bebas tidak terikat.
Subsidi negara : tidak diberikan secara langsung.
Sebutan guru : lebih popular dengan sebutan shaikh.
Kelima faktor itulah yang dapat ditengarai sebagai karakteristik pendidikan informal. Namun, tidak menutup kemungkinan munculnya unsur ambiguitas diantara faktor-faktor yang terkait.


k.artikel 11

Pendidikan Informal Perlu Diperhatikan


Singkawang,- Anggota DPRD Kota Singkawang, Nurindrawati SH menyatakan, anggaran pendidikan tahun 2006 diharapkan tidak saja dipergunakan untuk pendidikan formal. Tapi juga informal yang sepertinya mulai dilupakan. Selama ini, anggaran pendidikan lebih banyak dialokasikan untuk pendidikan formal. Sementara informal tidak ada, padahal informal juga sangat penting untuk menunjang peningkatan SDM berkualitas di Kota Singkawang. "Masih banyak pendidikan informal yang belum tersentuh. Khususnya pendidikan informal terhadap kaum perempuan. Seperti pelatihan-pelatihan, seminar dan sebagainya yang bisa mengangkat SDM kaum perempuan di Kota Singkawang ini," kata Iin, panggilan akrab Nurindrawati belum lama ini. Menurut dia, jika Pemerintah Kota Singkawang tidak mampu untuk melaksanakan kegiatan dibidang informal, bisa diserahkan kepada organisasi terkait untuk melaksanakannya. Seperti GOW, Dharma Wanita Persatuan dan organisasi lainnya yang juga memiliki tanggungjawab untuk melaksanakan itu semua. Organisasi-organisasi seperti itu kata dia bisa diberdayakan dalam upaya meningkatkan pendidikan informal di Kota Singkawang. Dengan begitu keberadaan mereka lebih berperan dan berarti di tengah-tengah masyarakat Kota Singkawang. Tidak seperti yang terjadi selama ini, organsiasi-organisasi tersebut hanya muncul dalam moment-moment tertentu saja. Sementara program rutinitas untuk meningkatkan SDM nyaris tidak kelihatan di permukaan. Legislator dari PAN ini mengaku tidak tahu persis mengenai kondisi anggaran di organisasi-organisasi tersebut. "Yang jelas dana untuk program kegiatan di setiap organisasi itu ada," ujarnya. Besar atau tidaknya anggaran yang ada di organisasi, Iin berharap agar pemerintah terkait dapat menggandeng organisasi tersebut untuk melancarkan kegiatan pendidikan informal di Kota Singkawang. Apakah itu dalam bentuk pelatihan, seminar, diskusi dan sebagainya yang bisa meningkatkan kualitas SDM masyarakat kota, khususnya SDM kaum perempuan. Dia yakin dengan adanya kegiatan pendidikan informal yang dianggarkan melalui APBD nanti dapat menunjang program pemerintah untuk menjadi kota berkualitas. Masyarakat berstatus ekonomi lemah yang tidak mampu mengenyam pendidikan formal pun bisa merasakan sentuhan pendidikan. (vie) <>L.artikel 12

Pendidikan Informal Untuk Semua

Dalam kehidupan sehari-hari kita sering melihat anak-anak atau adik kita pulang sekolah, setelah jam sekolah usai, mereka kembali ke keluarga mereka di rumah, tetapi apakah anda pernah menyadari bahwa pendidikan terus berjalan, meskipun mereka telah pulang ke rumah?
Pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan informal, dimana pendidikan tersebut berlangsung sejak anak tersebut dilahirkan dan mulai mengenal lingkungan sampai mereka beranjak dewasa. Pendidikan informal lebih menitikberatkan pada perkembangan afeksi, moral dan emosional. Secara biologis perkembangan afeksi dikendalikan oleh otak kanan yang banyak berperan pada kecerdasan spiritual, emosional, sosial, estetika dan kinestika, sehingga jika pendidikan informal benar-benar dilaksanakan dengan baik akan membentuk manusia yang mempunyai keseimbangan dalam 3 ranah, yaitu afeksi, kognisi dan psikomotor. Dalam perkembangannya, banyak keluarga moderen yang lebih mementingkan perkembangan anak dari sisi kognisi, yang ditandai dengan diikutkannya anak mengikuti pelajaran tambahan (les) mata pelajaran tertentu yang dianggap bergengsi atau kursus-kursus ketrampilan lain.
Sejatinya, perkembangan ketiga ranah tersebut harus seimbang, sehingga tercapai keselarasan dalam hidup manusia, dan tidak ada lagi hacker, koruptor, atau teroris, karena mereka pada dasarnya adalah orang yang diberi kelebihan kognisi tetapi kurang (tidak punya) afeksi, sehingga cenderung merugikan dan membahayakan orang lain.
Seiring dengan kebijakan pemerintah yang mulai menyadari pentingnya pendidikan anak usia dini (PAUD) maka langkah awal yang dapat dilakukan untuk membentuk manusia seutuhnya dimulai dari keluarga, khususnya pada usia emas 0 - 6 tahun, dimana pada usia tersebut rangsangan atau stimulan bisa diberikan agar anak usia dini dapat berkembang lebih baik. Keluarga adalah dunia pendidikan informal yang utama dan seharusnya memberikan contoh baik yang sesuai dengan norma-norma yang ada di masyarakat, agar kelak anak-anak mereka bisa berguna bagi bangsa dan negara.

m.artikel 13


Dana Pendidikan Dipotong Rp 41,8 Miliar

Selasa, 29 April 2008 Surabaya, Kompas - Dana pendidikan nonformal dan informal Jawa Timur dipotong sekitar Rp 41,8 miliar. Akibatnya, beberapa program peningkatan kualitas pendidikan seperti penghapusan buta aksara, dana hibah pendidikan luar sekolah, program penyetaraan wajib belajar sembilan tahun, dan pengembangan budaya baca dipastikan berkurang.Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jatim Rasiyo mengatakan, pemotongan dana itu dipastikan akan mengurangi sasaran sejumlah program peningkatan pendidikan. "Program penghapusan buta aksara di pedesaan terpaksa akan dikurangi pesertanya," katanya di Surabaya, Senin (28/4).Menurut Surat Keputusan Direktorat Jenderal Pendidikan Non Formal dan Informal Nomor 181 Tahun 2008, dana penghapusan buta aksara untuk Provinsi Jatim dipotong sebesar Rp 23 miliar dari Rp 63 miliar. Sasaran pun berkurang sekitar 5.000 orang. Padahal, jumlah penduduk buta aksara di Jatim masih menempati posisi tertinggi di Indonesia, yaitu sekitar 3,7 juta jiwa dengan usia 10 tahun ke atas.Sementara pemotongan dana penyetaraan wajib belajar sembilan tahun menyebabkan program kejar Paket A atau program penyetaraan pendidikan setingkat SD ditiadakan. Adapun dana untuk program kejar Paket B dipotong sebesar Rp 4,1 miliar. Demikian juga dana kejar Paket C yang dipotong hampir setengahnya. Menurut data Badan Pusat Stastistik tahun 2006, terdapat 3,6 juta penduduk Jatim yang belum pernah mengecap bangku sekolah.Program pengembangan budaya baca pun terkena dampak penundaan anggaran oleh Departemen Keuangan. Program ini mengalami pemangkasan hingga Rp 2,8 miliar dari dana yang tersedia sebelumnya, yaitu Rp 3,7 miliar. Akibatnya, sebanyak 125 taman baca masyarakat yang ditargetkan dibangun per tahun berkurang menjadi 63 buah saja.Kepala Bidang Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Dinas Pendidikan Kota Surabaya Edi Santosa mengatakan, pemotongan sebesar Rp 6 miliar dari pengembangan kursus dan magang mengakibatkan dana hibah untuk lembaga pelatihan dan kursus dibekukan.Pembekuan bantuanSelama sebulan terakhir, bidang PLS telah menolak sebanyak empat pengajuan bantuan kursus yang meliputi kursus menjahit, pengobatan alternatif, kecantikan, dan komputer. "Pembekuan ini terpaksa kami lakukan, padahal program ini sangat berguna untuk penduduk putus sekolah," kata Edi.Pemilik dan pengelola LPK Menjahit dan Bordir Sarasvati, Endang Srividodo, mengatakan bahwa penghapusan bantuan itu akan menghentikan kursus gratis yang selama ini ia selenggarakan untuk anak-anak putus sekolah dan belum bekerja di Kecamatan Sambikerep.


n.artikel 14

Komunitas homeschooling Tolak Diskriminasi

Selasa, 15 Januari 2008

JAKARTA, KOMPAS - Komunitas homeschooling yang tergabung dalam Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif menolak diskriminasi dalam penyelenggaraan ujian nasional pendidikan kesetaraan atau UNPK. Komunitas ini meminta supaya draft Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang UNPK benar-benar mengakomodasi kepentingan anak-anak yang memilih jalur pendidikan nonformal dan informal.Ketidaksetujuan komunitas homeschooling Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif (Asah Pena) yang diketuai Seto Mulyadi ini disampaikan di Jakarta, Selasa (15/1). Para orang tua dan anak yang tergabung dalam komunitas homeschooling ini menyampaikan protes mengenai ketentuan UNPK yang dinilai tidak adil kepada Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).Dhanang Sasongko, Sekretaris Umum Asah Pena, mengatakan mereka menolak diskriminasi terhadap peserta pendidikan kesetaraan. Waktu pelaksanaan UNPK dinilai lebih untuk mengakomodasi anak-anak dari sekolah formal yang tidak lulus UN agar dapat mengulang di UNPK akan menempatkan pendidikan kesetaraan sebagai pembuangan dari sistem pendidikan formal.Ketentuan umur ijazah peserta UNPK di bawahnya minimal tiga tahun sangat merugikan perkembangan anak-anak peserta pendidikan kesetaraan, khusunya bagi mereka yang memiliki kompetensi untuk mengikuti program akselerasi. Pelaksanaan UNPK di bulan Juli juga menyebabkan peserta pendidikan kesetaraan tidak bisa mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa baru di tahun tersebut.Asah Pena yang beridiri tahun 2006 untuk mewadahi para penyelanggara pendidikan kesetaraan di Indonesia ini memiliki anggota 36 komunitas seloah rumah. Peserta didik berjumlah 2.000 orang yang antara lain tersebar di Kalimantan Timur, Jawa Timur, DKI Jakarta, Medan, Denpasar, dan Ternate.Djemari Mardapi, Ketua BSNP, mengatakan, ketentuan mengenai UNPK itu dibuat untuk mengakomodasi kepentingan semua pihak. Apalagi pembahasan soal ketentuan UNPK itu sudah disepakati berbagai pihak seperti Depdiknas, Departemen Agama, dan pondok pesantren.”Draft-nya tinggal menunggu ditandatangani Mendiknas saja. Kalau untuk soal waktu cukup sulit untuk diubah. Tapi BSNP akan mencoba untuk bisa menyalurkan aspirasi komunitas homeschooling ini karena kami pun baru tahu jika ternyata ada ketentuan yang belum dapat diterima dan dinilai tidak adil,” kata Djemari. (ELN)

o.artikel 15

Homeschooling: Pendidikan Berbasis Keluarga

Siapapun yang tertarik dengan tema-tema seputar homeschooling (HS), informasi ini mungkin cukup bermanfaat.HS sudah mulai hangat dan bahkan kini agak “panas” dibicarakan di ruang publik. Selain karena terbitnya buku-buku HS karya penulis lokal yang promonya cukup gencar, atau mungkin juga karena HS ternyata sudah mampu menarik perhatian dan menyulut respon subjektif anggota dewan dan pakar pendidikan.HS memang unik, tapi bukan berarti aneh. Pendidikan anak yang dipayungi oleh institusi keluarga adalah fondasi pendidikan yang paling sempurna. Kemunculan istilah HS yang berasal dari barat hanyalah sebuah istilah yang memudahkan penyebutan. Namun pada faktanya, pendidikan keluarga yang dimotori oleh orang tua sudah hidup berabad-abad lamanya, bahkan mungkin sejak zaman Nabi Adam a.s.Kita tentu belum lupa bahwa para Nabi adalah para pendidik utama anak-anaknya dan memiliki pendidik yang terbaik semasa kecilnya. Tanggung jawab pendidikan itu mereka aktualisasikan lewat fase-fase kehidupan bersama anak-anak yang alami namun penuh dengan visi.Nabi Ibrahim a.s mendidik langsung putranya Ismail dengan ajaran Allah lewat peristiwa-peristiwa nyata kehidupan. Bahkan sejak awal Ismail sudah dilibatkan dalam pendirian Baitullah (’Rumah’ Allah) di Makkah dan dilatih sikap pengorbanannya lewat peristiwa penyembelihan. Semua itu memang bukanlah kebetulan, melainkan gabungan antara ketaatan dan usaha seorang manusia dan bimbingan Sang Khalik.Begitu pula dengan Nabi Musa a.s, Nabi Isa a.s, beliau semua tumbuh terdidik dengan hadirnya orang-orang yang sangat peduli dengan pendidikan mereka. Nabi Musa a.s memiliki Aisiyah dan Bunda kandungnya sebagai pengasuh dan juga pengarah, meski beliau hidup dalam lingkungan Firaun yang zhalim. Adapun Nabi Isa a.s memiliki Maryam sebagai pengasuh dan pendidik yang disucikan Allah.Demikian halnya dengan Nabi Muhammad saw terhadap putrinya Fathimah Az Zahra dan sepupunya Ali bin Abi Thalib, pendidikan untuk mereka telah dilakukan sejak kecil dengan tempaan-tempaan hidup yang keras, yang akhirnya mengokohkan iman serta akhlak dan pribadi mereka. Hal itulah yang akhirnya menjadi harta berharga yang mampu memelihara kualitas keturunan Nabi setelah Nabi tiada.Bagaimana dengan kita? Anak-anak pada zaman ini sesungguhnya tengah dikelilingi oleh srigala-srigala lapar yang sedang mengumpulkan teman. Kapitalisme menjelma dalam berbagai wujud, termasuk dalam dunia pendidikan. Kini, anak-anak lebih membutuhkan fondasi pendidikan dari keluarganya jauh lebih besar daripada anak-anak zaman dulu. Karena tanpa fondasi yang kuat, mereka akan lebih mudah terbawa arus.Mencermati gaya hidup anak-anak dan remaja saat ini, terasa hati miris dan juga khawatir. Media yang menjajakan produk dan nilai-nilai liberalisme moral bertebaran di mana-mana hingga ruang untuk mengingatkan manusia akan tujuan hidup dan hakikat kematian nyaris tak tersisa. Dan ironisnya, media-media itu justru dilegalkan oleh pemerintah.Beberapa pihak sering menafikan bahwa media tidaklah berpengaruh besar terhadap perilaku anak-anak. Namun benarkah demikian? Fakta di lapangan justru menunjukkan hal yang sebaliknya. Media ternyata telah menjadi rujukan anak-anak untuk menciptakan citra atas dirinya. Pakaian mereka, cara mereka berbicara, cara mereka bergaul, cara mereka belajar, dan cara mereka bersikap, nyaris semuanya adalah hasil copy-paste dari idola mereka yang dipublikasikan besar-besaran oleh media.Lalu, siapa yang bisa bertanggung jawab jika sebagian besar anak dan remaja tumbuh tanpa jati diri dan akhlak yang terpuji. Saya pikir, media ataupun para idola itu tak akan mau bertanggung jawab atau bahkan tak pernah merasa bersalah. Ya, tentu saja tidak ada lagi yang bisa mengemban tanggung jawab besar terhadap pendidikan anak-anaknya kecuali ORANG TUA.Pesan Al Quran surat At Tahrim (66) ayat 6 berbunyi, “Hai, orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakunya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”Sehubungan dengan HS, sesungguhnya ada misi yang indah yang tersimpul dari homeschooling, home-education, home-learning, atau apapun namanya, yaitu mengembalikan basis pendidikan anak-anak yang selama beberapa waktu terakhir secara tidak sadar bertumpu pada lingkungan dan sekolah formal, kembali kepada keluarga.Jangan simpulkan HS sebagai rival sekolah formal, karena spirit HS sesungguhnya telah hidup jauh sebelum sekolah formal ada. Kalau saja kata “sekolah” agak mengganggu persepsi kita yang sudah terlanjur melekat pada sekolah formal, maka saya lebih suka menyebutnya pendidikan rumah. Sebuah frasa yang menaungi wilayah yang lebih luas dari sekedar kegiatan belajar-mengajar atau tutorial.Saya percaya, bahwa sekolah formal saja tak akan sanggup memberikan kebutuhan pendidikan anak-anak kita tanpa pendidikan yang komprehensif di dalam keluarga. Satu hal yang paling penting dalam hal ini adalah akhlak. Sekolah formal mungkin bisa melakukan transfer pengetahuan pada anak-anak, namun belum tentu mampu menghembuskan nilai-nilai moral dari setiap pengetahuan.Misalnya saja ilmu tentang jenis-jenis kebutuhan dalam ilmu sosial: kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Apa yang diketahui anak-anak tentang hal itu selain hapalan tentang contoh-contohnya? Saya kira hanya guru yang memiliki visi yang mampu mengaitkan pengetahuan itu dengan konteks moral, misalnya bagaimana kebutuhan sekunder dan tersier seperti pakaian mewah atau mobil mewah bisa dikesampingkan jika kita masih melihat orang-orang yang kelaparan dan tak punya pakaian layak masih terlihat di sekitar kita.Akhlak adalah produk pengetahuan. Pengetahuan yang baik dan ditransfer dengan cara serta visi yang baik lebih mungkin menghasilkan anak-anak yang berakhlak baik. Adapun pengetahuan yang baik, namun disampaikan dengan cara dan semangat yang kering dari para pengajarnya, hanya akan menjadi sebuah hapalan yang mungkin segera terlupakan setelah materi itu selesai diujikan dalam test.Kita tentu tak bisa menuntut banyak dari guru dan sekolah formal untuk melakukan prombakan pembelajaran. Oleh karena itu, orang tualah ujung tombak dalam menancapkan nilai-nilai transenden sebuah pengetahuan yang tak terbilang banyaknya ini.