Sabtu, 28 Februari 2009

d)Pendididkan Non formal

a.Artikel 1

Pendidikan Nonformal Gratis untuk Anak Putus Sekolah

Tingginya angka putus sekolah, banyaknya anak jalanan dan anak terlantar di Indonesia membuat banyak pihak prihatin, tak terkecuali Yayasan Pendidikan Indonesia-Amerika (Indonesian-American Education Foundation) di Jakarta atau di singkat Jakarta IAEF. Jakarta IAEF akan membangun gedung dan memberikan pendidikan nonformal gratis buat anak-anak tersebut.
Demikian diungkapkan Ketua Jakarta IAEF Daniel Dhakidae, Ketua Pembina Jakarta IAEF Azyumardi Azra, anggota Pembina IAEF Jakarta Aristides Katoppo, dan President Dallas IAEF Henny Hughes, kepada pers Senin (27/10) di Jakarta. "Idenya membangun suatu yayasan untuk kepentingan pendidikan, terutama untuk anak-anak putus sekolah, anak jalanan dan anak terlantar. Mereka akan ditampung, dididik dan dilatih hingga mampu berdiri sendiri menopang kehidupannya, tanpa mengeluarkan biaya," kata Daniel Dhakidae.

Bagi mereka sudah lulus dan menguasaimenguasai keterampilan sesuai bidang yang diminatinya, maka mereka akan disalurkan bekerja di luar negeri dengan jejaring yang dibangun, misalnya di Timur Tengah, Malaysia, termasuk Amerika sendiri. Sejumlah duta besar sudah dikontak dan mendukung program ini. Namun, Jakarta IAEF bukanlah lembaga pengerah jasa tenaga kerja yang mendapatkan fee.

Azyumardi Azra mengatakan, yayasan pendidikan ini dibuat sebagai jembatan budaya kedua negara, Indonesia-Amerika. "Yayasan Pendidikan Indonesia Amerika ini lebih dari soal pendidikan, tapi juga pertukaran budaya, sehingga dengan ini mereka bisa mengetahui dan menghayati, dan saling menghargai kebudayaan masing-masing," katanya.

Karena itu, untuk mendukung ini, Aristides Katoppo berharap banyak pihak, apakah pribadi atau perusahaan yang peduli pendidikan anak-anak bangsa yang terlupakan ini, untuk membantu mewujudkan pembangunan gedung Learning Center, tempat mereka membekali diri dengan berbagai keterampilan untuk berkarya.

"Tanggal 11 Desember 2008, akan digelar malam dana bertajuk We are the Forgotten Children of Indonesia di Balai Sarbini. Diharapkan masyarakat mau menyumbang, bersimpati, dan memberikan solidaritas dan kebersamaan," ujarnya.

Henny Hughes menambahkan, gagasan ini berdasarkan investigasi dua tahun lalu. Untuk membawa anak-anak itu kembali belajar, motivasinya harus dari diri mereka sendiri. Keinginan belajar dari mereka itu harus kuat.

Membawa mereka kembali belajar bukanlah hal yang mudah, akan tetapi bukan pula sesuatu yang mustahil karena pengaruh kehidupan liar di luar rumah telah merubah pola pikir mereka. "Untuk itu dibutuhkan metode khusus, praktis dengan bahasa yang sederhana dan berbagai variasi sistem penyampaian, misalnya melibatkan audio-visual agar lebih mudah dipahami, sehingga membuat belajar sebagai bagian dari aktivitas yang menyenangkan dan menjadi suatu kebutuhan," jelasnya.

Menurut Henny, pendidikan nonformal di Learning Center bisa menampung 400 anak. Walaupun yang menjadi target sementara adalah mereka yang putus sekolah dan yang memasuki usia dewasa atau 17 tahun ke atas, akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu maka Learning Center juga akan dapat menampung berbagai tingkatan, termasuk anak-anak setingkat SD hingga universitas. Bahkan, akan menjangkau setiap warga yang ingin meningkatkan kemampuan dan pengetahuannya.

Learning Center yang didesain oleh Fakultas Teknik Jurusan Sipil dan Perencanaan Universitas Trisakti, untuk tahap awal selain memiliki fasilitas belajar-mengajar dan training juga memiliki sejumlah fasilitas olahraga. Bangunan tiga lantai seluas lebih kurang 2.000 meter persegi di atas tanah seluas 3.000 meter persegi itu, rencananya akan dilaksanakan pada awal tahun 2009 dan diharapkan akan dapat dioperasikan pada pertengahan tahun 2010.


b.Artikel 2

Diknas akan Integrasikan Program Non Formal ke Pendidikan Formal

Mengenai lembaga yang bakal ditunjuk melaksanakan akreditasi, Mendiknas menyatakan, lembaga tersebut sebenarnya sudah tersedia.

Beberapa lembaga yang bDepdiknas akan mengintegrasikan beberapa program yang diajarkan melalui pendidikan non-formal dengan program pendidikan formal sehingga diharapkan peserta didik setelah menyelesaikan pendidikannya juga memiliki bekal kecakapan hidup.

"Pendidikan non formal banyak mengajarkan program kecakapan hidup (life skill) sehingga selayaknya dapat ditransfer dalam program pendidikan formal," kata Mendiknas Bambang Sudibyo ketika membuka Rakernas Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Profesi Indonesia (LP3I) di Jakarta, Senin.

Untuk itu, pemerintah saat ini tengah menggodok peraturan pemerintah yang memungkinkan dua program pendidikan yang berbeda tersebut dapat dipadukan.

Ia mengatakan, pemerintah akan memberikan penyelesaian dan mekanisme bagaimana melakukan transfer, namun demikian lembaga kursus yang dapat melakukan transfer ke pendidikan formal tentu harus melalui proses modifikasi dan terakreditasi.
erada dalam binaan Dirjen Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (PLSP) Depdiknas, yang selama ini sudah mengembangkan program kecakapan hidup, bisa menjadi embrio lembaga yang akan menangani akreditasi, katanya.

"Kalau yang diasuh oleh lembaga-lembaga itu saya tahu, itu sudah siap dan langsung bisa diberikan akreditasi. Tapi kalau yang diselenggarakan oleh masyarakat saya kan harus melihat dulu," katanya.

Ia juga mengatakan, jika pemerintah bermaksud mentransfer pendidikan non formal ke pendidikan formal, pemerintah memiliki kebutuhan untuk mengontrolnya melalui akreditasi.

Menurut dia, pemerintah akan mendorong lembaga formal seperti Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) yang memungkinkan anak didiknya mendapat bekal kecakapan hidup atau life skill. Hal ini sangat mungkin mengingat saat ini banyak disuplai oleh pendidikan non-formal.

Pendidikan nonformal seperti lembaga kursus, kata Bambang, punya keunggulan dibandingkan dengan pendidikan formal sebab lembaga kursus membuka program untuk memenuhi kencenderungan kebutuhan masyarakat.

Ia mengatakan, lembaga kursus berbeda dengan pendidikan formal. "Pemerintah membangun sekolah dimana-mana, biasanya tanpa banyak memperhitungkan kebutuhan masyarakat, semata-mata karena program pemerintah, maka dibangun saja. Sebaliknya, lembaga pendidikan non-formal dibangun dengan memperhitungkan kebutuhan masyarakat," katanya.

Pendidikan non-formal, memang tidak terlalu terstruktur dan dapat diselenggarakan lebih mengakomodasi kepentingan individual, sementara pendidikan formal prosesnya cenderung massal sehingga seringkali tidak memperhitungkan apakah programnya dibutuhkan masyarakat atau tidak, katanya.

Lebih lanjut Mendiknas mengatakan, tuntutan dunia pendidikan nasional ke depan akan mengutamakan lulusan sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA) yang memiliki kemampuan memasuki bursa kerja semakin tinggi.

Oleh sebab itu Mendiknas, Bambang Sudibyo merencanakan agar pada sistem pembelajaran sekolah menengah umum tersebut juga diberikan pelajaran kecakapan hidup untuk menunjang kesiapan lulusan sekolah itu untuk memasuki dunia kerja.

"Diharapkan dengan adanya program ini maka angka partisipasi kasar sekolah bisa ditingkatkan," katanya.

Data Dirjen Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (PLSP) menyebutkan saat ini terdapat 2.500 lebih lembaga kursus di Indonesia, dan terdapat 131 jenis kursus yang diselenggarakan oleh PLSP.

Mengenai bentuk kurikulum pendidikan yang akan disusun dengan masuknya program pendidikan non formal ke dalam pendidikan formal, Mendiknas mengatakan pemerintah akan menerapkan kurikulum yang longgar sekali, kemudian sesuai dengan UU Sisdiknas
kurikulum efektif itu (yang memasukkan pendidikan non formal-red) akan diramu oleh masing-masing sekolah di bawah koordinasi dinas pendidikan daerah. Jadi nantinya terserah masing-masing sekolah, bagaimana meramu kurikulumnya,".

c.Artikel 3

Pendidikan Non Formal Raih 1.8 juta Peserta Didik

Direktorat Pendidikan Formal dan Informal Depdiknas di tahun 2007 berhasil memperluas akses wajib belajar melalui pendidikan non formal. Terbukti sebanyak 1.850.618 peserta didik terjaring dalam pendidikan keseteraan yang terhimpun di paket A, B dan C
Peran pendidikan kesetaraan untuk pembelajaraan paket A setara SD menyumbang 0,4 persen Angka Partisipasi Kasar (APK) dan untuk program paket B setara SMP menyumbang 4,6 persen sedangkan untuk paket C setara SMA menyumbang sebanyak 3,8 persen, kata Dirjen Pendidikan Formal dan Informal Depdiknas Ace Suryadi dalam laporannya kepada Mendiknas Bambang Sudibyo belum lama ini di Jakarta Lebih lanjut Ace mengatakan dalam rangka meningkatkan pelayanan pendidikan kepada peserta didik yang tidak terjangkau pendidikan formal pada tahun 2007, pihaknya telah berhasil mendidik 284.601 peserta didik untuk paket A, untuk Paket B mendidik 1.490.315 peserta dan Paket C mendidik 75.701 peserta. Tahun ini, kami akan berusaha meningkatkan akses pendidikan Paket A dan B untuk menuntaskan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun dengan jangkauan pelayanan 25 persen angka putus sekolah SD kelas 4 dan 5 dan 50 persen siswa lulus SD yang tidak melanjutkan ke jalur SMP, kata Ace.
Menurut Ace pendidikan kesetaraan memang berada dalam posisi pinggiran. Hal itu diperkuat oleh fakta bahwa sebagian besar peserta didik di sini adalah anak-anak miskin, berhenti sekolah di tengah jalan, atau orang dewasa yang belum pernah menamatkan pendidikan dasar dan menengah.
Fenomena itu mesti diterima sebagai tantangan untuk memperbaiki citra itu. Semestinya hal itu menjadi pemacu semua pihak untuk menjadikan program tersebut memiliki daya tarik, yang siap bersaing dengan jalur persekolahan, bahkan mampu menempatkan diri sebagai jalur pendidikan dasar dan menengah alternatif.
Artinya, sebagai cara lain bersekolah untuk dapat memberikan yang berbeda dan lebih dari apa yang diberikan sekolah. Para peserta didik lebih membutuhkan bekal keterampilan untuk secepatnya mendapatkan pekerjaan. Dalam perspektif ini, Di kesetaraan yang bermutu tentulah yang dapat memberikan keterampilan relevan sehingga mereka cepat dapat bekerja setelah lulus, ujarnya.
Sementara itu Direktur Pendidikan Kesetaraan Ella Yulaelawati menjelaskan pada tahun 2008 pihaknya akan fokus dalam melayani masyarakat kurang mampu yang tidak tersentuh layanan pendidikan formal di 149 kabupaten kota.
Berdasarkan data Lakip Mendiknas disebutkan terdapat 7 provinsi di Indonesia yang masih rendah dalam penuntasan wajib belajar seperti Nusa Tenggara Timur, Papua Barat, Papua, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat.
Berdasarkan hasil kajian kami, pada tahun 2008 mendatang kami akan lebih fokus melayani program paket di 149 kabupaten/kota. Dan tentunya, akan dilakukan inovasi layanan program sesuai dengan kebutuhan masyarakat, ujarnya.
Dijelaskan, proses pembelajaran Pendidikan Kesetaraan menggunakan pendekatan induktif, tematik, partisipatif (andragogis), konstruktif dan lingkungan. Induktif maksudnya adalah pendekatan yang membangun pengetahuan melalui kejadian atau fenomena empirik dengan menekankan pada belajar pada pengalaman langsung.

d.Artikel 4

PROGRAM-PROGRAM PENDIDIKAN NONFORMAL UNTUK MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT PEDESAAN

Program Riset
Pembangunan pedesaan mempunyai peranan penting dan strategis dalam pembangunan daerah dan pembangunan nasional. Hal ini disebabkan karena sebagian besar masyarakat tinggal di daerah pedesaan dengan lingkungan yang memiliki potensi alam yang melimpah, lagi pula pembangunan pedesaan menyentuh langsung kepentingan masyarakat desa. Oleh sebab itu pemerintah seharusnya memberikan perhatian besar dan lebih serius terhadap pembangunan desa.
Sekalipun kemajuan dalam pembangunan desa telah banyak dirasakan manfaatnya, namun masih banyak pula masalah-masalah yang perlu dipecahkan untuk lebih memantapkan pembangunan desa. Khususnya dari segi peningkatan dan pemerataan pendidikan nonformal perlu ditemu kenali aspek-aspek mendasar dari kehidupan masyarakat desa sebagai subyek (warga belajar). Untuk maksud itu setiap lembaga yang bertanggung jawab atas pengembangan pendidikan nonformal pada masyarakat pedesaan perlu melaksanakan kegiatan penelitian secara mendalam dan luas.
Menyadari akan kepincangan-kepincangan yang ada di daerah pedesaan, maka program riset dalam rangka pelaksanaan pendidikan nonformal bagi masyarakat pedesaan merupakan satu kebutuhan.
Salah satu jenis penelitian yang akurat dan cepat hasilnya dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat pedesaan adalah action research. Untuk mengejar ketinggalan-ketinggalan yang dihadapi masyarakat desa perlu dikembangkan jenis penelitian ini.

Program Pendidikan nonformal dengan Menggunakan Bahasa Ibu
Masyarakat pedesaan terdiri atas berbagai suku bangsa yang memiliki bahasa lokal masing-masing, ingat saat ini masih digunakan secara lisan dalam pergaulan hidup seharĂ­-hari.
Pesan-pesan pendidikan nonformal akan lebih mudah dan cepat dihayati dan dimengerti oleh masyarakat apabila disampaikan dalam bahasa lokal atau bahasa ibu mereka. Selain itu, dengan menggunakan bahasa ibu dalam menyampaikan pesan-pesan pendidikan nonformal, sekaligus dapat melestarikan bahasa ibu guna memperkaya kebudayaan nasional.
Hasil penelitian Jim Cummis (2005) menjelaskan bahwa anak-anak yang kuat akan lebih dapat membangun kemampuan keaksaraan mereka dalam bahasa yang digunakan di temapat pendidikan. .Jika orang tua dan pengasuh lainnya (misalnya kakek atau nenek) bisa meluangkan waktu dengan anak-anak mereka, serta bercerita atau mendiskusikan masalah tertentu sehingga dapat mengembangkan keaksaraan dalam konsep bahasa ibu mereka, maka anak-anak bisa lebih siap untuk mempelajari bahasa di tempat pendidikan, dan berhasil dalam pendidikan mereka. Pengetahuan dan keterampilan mereka dialihkan dari bahasa ibu yang telah mereka pelajari di rumah ke dalam bahasa yang digunakan di tempat pendidikan. Dari sudut pandangan pengembangan konsep dan keterampilan berfikir anak-anak, kedua bahasa ini saling bergantung satu sama yang lain. Pengalihan lintas bahasa terjadi secara dua arah, jika bahasa ibu dipromosikan di sekolah (misalnya dalam program pendidikan dwibahasa) makan konsep kemampuan berbahasa dan ketrampilan keaksaraan yang dipelajari oleh anak- anak dalam bahasa ibu mereka. Singkatnya kedua bahasa itu bisa saling terpelihara jika lingkungan pendidikan mendukung anak-anak untuk menggunakan dua bahasa.
Dengan pendekatan bahasa ibu dalam proses pembelajaran, peluang untuk keberhasilan cukup tinggi karena yang dipelajari adalah ucapan, kata-kata yang setiap saat muncul di dalam kehidupan baik dalam proses sosial, ekonomi maupun proses budaya. Pemahaman makna yang dipelajari akan lebih mudah dimengerti karena kata-katanya sudah menjadi bagian tentang apa yang telah dikerjakan atau dilakukan dalam kehidupannya.
Manfaat yang didapatkan dari pembelajaran dengan menggunakan bahasa ibu (bahasa rimba) adalah:
a.Bisa menjadikan lebih cepat akrab dengan warga belajar

b.Bisa mempelajari dan memahami struktur bahasa warga belajar

c.Warga belajar dapat melestarikan adat mereka
Memotivasi pada warga belajar untuk menularkan kemampuan membaca, menulis, dan menghitung kepada generasi berikutnya.

Program Radio Siaran Pendidikan Nonformal

Kegiatan dan peristiwa pembelajaran, khususnya pendidikan nonformal perlu diusahakan melalui berbagai altrenatif program strategis yang bervariasi dan inovatif, sehingga dapat memberikan pelayanan secara maksimal kepada setiap warga masyarakat sesuai dengan kebutuhan, kemampuan, kecepatan dan ketepatan belajar setiap warga masyarakat. Hal ini dimaksudkan untuk mempercepat perluasan dan pemerataan belajar bagi seluruh lapisan masyarakat.
Salah satu alternatif pembelajaran pendidikan nonformal yang cukup strategis dan inovatif adalah saluran media. Melalui media pesan atau bahan belajar dapat dikomunikasikan ecara efektif untuk merangsang pikiran, sehingga terdorong untuk belajar secara optimal.
Radio sebagai salah satu media dengar, cukup efektif terutama bagi masyarakat di daerah pedesaan yang sulit menjangkaunya (terpencil / terisolir). Hal itu dapat dipahami karena masyarakat terpencil sulit dijangkau secara langsung melalui media cetak dan media visual (televisi), yang dapat diusahakan dan diimiliki masyarakat terpencil / terisolir adalah radio.
Untuk mengkomunikasikan pesan-pesan pendidikan nonformal secara luas kepada masyarakat, terutama yang hidup di daerah terpencil / terisolir, sangat diperlukan radio siaran pendidikan nonformal.

Program Lab-site Pendidikan Nonformal

Bila dikaitkan dengan kebutuhan belajar masyarakat pedesaan, maka perlu dirancang ujicoba model-model pembelajaran pendidikan nonformal yang relavan dengan kebutuhan masyarakat. Kegiatan ujicoba ini lebih intensif bila dilaksanakan pada suatu wilayah / lokasi yang dirancang khusus sebagai lab-site PNF. Selain itu pelatihan bagi para tenaga tutor dan pembelajaran warga masyarakat akan lebih berhasil bila diselenggarakan pada lab-site PNF. Dengan demikian sangat diperlukan suatu lab-site PNF yang akan berfungsi sebagai tempat praktek atau tempat rintisan program-program PNF dan tempat latihan bagi tutor-tutor dalam membelajarkan warga belajar.

e.Artikel 5

Anggaran non formal tahun 2008 naik


Jakarta: Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo, di Jakarta, Selasa [13/11] , mengatakan anggaran untuk pendidikan dasar non-formal terus meningkat dari tahun ke tahun, bahkan tahun 2008 pemerintah telah menyiapkan dana Rp2,5 triliun.

“Pada tahun 2005 anggaran sektor ini hanya Rp1,4 triliun, lalu naik di tahun 2006 jadi Rp2,1 triliun, dan tahun 2007 Rp2,4 triliun,” kata Bambang usai rapat di Kantor Menteri Koordinasi Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra).

Dalam kesempatan itu Mendiknas menjelaskan program-program pendidikan dasar non-formal bertujuan menjangkau kawasan terpencil yang banyak memiliki angka putus sekolah, dan diharapkan lewat program ini kemiskinan bisa dikurangi.

“Pendidikan dasar non-formal terdiri atas pendidikan keaksaraan dan pendidikan kesetaraan,” ujar Bambang dan menambahkan, “Keduanya mengajarkan baca-tulis dan pelatihan keterampilan kecakapan hidup serta bantuan sedikit dana modal usaha.”

Ia menegaskan, target utama program ini adalah mereka yang putus sekolah dan hidup di pedesaan terpencil atau sulit mendapat akses ke kota.

“Dengan dana Rp2,5 triliun, kami perkirakan program bisa dinikmati oleh sekitar 12 juta orang di seluruh Indonesia,” ujarnya.

Menurut data Departemen Pendidikan Nasional, program pendidikan non-formal telah mencatatkan keberhasilan yang signifikan dalam hal penurunan angka buta huruf dan pengangguran.

“Sekitar 80 persen peserta didik program keaksaraan berhasil membentuk Kelompok Belajar Usaha (KBU), dan mereka mandiri walaupun tetap butuh bantuan modal,” tambahnya.

Sejak program ini digulirkan pada tahun 2004 di enam kabupaten di Indonesia, lanjut Bambang, sekitar 82 persen peserta program sudah bisa mandiri dengan bidang usaha yang ditekuni.

Bank Dunia pun berniat memberikan hibah 143 juta dolar Amerika dan pinjaman lunak 100 juta dolar untuk mendukung program ini, ujar Mendiknas.

Angka buta aksara di Indonesia terus menunjukkan penurunan, pada Oktober 2007 tercatat tinggal 11 juta orang atau 7,2 persen populasi berusia di atas 15 tahun yang tidak bisa baca tulis. Angka itu jauh lebih rendah daripada data tahun 2004 yang 10,2 persen. “Keberhasilan program keaksaraan di Indonesia ini sangat diapresiasi UNESCO, bahkan dijadikan percontohan buat negara-negara lain,”.
f.artikel 6
Hadirnya Lembaga Pendidikan Non Formal, Suatu Upaya Membuka Ruang Kesadaran Baru

Carut-marut dunia pendidikan Indonesia, sungguh tampil sebagai suatu realitas yang sangat memprihatinkan. Mahalnya biaya pendidikan yang tidak serta merta dibarengi dengan peningkatan kualitas secara signifikan, tentu menimbulkan tanda tanya besar mengenai orientasi pendidikan yang sebenarnya sedang ingin dicapai.
Ironisnya, disaat beberapa negara tetangga terus berupaya keras melakukan peningkatan kualitas pada sektor pendidikan, banyak pihak di negara ini justru menempatkan pendidikan sebagai suatu komoditas yang memiliki nilai jual yang tinggi. Tak mengherankan bahwa ketika banyak pihak mengejar pendidikan dari sisi kuantitas, tentu menimbulkan berbagai macam konsekuensi logis seperti terabaikannya faktor kualitas pendidikan.
Parahnya lagi, belakangan kita juga telah disadarkan bahwa banyak lulusan pendidikan formal tidak memiliki spesifikasi keahlian yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Menanggapi kondisi yang seperti ini, Paulus Wisnu Anggoro, Direktur UAJY-Delcam Traning Center, menuturkan bahwa banyak dari kalangan industri yang menjadi kliennya mengeluhkan keterbatasan skill yang dimiliki oleh para lulusan perguruan tinggi, sehingga mau tidak mau seorang fresh graduate harus dilatih dari awal lagi. Ini pemborosan untuk pihak perusahaan sebagai user lulusan perguruan tinggi.
Dihadapkan pada kompleksnya situasi seperti yang dijabarkan diatas, kini banyak lembaga pendidikan non formal berupaya menempatkan diri sebagai alternatif solusi permasalahan diatas. Dengan tawaran sifat aplikatif dan biaya yang relatif lebih murah, banyak lembaga pendidikan non formal terbukti mampu menghasilkan lulusan yang sama kualitasnya bahkan lebih handal dari pada lulusan yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan formal dalam menghadapi persaingan.
Dalam situasi demikian, makna dibalik fenomena bermunculannya lembaga pendidikan non formal sebenarnya lebih ingin memberikan ruang kesadaran baru pada masyarakat, bahwa upaya pendidikan bukan sekedar kegiatan untuk meraih sertifikasi atau legalitas semata. Lebih daripada itu, upaya pendidikan sejatinya merupakan kegiatan penyerapan dan internalisasi ilmu, yang pada akhirnya diharapkan mampu membawa peningkatan taraf kehidupan bagi individu maupun masyarakat dalam berbagai aspek.

Fleksibilitas waktu

Keunggulan lain yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan non formal sebenarnya ada pada fleksibilitas waktu yang dimiliki. Selain bisa dijalankan secara manunggal, pendidikan non formal bisa dijalankan pula secara berdampingan dengan pendidikan formal. Tak mengherankan apabila belakangan lembaga pendidikan non formal tumbuh dengan pesat, berbanding lurus dengan tingginya minat masyarakat terhadap jenis pendidikan tersebut.
Tidak hanya itu, lembaga pendidikan non formal juga berpeluang untuk menghasilkan tenaga kerja yang siap pakai. Hal ini terbukti dari banyaknya lembaga pendidikan non formal seperti ADTC dan Macell Education Center (MEC) yang siap menyalurkan lulusan terbaiknya ke berbagai perusahaan rekanan. Ini merupakan tawaran yang patut dipertimbangkan ditengah sulitnya mencari lapangan pekerjaan seperti sekarang ini.
Antonius Sumarno selaku Branch Manager English Language Training International (ELTI) Yogyakarta, juga menuturkan bahwa kemunculan lembaga pendidikan non formal seperti lembaga pelatihan bahasa misalnya, sebenarnya tidak hanya berfungsi untuk menyiapkan diri dalam menghadapi persaingan di era globalisasi. Setidaknya dengan penguasaan bahasa asing, individu akan dimudahkan dalam melakukan penyerapan berbagai ilmu pengetahuan yang saat ini hampir semua referensi terbarunya hanya tersedia dalam bahasa asing. Selanjutnya keunggulan tersebut dapat pula memperluas peluang individu dalam menangkap berbagai kesempatan.
Hebatnya lagi, tersedia pula lembaga pendidikan non formal yang tidak hanya membekali lulusannya dengan ilmu, namun juga membekali sikap kemandirian yang mendorong terciptanya kesempatan untuk berwirausaha. Ini merupakan bukti nyata upaya memperkuat struktur riil perekonomian masyarakat yang belakangan makin terpuruk. Disaat banyak orang kebingungan mencari pekerjaan, banyak lulusan lembaga pendidikan non formal yang menciptakan lapangan pekerjaan.
Namun dibalik semua keunggulan dan variasi lembaga pendidikan non formal yang tersedia, kejelian masyarakat dalam memilih lembaga pendidikan non formal sebagai wahana untuk mengasah keterampilan dan menyiapkan diri dalam menghadapi persaingan penting untuk dipertahankan. Indikator yang paling sederhana adalah seberapa besar kesesuian bidang pelatihan yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan non formal dengan minat maupun bidang yang saat ini kita geluti.
Tujuannya, tentu tidak lain supaya keahlian yang didapatkan dari pelatihan lembaga pendidikan non formal dapat berjalan beriringan dan saling melengkapi minat dan dunia yang kita geluti, serta meningkatkan keunggulan kompetitif yang kita miliki. Lebih lanjut, kejelian dalam memilih juga berfungsi pula agar investasi finansial yang telah ditanamkan tidak terbuang percuma karena program yang sedang dijalani "terhenti di tengah jalan".
g.Artikel 7
Akreditasi Pendidikan Nonformal Tidak untuk Mematikan

Pendidikan nonformal mulai diakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Nonformal. Namun, akreditasi itu dibuat sesuai dengan kondisi dan tidak akan mematikan pertumbuhan pendidikan nonformal.
"Kami tidak ingin parameter yang terlalu mengekang tetapi tetap berkualitas. Memang agak menyimpang dari model akreditasi di pendidikan formal itu karena tidak ingin mematikan kegiatan pendidikan nonformal," ujar Sekretaris Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Non Formal (BAN PNF), Yessi Gusman, Selasa (31/3).
Telah ada instrumen akreditasi untuk 12 jenis program dan akan ditambahkan dua jenis program lagi tahun 2009. Satu lembaga nonformal dapat mempunyai lebih dari satu program. Sampai dengan tahun 2008 ada total 491 program dari sejumlah satuan pendidikan nonformal yang diakreditasi. Tahun 2009, direncanakan total 1.850 lembaga dan program akan diakreditasi.
Masyarakat dapat terbantu dengan adanya akreditasi tersebut dalam menentukan lembaga pendidikan nonformal yang ingin dimasuki. "Dengan akreditasi tersebut, lembaga telah memenuhi standar berdasarkan instrumen yang nanti ditetapkan," ujarnya.
Yessi dan 12 orang anggota BAN PNF diangkat pada Oktober 200 dan bertugas untuk membantu pendidikan nonformal yang cakupannya antara lain l embaga profesional, kursus, serta lembaga nonprofit seperti majlis taklim, taman bacaan masyarakat dan pusat kegiatan belajar masyarakat.
h.artikel 8
Saya sudah konsultasi dengan Ketua Komnas HAM dan menurut beliau, warga negara yang didiskriminasi karena memegang ijazah Paket C, dapat menuntut Perguruan Tinggi yang menolaknya,” ujar Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo di Jakarta, tahun lalu.
Upaya dari pendidikan nonformal untuk melayani kebutuhan pendidikan bagi masyarakat yang tak mampu dan tak terlayani di jalur pendidikan formal, nampaknya mendapat dukungan dari berbagai pihak. Setidaknya hal ini menjadi gambaran betapa wacana kepercayaan masyarakat terhadap kualitas pendidikan nonformal masih perlu diperkuat.
Selain mendukung terlunasinya program Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) 9 Tahun, pendidikan nonformal juga punya beberapa PR yang tak bisa dibilang sedikit. Selama tiga tahun belakangan ini, tercatat bahwa pendidikan nonformal telah melayani kebutuhan pendidikan bagi sekitar 13 juta anak usia dini (0 s/d 6 tahun) dari jumlah seluruhnya yang mencapai 28, 3 juta anak usia dini di Indonesia. Sedangkan untuk program pemberantasan buta aksara, tahun 2007 ditargetkan untuk mencapai 12, 2 juta dari jumlah sasaran sebanyak 15, 4 juta orang yang belum melek huruf. Sedianya, 2009 yang akan datang diniatkan agar Indonesia benar-benar bebas dari buta huruf.
Pemberantasan buta aksara ini diberikan dengan dukungan pengetahuan tambahan melalui program Keaksaraan Fungsional. Melalui program ini, para warga belajar, diberi wawasan mengenai pelajaran ketrampilan dengan bentuk produk berupa kerajinan-kerajinan tradisional. Direktur dari Direktorat Pendidikan Masyarakat, Dr. Sujarwo S, M. Sc juga menggaet 86 perguruan tinggi, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), dan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) untuk bekerja sama dalam program pemberantasan buta aksara.
Berikutnya, dari sisi lain juga terus digenjot penuntasan Wajar Dikdas lewat program penyelenggaraan pendidikan kesetaraan. Paket A yang setara dengan sekolah dasar (SD) telah ditargetkan tahun ini untuk mencapai APK sebanyak 0,11 juta anak.
Depdiknas dan Departemen Agama juga telah sepakat berbagi tugas untuk mengejar target ketuntasan wajib belajar 9 tahun terhadap anak usia SMP (13 -15 tahun) sebanyak 1.468.181orang yang belum tertampung. Dari sisi pendidikan nonformal, ditargetkan tahun ini untuk mencapai APK sebanyak 0,51 juta anak, atau sekitar 510 ribu anak yang ditargetkan diraih ke dalam layanan program kesetaran Paket B setara SMP.
Terakhir, untuk Paket C setara SMA ditargetkan sebanyak 35ribu anak usia 15 s/d 18 tahun yang bisa terlayani. Terhadap efek samping dari sistem ujian nasional, Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo juga telah menyatakan dukungan penuhnya bagi kualitas ijazah program kesetaraan Paket C. Menurutnya, semua anak SMA lulusan ujian paket C juga punya hak dan prioritas yang sama untuk punya kesempatan diterima di seluruh perguruan tinggi manapun di Indonesia.

Juli lalu, masih diterima keluhan masyarakat yang ditolak di beberapa perguruan tinggi karena hanya berijazah Paket C. Mendiknas menanggapi, bahwa masyarakat berhak menuntut perguruan tinggi yang menolak ijazah Paket C.
Ini hanya sekelumit gambaran, bahwa sesungguhnya pendidikan nonformal masih menjadi sisi yang belum banyak dipandang sebagai pendukung penuh layanan pendidikan bagi masyarakat.
Bukan Sekadar Wacana
Pendidikan nonformal masih jadi belantara yang belum banyak “tersentuh”. Pernyataan ini diungkap oleh Prof. Dr. Dewa Komang Tantra, salah satu anggota tim akademisi pendidikan nonformal. Di tengah belantara ini, sedang dirintis upaya-upaya standarisasi demi meningkatkan mutu dan eksistensi lulusan, pendidik dan tenaga pendidik, dan lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan nonformal, di tengah masyarakat luas. Eksistensi para pendidik pendidikan nonformal mulai dinilai melalui berbagai standar. Untuk jaminan kompetensi tenaga kerja, dipegang oleh BNSP.
Kerja-kerja BNSP sebagai lembaga independen, berkewajiban memberikan sertifikasi kompetensi terhadap tenaga kerja yang telah lulus pada level-level tertentu. Kompetensi seorang lulusannya, ditandai oleh selembar surat sertifikat dengan masa berlaku dalam kurun waktu tertentu. Standarisasi lainnya juga melibatkan BSNP. Mengutip pidato paparan Dr. Suharsono MM., M.Pd di sebuah rapat koordinasi PTK-PNF Februari lalu, dinyatakan bahwa hendaknya para pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan nonformal adalah orang-orang yang punya kompetensi dan juga berpendidikan.
Sebagian besar dari para PTK-PNF juga berharap memperoleh kesejahteraan melalui pengangkatan CPNS. Di dalamnya terdapat aturan kualifikasi PNS yang mengharuskan para calonnya mengenyam tingkat pendidikan tertentu. “Yang perlu diingat adalah bahwa kompetensi dan kualifikasi sesungguhnya tak diukur dari ijazah sarjana,” tegas Dewa Komang. Bagaimana pun, pemerintah melalui Direktorat PTK-PNF telah memberi perhatiannya dalam bentuk program beasiswa rintisan gelar untuk jenjang S1, S2, dan S3. Bekerja sama dengan 17 perguruan tinggi negeri se-Indonesia, antara lain Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Universitas Pendidikan Indonesia, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Mulawarman, Universitas Lambung Mangkurat, Universitas Negeri Gorontalo, dan Universitas Cendrawasih. Jurusan-jurusan yang disediakan, mayoritas jurusan Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, Matematika, dan jurusan Pendidikan Luar Sekolah. Untuk jurusan pendidikan anak usia dini, hanya ada di UNJ. Sejauh ini, program beasiswa rintisan gelar untuk memenuhi kebutuhan belantara pendidikan nonformal yang di dalamnya terdapat sekitar 30.000 lembaga kursus, dan tak kurang dari 106 jenis pendidikan keterampilan, tampaknya masih jauh dari sempurna.
Namun tetap diharapkan, tahun 2007 program ini dapat mencapai sasaran target sebanyak 231 orang PTK-PNF (untuk jenjang S1). Standarisasi lainnya sedang dirintis melalui peningkatan kualitas Training Of Trainer (TOT) dan diklat-diklat PTK-PNF. Dalam hal ini, BAN PNF (Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Nonformal) terlibat didalamnya sebagai badan pemberi akreditasi di level lembaga-lembaga dan program-program pendidikan nonformal. Termasuk beberapa komponen didalamnya, yaitu kurikulum dan pembelajarannya, peserta diklat, fasilitator diklat, penyelenggara diklat, sarana dan prasarana diklat, serta pembiayaan diklat.
“Untuk akreditasi ini, BAN PNF mendapatkan sumber referensi standarisasi dari beberapa sumber: BNSP, BSNP, dan Depnakertrans. Semuanya kita sinergikan, tanpa menghilangkan karakter pendidikan nonformal yang seharusnya tetap dipertahankan,” ungkap Dewa Komang yang juga menjabat sebagai Ketua BAN PNF.
Mutu Ujung Tombak

“Direktorat Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Nonformal adalah satu-satunya direktorat yang berada dibawah naungan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan yang berani melaksanakan ISO 9001:2000 dalam rangka meningkatkan mutu pelayanannya,” papar Dr. Fasli Jalal PhD, Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, pada acara launching ISO 9001:2000 September 2006 lalu.
Penghargaan ini, untuk keunggulan pelaksanaan dan manajemen program Direktorat PTK-PNF. Pelaksanaan ISO 9001:2000 adalah yang pertama kalinya dilakukan di lingkungan Direktorat Departemen Pendidikan Nasional, sehingga nantinya Dierktorat PTK-PNF yang melaksanakan ISO 9001:2000 diharapkan dapat memberikan pelayanan yang terbaik dan menjadi role model untuk penerapan ISO pada direktorat-direktorat lainnya.
Peristiwa ini menjadi catatan penting bagi dunia pendidikan nonformal di Indonesia. “Setelah kami mendapatkan penghargaan ini, kami tidak pernah berhenti perbaiki kualitas program. Karena bagaimana pun, para pendidik dan tenaga pendidik pendidikan nonformal ini, adalah ujung tombak. Jadi, tetap harus ditingkatkan kompetensi dan kualifikasinya,” tegas Erman Syamsuddin, S.H, M. Pd, Direktorat Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Nonformal (PTK-PNF) pada acara forum ilmiah tim akademisi PTK PNF bulan Agustus lalu. Tercatat, sepanjang tahun 2003 s/d 2007, telah 397 orang tenaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan PNF yang mendapatkan beasiswa rintisan gelar program sarjana (S1), paska sarjana (S2), dan program doktoral (S3).

Pendidikan Sepanjang Hayat

Pada bulan Mei 2007 lalu, telah dilakukan penandatanganan pengubahan nama dari Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah menjadi Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal. Keduanya memang sama-sama berada di luar jalur pendidikan formal. Bisa dipastikan akan ada banyak paradigma baru yang muncul belakangan. Penguatan pendidikan di lingkungan keluarga, kini mulai diperhitungkan sebagai potensi yang mendukung kelancaran pendidikan formal.
Berkenaan hal tersebut, Erman Syamsuddin menyatakan pendapatnya, “Dengan bergantinya nama menjadi PNF-I atau pendidikan nonformal dan informal, ini berarti sudah semakin sesuai dengan isi Undang-Undang Sisdiknas Tahun 2003 yang menyatakan bahwa pendidikan itu ditempuh melalui tiga jalur, yaitu formal, nonformal, dan informal.” Ia juga menyatakan bahwa ada kemungkinan besar, akan dilakukan penguatan-penguatan terhadap porsi pendidikan informal. Penguatan di sisi pendidikan informal, yang dimaksud adalah pendidikan di lingkungan keluarga. “Di sana nanti akan dibentuk pemahaman bahwa pendidikan di lingkungan keluarga ini berjalan dan berkembang sesuai dengan dinamika masyarakat. Kami mungkin juga akan siapkan beberapa hal untuk menuju penguatan pendidikan informal ini. Namun kita tidak bisa memandangnya sebagai hitam dan putih saja.
i.artikel 9
Kian Berat Tantangan Pendidikan Non Formal
Pendidikan Nonformal mempunyai tantangan yang makin berat. Namun posisinya sangat strategis dalam membantu menyelesaikan masalah masyarakat menuntut inovasi untuk terus mengembangkannya. Dinamika kehidupan dan kebutuhan masyarakat terus berkembang. Teknologi, informasi dan komunikasi sebagai faktor yang mempercepat akselerasi pembangunan tidak dapat di bendung. Mobilitas barang dan orang makin cepat, orientasi kehidupan masyarakat memasuki fase knowlegde based economic yang sangat mendasarkan pada kompentensi dan inovasi atas produk barang dan jasa. Untuk itu suka atau tidak layanan Pendidikan Nonformal harus mengikuti dinamika tersebut, yang ditunjang nilai profesionalisme. Perubahan nomentkalur pendidikan luar sekolah menjadi pendidikan nonformal seperti amanah UU sistem Pendidikan Nasional No.20/03, merupakan langkah awal untuk meletakan pendidikan nonformal menjadi bagian penting dalam pemberdayaan masyarakat. PNF lebih mempunyai makna sebagai salah satu jalur pendidikan yang dapat dipilih oleh masyarakat, selain jalur pendidikan formal. PLS tentu mempunyai makna yang lebih sempit, dan mempunyai citra berbeda dengan pendidikan sekolah. Padahal layanan pendidikan yang diberikan jauh lebih memberikan keterampilan, kecakapan dan multi makna yang mampu meningkatkan kesejahteraan hidup peserta didiknya. PNF dengan sifat pembelajaran yang luwes, fleksibel, berorientasi pada kebutuhan pasar/masyarakat dan bertumpu pada kecakapan hidup mempunyai kemampuan untuk menembus seluruh lapisan masyarakat. Ini sesuai dengan motto PNF, “menjangkau yang belum terlayani”. Di era baru, semangat baru dengan nama Pendidikan Nonformal (PNF), harus dibangun sistem nilai yang mengacu pada paradigma pembangunan PNF sekarang dan mendatang. Nilai-nilai merupakan konstruksi idiologi yang menjadi acuan pembenaran atas sikap dan perilaku dalam menjalank an fungsi pelayanan pendidikan. Sebagai konstruksi idologi, nilai-nilai yang dibangun dalam meningkatkan kualitas layanan pendidikan nonformal untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas dengan kompentensi ungul dibangun oleh seluruh sinergi positif setiap elemen pendidikan nonformal. Baik oleh pemerintah, masyarakat, dianamika pertumbuhan sosial, ekonomi, politik, teknologi dan informasi yang melingkupi pelaksanaan pembangunan pendidikan nonformal. Dalam konteks pendidikan nonformal, nilai-nilai seperti pemihakan pada yang lemah atau yang miskin (propoor), terbelakang dan terpencil, prinsip pemberdayaan masyarakat, prinsip partisipasi dari masyarakat (bottom-up participation), profesionalisme, dan prinsip pembelajar sepanjang hayat, serta berorientasi pada kebutuhan pasar/masyarakat adalah sebagaian dari nilai penting yang harus dipahami oleh para pelaku/pengelola. Komitmen atas nilaianilai tersebut dapat diuji dengan cara pandang, cara berpikir, dan perilaku yang pada tataran pengambil keputusan dapat dilihat pada konsistensi kebijakan dan dasar penentuan kebijakan. Pada tataran pelaksanaan dapat dilihat pada kesunguhan dan konsistensi sikap dan gerak langkahnya dalam mengimplementasikan kebijakan-kebijakan. Nilai yang menganut pemihakan pada yang lemah atau miskin (pro-poo) harus diterjemahkan antara lain melalui unsurunsur alokasi anggaran sasaran peserta didik, dan sasaran wilayah. Nilai yang menganut prinsip pemberdayaan masyarakat diterjemahkan melalui intensitas dan kualitas penyelenggaraan pelayanan pendidikan nonformal oleh masyarakat. Nilai yang menganut prinsip partisipasi diterjemahkan melalui kontribusi atau peran serta masyarakat dalam pemikiran dan aksi untuk penyusunan dan pelaksanaan program-program pendidikan nonformal. Nilai yang menganut profesionalisme harus diterjemahkan melalui sikap-sikap dan perilaku, antara lain menjunjung tinggi kejujuran, kedisiplinan, konsistensi, tanggung jawab, daya juang, produktifitas, dan kompetensi. Sedangkan nilai yang menganut prinsippembelajar sepanjang hayat dimanifestasikan dengan keinginannya yang kuat untuk ter us belajar guna meningkatkan kemampuan dan kapasitasnya atau melakukan perubahan. Dalam menanggapi dinamika perubahan para pelaku/pengelola pendidikan nonformal juga harus mampu mengelola cara pandang untuk selalu dinamis sehingga mampu mengambil sikap positif dalam menghadapi perubahan. Paradigma yang telah usang, akan menjerat para pelaku/pengelola pada sikap dan perilaku konservatif dan cenderung statis. Dalam fungsinya sebagai pengganti, penambah dan pelengkap pendidikan formal misalnya, para pelaku/pengelola pendidikan nonformal harus mampu mengkonstruksikan paradigma bahwa pendidikan nonformal bukanlah pendidikan kelas dua. Pasalnya, dengan fleksibilitasnya, pendidikan nonformal bahkan dapat menjadi pendidikan alternatif yang menawarkan solusi inovatif untuk kemajuan dunia pendidikan. Sebagai solusi atas permasalahan yang dihadapi masyarakat terutama mengatasi pengangguran dan menentaskan kemiskinan, maka pendidikan nonformal banyak mengembangkan pendidikan kecakapan hidup yag berbasis keunggulan desa, kota dan luar negeri. Kecakapan hidup merupakan konsepsi yang bermaksud memberi kepada seseorang bekal pengetahuan, keterampilan dan kecakapan fungsional berupa kecakapan pribadi, sosial, akademik dan vokasional secara praktis, ditambah dengan peningkatan kemampuan kewira usahaan serta nilai professional. Pada akhirnya seseorang mampu bekerja dan/atau berusaha mandiri dengan memanfaatkan potensi dan peluang lingkungannya untuk meningkatkan mutu kehidupannya. Pendidikan kecakapan hidup mempunyai spektrum luas baik subjek maupun objeknya. Untuk itu pembatasan kelompok sasaran peserta program untuk masyarakat miskin, buta aksara, tidak sekolah, putus sekolah dan antarjenjang pendidikan dan masyarakat marginal lain dilakukan untuk memfokuskan hasil dari peserta program yaitu,
(1) memberikan keterampilan bekerja; (2) mendorong peserta berusaha mandiri. Tujuan akhir dari pendidikan kecakapan hidup tersebut adalah untuk meningkatkan pendapatan, kesejahteraaan dan produktifitas hidup masyarakat marginal, dan ini sebagai kontribusi Pendidikan Nonformal dalam menyelesaikan masalah masyarakat. Luasnya cakupan layanan pendidikan nonformal tidak sebatas penduduk dewasa, penduduk usia dini, umur 2-4 tahun yang masuk dalam case golden ace, melejitkan kecerdasan anak usia dini untuk tumbuh kembang dan kesiapan belajar kejenjang pendidikan lebih lanjut. Pengembangan model pembelajaran PAUD yang kreatif, menyenangkan dan mencerdaskan sesuai dengan perkembangan kemampuan monotorik halus dan kasarnya ditunjang oleh perawatan kesehatan anak secara cerdas dan sehat. Paradigma baru pembangunan pendidikan nonformal di era global, harus ditangkap oleh perencana dan pengambil kebijakan serta seluruh satuan pendidikan nonformal dengan mengembangkan program literasi komputer untuk mendukung program literasi. Dalam peran teks inilah, pengembangan program literasi komputer Internasional Computer Driving Licencce (ICDL) dengan pilihan strategis. Dewasa ini komputer sudah umum dimanfaatkan mulai dari pekerjaan yang sederhana seperti pengetikan hingga yang cukup rumit seperti pengelolaan database desain dan rancang bangun, atu aplikasi multimedia di internet. Selama ini kemudahan membuat table-tabel dan kalkulasi dengan aplikasi spreadsbeet seperti Exel dari Microsoft, termasuk juga dapat menyimpan, mengolah, dan memelihara data atau arsip (filing) yang lebih mudah dan efisien dengan aplikasi database seperti Microsof Excel dan MS Access. Kemudian dapat menyusun dan manayangkan presentasi secara mudah, cepat, dan indah, dengan aplikasi seperti MS Power Point, dan mampu mengikuti berita (lokal, nasional, internasional) secara realtime, mencari dan mendapatkan informasi dengan mudah, melakukan komunikasi secara cepat dan murah melalui internet. Komputer sudah tampil sebagai penyokong utama terjadinya transformasi budaya. Di mana penggunaannya sudah menjadi semacam “way of life” baik di lingkungan kerja maupun aktivitas masyarakat lain. Dalam situasi dan kondisi seperti itu, computer literacy menjadi salah satu isu di kalangan pendidikan dan harus menggunakan secara untuk mendekatkan, mensepahamkan, dan merelevankan dunia pendidikan dengan dunia nyata masyarakat, termasuk dunia industri atau dunia kerja. Lulusan sekolah atau pendidikan nonformal yang menyadang kualifikasi computer literate akan lebih mampu dan cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja. Ia juga berpotensi cepat mampu mengembangkan kapasitas dirinya. Apalagi kalau karena sumber informasi, pengetahuan, dan keterampilan (skills) sudah banyak dapat diperoleh melalui media komputer atau cara-cara yang computerized. Merancang pendidikan nonformal ke depan, Direktorat Pendidikan Nonformal (Ditjen PLS) mengembangakan computer literacy sebagai salah satu indikator mutu/relevansi dalam pendidikan kecakapan hidup bidang aplikasi teknologi, yang dalam hal ini Teknologi Informasi dan Komunikasi (komputer). Komputer merupakan produk teknologi yang sudah lazim dimanfaatkan oleh banyak kalangan untuk mempermudah, meningkatkan produktifitas atau pekerjaan, sehingga kemampuan memahami dan menguasai penggunaan komputer, akan makin meningkatkan kapasitas peserta didik serta memperluas peluang mereka untuk mengakses kesempatan modern.
j.artikel 10
Ibu Negara Harap Pendidikan Nonformal Dapat Atasi Pengangguran
Ibu Ani Yudhoyono menilai pendidikan nonformal dapat turut mengatasi masalah pengangguran di Indonesia.

Hal itu dikemukakan oleh Ibu Negara dalam pidato sambutannya dalam acara Peresmian Pembukaan Rapat Kerja Nasional Himpunan Seluruh Pendidik dan Penguji Indonesia Pendidikan Non Formal (HISPPI PNF) di Istana Negara Jakarta, Jumat.
"Tenaga handal yang dicetak oleh pendidikan nonformal tentu dapat ikut mengatasi masalah pengangguran di Indonesia," katanya.
Menurut Ani Yudhoyono , pendidikan nonformal dapat mengajarkan generasi muda dengan pendidikan atau keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan pasar.
"Seperti kita tahu banyak (lulusan, red) hasil lembaga pendidikan formal yang masih menganggur sebagai bukti adanya kesenjangan antara kualitas lulusan dengan kualifikasi kebutuhan pekerja," katanya.
Oleh karena itu, lanjut Ibu Negara, diperlukan peningkatan kualitas tenaga pendidikan non formal agar lulusan yang diperoleh dari pendidikan nonformal dapat makin handal.
"Dengan peningkatan mutu, kualitas pendidikan dan sertifikasi profesi sehingga di masa depan pendidikan non formal dapat bersaing," ujarnya.
Sementara itu Menteri Pendidikan Nasional Bambang Soedibyo mengatakan pendidikan nonformal adalah solusi bagi anak-anak di seluruh Indonesia yang secara geografis dan sosiologis tidak terjangkau oleh pendidikan formal.
"Misal anak-anak di lokasi yang tidak terjangkau secara geografis atau tidak mampu secara ekonomi, bahkan ketika pendidikan telah digratiskan," jelasnya.
Pendidikan formal terdiri dari empat jenis yaitu program pendidikan usia dini selain TK, pemberantasan buta aksara, program paket A untuk setara SD, paket B untuk setara SMP dan paket C untuk setara SMU serta pendidikan kecakapan hidup.
Sementara itu, Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat HISPPI PNF Nasrullah Yusuf mengatakan rapat kerja nasional itu digelar 28 Februari hingga 1 Maret dan diikuti 300 orang.
HISPPI PNF dibentuk pada 1986 dan beranggotakan 113 ribu orang dari seluruh Indonesia.
Pada kesempatan itu Ibu Negara dengan didampingi para istri Menteri Kabinet Indonesia Bersatu juga melakukan dialog dengan para peserta.
k.artikel 11
Pemerintah Kurang Peduli Pendidikan Non Formal
Pengamat pendidikan, Darmaningtyas mengatakan, Jumat (3/4), pemerintah sejauh ini masih lebih memfasilitasi pendidikan formal. Padahal, kenyataannya pendidikan formal belum sepenuhnya mampu menyiapkan tenaga terampil. Tenaga terampil justru banyak disiapkan oleh pendidikan nonformal, seperti kursus.
Seperti diberitakan sebelumnya, pemerintah baru menyusun regulasi mengenai kursus. Salah atu yang direncanakan akan diatur ialah pembatasan wilayah operasional kursus berskala internasional hanya sampai ibukota provinsi.
Di tengah kondisi tersebut, menurut Darmaningtyas, pemerintah seharusnya tidak hanya bersifat mengawasi, tetapi lebih banyak lagi memfasilitasi. "Kalau ada lembaga pendidikan lokal yang tumbuh, perlu dibantu fasilitasnya, perizinan dipermudah, dan diba ntu berjejaring untuk menyalurkan lulusannya. Jadi, iklimnya mendukung," ujarnya.
Departemen Pendidikan Nasional perlu pula bersinergi dengan sektor lain, seperti Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta koperasi.
"Departemen Pendidikan Nasional , misalnya, bisa menyusun kurikulum. Koperasi menyalurkan produk-produk karya peserta kursus. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi mengurusi ketenagaan seperti soal sertifikasi," ujarnya.
Kualitas sebuah lembaga kursus sebetulnya yang menilai ma syarakat. Kursus yang berkualitas pasti diminati masyarakat. Jika kualitas kursus di dalam negeri sudah berkualitas, akan lebih baik. Pada dasarnya, masyarakat akan tetap keluar uang untuk memeroleh pendidikan.
"Kalau yang kian dominan itu warala ba asing, ada modal yang akan mengalir ke luar. Biaya waralaba itu dibayarkan ke luar negeri," ujarnya.
L.artikel 12
Peranan Pendidikan Nonformal Memberdayakan Ekolem
krisis keuangan global, berdampak ke berbagai sektor.
Beberapa perusahaan berskala nasional telah siap-siap untuk mem-PHK (pemutusan hubungan kerja) karyawannya. Bahkan perusahaan berskala internasional seperti GM (General Motor) telah pula mengajukan pemohonan bangkrut.
Indonesia mau tidak mau harus menerima dampak krisis yang penanggulangannya harus secara bersama-sama. Pada kesempatan ini saya menawarkan agar peranan pendidikan nonformal didayagunakan untuk mengatasi dampak krisis pada masyarakat ekolem.
Menurut UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) pendidikan dibagi ke dalam tiga katagori: informal adalah pendidikan di rumah tangga; formal merupakan pendidikan yang berjenjang dari SD hingga perguruan tinggi; sedangkan nonformal adalah pendidikan luar sekolah seperti life skill. Sebagai sebuah sistem, pendidikan informal dan nonformal termasuk dalam katagori Pendidikan Luar Sekolah (PLS).
Hak memperoleh pendidikan tertera di dalam Batang Tubuh UUD 1945 (Pasal 31); salah satu hak warga negara yakni mendapatkan pendidikan atau pengajaran. Sebagai hak, negara (melalui pemerintah) telah berupaya mewujudkannya.
Bangsa yang terdiri dari lebih 200 juta jiwa lebih ini sesungguhnya merupakan komunitas yang begitu majemuk (heterogen) dengan tingkat kebutuhan yang majemuk pula. Artinya, tidak semua orang di Indonesia ini bercita-cita ataupun mampu meraih cita-cita sebagai sarjana: S1, S2, S3 dan lainnnya.
Berbagai kemungkinan dapat menyebabkan peserta didik tak dapat melanjutkan pendidikan formal ke jenjang yang lebih tinggi. Ada yang memang karena ketidakmampuan orangtua - terutama saat krisis keuangan global saat ini, ada karena bencana alam, dan lainnya. Justru itu, program pendidikan luar sekolah (PLS) yang beorirentasi life skill seperti bidang komputer, jahit-menjahit, montir, bahasa Inggris serta lainnya sangat besar manfaatnya buat kehidupan.
Apalagi keahlian-keahlian seperti komputer dipadu dengan kemampuan berbahasa asing, seperti bahasa Inggris maka peluang kerja akan semakin terbuka lebar. Saat ini - sesuai dengan tuntutan globalisasi - mengandalkan ijazah saja (bahkan S1) tidaklah cukup tanpa dibarengi dengan kecapakan hidup (life skill) yang didapat dari lembaga pendidikan nonformal.
Program life skill sangat boleh jadi akan menjadikan pesertanya lebih punya kecakapan dibanding S1 jurusan informatika komputer, misalnya. Bayangkan, kalau tiga bulan terus-menerus belajar (praktik) tentang informatika komputer, rasanya wajarlah kalau pesertanya menguasai apa-apa yang diajarkan (dilatihkan). Dewasa ini, kegiatan life skill sangat cocok diterapkan. Mengapa tidak, jumlah angkatan kerja yang menganggur cukup krusial untuk jadi perhatian serius. Angkatan kerja yang menganggur di Indonesia melampaui standar ILO (International Labour Organization), 20 persen dari jumlah penduduk. Sementara, angka pengangguran di Indonesia sudah melampaui 28 persen. Ini berbahaya
Dengan upaya-upaya pelatihan life skill, niscaya angkatan kerja kita punya keterampilan yang siap pakai dan profesional, sehingga tidak menganggur atau menjadi tenaga kerja murahan. Pendidikan Nonformal
Pendidikan nonformal atau pendidikan luar sekolah (PLS) yang di dalamnya ada life skill merupakan usaha sadar untuk menyiapkan, meningkatkan dan mengembangkan sumber daya manusia agar memiliki pengetahuan, keterampilan, sikap dan daya saing. Dengan demikian akan mampu merebut peluang yang tumbuh dan berkembang serta mengoptimalkan sumber-sumber di lingkungan masing-masing.
Pendidikan nonformal merupakan suatu proses pendidikan yang sasaran, pendekatan, dan keluarannya berbeda dengan pendidikan sekolah, dan bukan merupakan pendidikan sekolah yang dilakukan di luar waktu sekolah.
Sejatinya, pendidikan nonformal sudah ada sebelum pendidikan persekolahan tumbuh di bumi ini. Pendidikan luar sekolah dimulai sejak manusia lahir di bumi dan berakhir setelah manusia masuk liang kubur. Sedangkan pendidikan sekolah dimulai setelah manusia memenuhi usia tertentu dan diakhiri pada usia tertentu.
Memang sebagai sebuah sistem, pendidikan nonformal merupakan sistem baru dalam dunia pendidikan kita, bentuk dan pelaksanaannya berbeda dengan sistem sekolah yang ada. Setiap berlangsungnya pendidikan nonformal terdapat komunikasi yang teratur dan terarah di luar sekolah antara tutor dan peserta didik. Dengan demikian seseorang memperoleh informasi, pengetahuan, latihan atau bimbingan sesuai dengan kebutuhan hidupnya.
Pendidikan nonformal bertugas untuk menyiapkan sumber daya manusia yang memiliki kebiasaan siap menghadapi perubahan sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang pesat yang dihasilkan oleh manusia-manusia terdidik juga. Sehingga dapat dikatakan bahawa PLS adalah suatu proses pendidikan masyarakat yang lebih rumit daripada pendidikan sekolah, walaupun kedua sistem ini dapat dan harus saling mendukug serta saling isi.
Pertama, sebagai Subtitusi dari pendidikan sekolah. Artinya, pendidikan nonformal dapat menggantikan pendidikan jalur sekolah yang karena beberapa hal masyarakat tidak dapat mengikuti pendidikan di jalur persekolahan (formal). Contohnya: Kejar Paket A, B dan C. Kedua, sebagai Suplemen pendidikan sekolah. Artinya, pendidikan nonformal dilaksanakan untuk menambah pengetahuan, keterampilan yang kurang didapatkan dari pendidikan sekolah. Contohnya: private, les, training. Ketika, sebagai Komplemen dari pendidikan sekolah. Artinya pendidikan nonformal dilaksanakan untuk melengkapi pengetahuan dan keterampilan yang kurang atau tidak dapat diperoleh di dalam pendidikan sekolah. Contohnya: kursus, bimbingan, try out, pelatihan (life skill) dan lain-lain.
Adanya pengorganisasian, program pendidikan, urutan materi, jangka waktu belajar pendek, tujuan pendidikan spesifik dan subyek/sasaran belajar. Sasaran pendidikan nonformal: untuk pemuda dan orang dewasa. Ciri-ciri Pendidikan Nonformal: Berkaitan dengan misi yang mendesak dan praktis, tempatnya di luar kelas, bukti memiliki ilmu pengetahuan adalah keterampilan, tidak terkait ketentuan yang ketat, peserta bersifat sukarela, merupakan aktivitas sampingan, biaya pendidikan lebih murah, persyaratan penerimaan peserta lebih mudah.
Tujuan pendidikan nonformal dengan life skill-nya, peserta didik dapat memiliki keahlian yang diperlukan oleh masyarakat. Pengertian life skill sebenarnya lebih luas dari sekadar untuk menghidupi diri sendiri.
Bergantung Daerah
Untuk mengadopsi life skill ke dalam kurikulum pendidikan, sekarang ini bergantung pada daerahnya. Misalnya, anak yang hidup di Medan, tentu akan berbeda life skill yang dibutuhkannya dengan mereka yang tinggal di Tanah Karo, misalnya. Di Medan yang lebih banyak terlibat dalam perekonomian modern, misalnya, perkebunan tidak banyak mendapatkan tempat.
Life Skill ini pun menjadi primadona bagi pendidikan nonformal, karena menjadi tujuan utama pendidikan nonformal untuk meningkatkan kecakapan hidup masyarakat
Jenis keterampilan yang diberikan kepada para peserta pelatihan, antara lain, jahit-menjahit dan bordir, tata boga, tata arias, sablon, nganyam bambu, sabut kelapa, nata de coco, pembuatan permen jahe, pembuatan tempe, bakso, pembuatan saos tomat, pembuatan sepatu, tas, pertukangan meubel, pembuatan con block, agrobisnis, mesin pendingin, otomotif, komputer dan lain-lain.
Melihat karakteristik, kegiatan dan ciri-ciri pendidikan nonformal/PLS sesungguhnya perannya cukup besar dalam memberdayakan ekolem. Seperti yang dilakukan di BT/BS BIMA , dengan program life skill komputer, bahasa Inggris dan lainnya, pesertanya tidak ada yang menganggur. Kalau tidak membuka usaha sendiri, mereka bekerja sebagai tenaga skill, bukan tenaga kerja rendahan.
Justru itu, pendidikan nonformal - apa pun bentuk dan sifatnya - sesungguhnya berperan besar dalam memberdayakan ekolem. Pemerintah pun menyadari bangsa yang terdiri dari lebih 200 juta jiwa lebih ini sesungguhnya merupakan komunitas yang begitu majemuk (heterogen) dengan tingkat kebutuhan yang majemuk pula. Makanya, dewasa ini pemerintah telah memobilisasi untuk tumbuhkembangnya pendidikan nonformal.
Jalur pendidikan nonformal yang merupakan salah satu alternatif (jalan) membangun SDM (sumber daya manusia) kian digalakkan. Terlebih ketika konsep education for all (pendidikan untuk semua) digaungkan, pendidikan nonformal demikian terasa urgensinya yang tidak saja melahirkan manusia siap pakai (tenaga kerja), pun pencinta ilmu pengetahuan (buku) seperti Andre Wongso, Ajip Rosidi dan banyak nama lainnya
m.Artikel 13
Berdayakan Pendidikan Nonformal


PENDIDIKAN nonformal menjadi salah satu upaya mendongkrak partisipasi anak berlatar keluarga miskin dalam dunia pendidikan. Pengamat pendidikan Undiksha Singaraja, Dr. I Gede Budasi, M.Ed menilai, perlunya sistem yang komperhensif, terpadu, dan berkesinambungan dalam proses pemberdayaan partisipasi pendidikan anak berlatar keluarga miskin di Buleleng khususnya. Ia menekankan pentingnya itu dilakukan melalui jalur pendidikan nonformal. “Realisasinya dapat diterapkan melalui kerja sama pemerintah dan swasta, baik yayasan pendidikan, lembaga pendidikan, maupun bursa tenaga kerja di dalam maupun luar negeri,” kata staf pengajar Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Bahasa dan Seni Undiksha Singaraja ini. Meski Singaraja sebagai kota pelajar, Budasi menilai, banyak anak tak mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Jalur pendidikan nonformal belum sepenuhnya dimanfaatkan masyarakat, meski kondisi perekonomian mereka kurang mampu. “Masyarakat masih malu menyekolahkan anak di lembaga pendidikan nonformal. Padahal, selain menghabiskan sedikit biaya, lulusannya juga dibekali keterampilan dalam waktu singkat. Kurikulumnya juga disesuaikan dengan apa yang diperlukan dunia usaha,” kata pria kelahiran tahun 1958 ini. Menjamurnya lembaga pendidikan nonformal di masyarakat dinilai bukan masalah serius. “Asal jangan memberikan janji palsu kepada masyarakat bahwa lulusannya siap kerja. Pemerintah perlu memberikan pembinaan rutin, termasuk menyasar agen kerja baik di dalam maupun luar negeri,” tambah Budasi. Lembaga pendidikan nonformal diharapkan melakukan langkah yang sama. Mereka dianjurkan membaca peluang pasar industri dan menyesuaikan dengan kurikulum yang berlaku. “Ini agar lulusannya dapat diterima dalam dunia industri,” ungkap alumnus UGM tahun 2007 itu. Studi banding penyelenggara pendidikan diharapkan melalui pendekatan need analysis dan SWOT analysis dioptimalkan. Pendidikan maupun keterampilan dirancang sesuai kebutuhan industri, bukan need of teacher. Akademisi dan praktisi bersinergi dengan pemerintah melalui job training. Out put-nya disalurkan ke dunia industri. “Namun, praktiknya, selama ini ada kelemahannya. Lulusannya terus dicetak tanpa melihat kebutuhan dunia industri. Punya ijazah komputer ternyata tak bisa diterima perusahaan. Banyak anak cerdas, tetapi sering gagal. Perlu komunikasi lintas budaya,” kata Budasi. Hal senada diungkap Drs. I Gusti Ngurah Agung, Dewan Pendidikan Kabupaten Buleleng. Ngurah Agung menilai, pendidikan nonformal strategis untuk memenuhi kebutuhan dunia industri. Kurikulum pendidikan nonformal fleksibel dan mengikuti perkembangan masyarakat. “Pendidikan nonformal juga merupakan upaya mengentaskan masyarakat buta aksara. Ini dilakukan melalui keterampilan, mengisi kekurangan dengan life skill,” katanya. Pemerintah diharapkan memberikan porsi perhatian berimbang, baik untuk pendidikan formal maupun nonformal. Perhatian tersebut berupa adanya bantuan biaya maupun tenaga pengajar guna meningkatkan kualitas pendidikan. Ngurah Agung juga menyoroti aktivitas sanggar kegiatan belajar (SKB) di Buleleng. SKB Buleleng cenderung mengarah pada pendidikan formal seperti sekolah menengah atas. “Perlu reorientasi agar disesuaikan dengan jati dirinya. Banyak peluang keterampilan yang dibutuhkan masyarakat,” katanya. —put
n.artikel 14
SUMENEP - Dinas Pendidikan Kabupaten Sumenep meresmikan perahu pembelajaran antar pulau pendidikan non formal Yayasan Nurul Ulum Desa Benmaleng Kecamatan Giliginteng, Rabu (08/04). Perahu tersebut merupakan bantuan pemerintah melalui Direktorat Peniddikan Non Formal pada Yayasan Nurul Ulum sebagai penyelenggara Kelompok Belajar (Kejar) Paket A, Paket B dan Paket C di Kecamatan setempat.
Seusai acara peresmian, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Sumenep, H. Moh. Rais, S.Pd, M.Si mengatakan, dari 102 penyelenggara pendidikan luar sekolah se Kabupaten Sumenep, hanya Yayasan Nurul Ulum yang menerima bantuan perahu pembelajaran antar pulau tahun anggaran 2008. Pihaknya menginginkan penerima bantuan benar-benar memafaatkan parahu tersebut untuk peningkatan pendidikan non formal bagi masyarakat yang berdomisili di daerah pulau-pulau Kecamatan Giligenting. "Dari segi pemanfaatan, Yayasan Nurul Ulum mengelola dengan baik perahu tersebut, sehingga benar-benar berfungsi sesuai peruntukannya dalam rangka meningakatkan kwalitas dan kwantitas pendidikan. Bahkan, perlu juga diperhatikan pemeliharaan peralatan diperahu itu dengan baik, agar bisa bertahan lama,” tegasnya. H. Moh. Rais menyatakan, pada tahu pelaksanaan program pendidikan non formal sesuai Permendiknas Nomor 7 tahun 2008 akan mengkompetisikan pengajuan proposal penyelenggara pendidikan non formal, sehingga yang menerima bantuan itu benar-benar penyelenggara pendidikan non formal yang memiliki program terbaik. Sementara itu, Penilik Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Kecamatan Giligenting, Abd. Syakur menuturkan, kucuran dana dari APBN sebesar Rp. 300 juta, pemanfatannya utuk pembuatan perahu Rp. 100 juta, pengadaan perlengkapan pembelajaran, seperti buku, laptop dan outo focus sebesar Rp. 100 juta, gaji tutor, biaya pengoperasian perahu dan pembelian alat tulis kantor sebesar Rp. 100 juta
o.artikel 15

Pentingnya pendidikan non formal

Belajar atau mengenyam pendidikan tidak hanya di dalam pendidika formal seperti di SMA SMP atau di SD saja. Namun pendidikan non formal seperti di Kelompok bermain (KB), Taman penitipan anak (TPA), Lembaga kursus, Sanggar pelatihan, Lembaga pelatihan, Kelompok belajar, Pusat kegiatan belajar masyarakat, Majelis taklim. Bahkan akhir akhir ini banyak mereka orang orang kaya yang malas untuk melakukan pendidikan secara formal memilik pendidikan nonformal di rumah masing masing.
Sebenarnya Pendidikan non formal ini sangat penting bagi mereka yang hanya melulu melakukan pendidikan formal saja. Masalah nya tidak selamanya pendidikan formal itu menunjang karir mereka, buktinya banyaknya Sarjana S1 dan S2 yang menganggur menunggu pekerjaan yang tidak kunjung singgah kepada mereka. Namun pendidikan non formal sering menjadi yang di kesampingkan, biasanya banyak mereka yang sejak kecil sampai besar hanya mengenyam pendidikan formal dan setelah lulus mereka hanya terdiam tidak bisa apa apa, setelah lama tidak ada perkembangan barulah mereka mencari pendidikan non formal seperti les, kursus menjahit, dan lain lain. Saat ini telah banyak hasil yang dicapai, seperti kursus-kursus keterampilan untuk meningkatkan kemampuan para ibu, terutama di bidang kecantikan, tata boga, jahit menjahit dan merangkai bunga.
Kadang banyak ilmu yang tidak di dapat dari pendidikan formal dan ilmu tesebut malah ada dalam pendidikan nonformal, seperti membaca tartil alquran, atau merias pengantin, kemampuan akting, dan lain lain.
Jadi jangan anggap pendidikan non formal itu tidak penting. Hal ini juga dapat mempersempit orang orang yang bergabung dalam Black community.

c)Pendididikan tinggi

a.Artikel 1

KONTRADIKSI PENDIDIKAN TINGGI

Pasca didengungkannya konsep BHMN pada Perguruan Tinggi (PT) di beberapa PTN, pendidikan kian dihakimi masyarakat sebagai alat diskriminasi bangsa. Kenyataanya memang demikian. Tengoklah besaran tunggakan mahasiswa UNPAD yang mencapai 15 Milyar rupiah yang penyebabnya disinyalir akibat faktor ekonomi sehingga tak mampu membayar iuran pendidikan.
Fakta ini sedikit memberikan gambaran umum kondisi mahasiswa di pelbagai PT di Indonesia. Kondisi makro-ekonomi yang kian tidak bersahabat kian merajam kalangan menengah bawah dalam mengenyam pendidikan tinggi. Hal ini diperparah oleh pengurangan subsidi pemerintah pada pembiayaan pendidikan tinggi hingga birokrat kampus tak kuasa untuk menjadikan mahasiswa sebagai sumber utama pembiayaan PT.
Realitas ini kontradiktif dengan filosofis pendidikan itu sendiri. Berdasarkan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial Budaya (EKOSOB) tahun 1996, hak mengenyam pendidikan adalah hak paling mendasar yang harus dienyam oleh manusia. Dalam konteks ini, negara mutlak mengusahakannya.
Realitas pendidikan tinggi yang kian diskriminatif seakan menenggelamkan asa pedagogis kaum marginal. Mereka kian sulit untuk mengenyam pendidikan tinggi di PT berkualitas. Tengoklah komposisi mahasiswa UI saat ini yang disinyalir 90 persen-nya adalah mahasiswa dari Jabodetabek yang borju. Dengan realitas yang demikian, konsep education for all seolah menjauh dari ekspektasi semula.
Kaum “Minority Negasive”
Berdasarkan rapid assessment yang dilakukan secara keroyokan oleh Depdiknas, Bappenas dan World Bank menunjukkan hasil bahwa pada tahun 2015 hanya sekitar 25 persen masyarakat kita yang berhasil mengenyam pendidikan tinggi. Dari hasil ini setidaknya untuk beberapa tahun ke depan mahasiswa tetaplah kaum minoritas di negeri ini.
Sebagai minoritas, eksistensi mahasiswa justru menjadi penting dalam pergerakan bangsa ini. Tingkat intelektualitas yang tinggi dan semangat idealisme yang masih berkobar menjadi tumpuan masyarakat untuk menabuh genderang perubahan di negeri ini. Tak heran dalam beberapa penggalan sejarah, mahasiswa menjadi garda paling depan dalam melakukan revolusi rakyat. Dengan demikian, walaupun minoritas, mahasiswa kerap menegasikan diri dengan kemunafikan kaum mayoritas.
Dalam hal ini fungsi pendidikan sebagai the most powerfull things yang didengungkan Gayatri Spivak seolah mendapat pembuktian. Eksistensi mahasiswa adalah eksistensi kaum terdidik yang mampu menjadi penyeimbang kekuasaan dalam konteks kontrol sosial. Maka begitu vital peran mahasiswa dalam menjaga kuasa dari rongrongan absolutisme.
Kini, peran yang vital tersebut teancam tercerabut dari habitatnya akibat biaya perkuliahan dan beban hidup begitu hebat mendera sebagian besar mahasiswa di negeri ini. Disadari atau tidak, realitas ini kian menjauhkan mahasiswa dari fungsi sosial yang harus diembannya. Kini, mahasiswa justru banyak yang berjuang dalam aras berfikir pragmatis-individualistik demi menyelematkan hidupnya secara personal.
“Dipaksa” Menjadi Buruh
Diakui atau tidak, realitas pendidikan tinggi yang memberatkan ini membuat mahasiswa berusaha dalam ragam cara untuk menyiasatinya. Banyak yang lari untuk bekerja part-time atau berwirausaha secara mandiri. Pada satu sisi hal ini patut dibanggakan karena membuktikan kemandirian kita sebagai penggerak zaman.
Namun, pada sisi lain, realitas ini justru kerap membuat kita menjadi pragmatis. Kita menjadi tegoda hanya untuk memikirkan materi dan materi. Kuliah bahkan terbengkalai apalagi tanggungjawab kepada masyarakat. Kecenderungan seperti ini terbaca oleh Dudley Erskine Devline dari Colorado State University (1980). Dalam artikelnya berjudul “Bussiness and Education in America”, ia menyatakan bahwa mahasiswa-pekerja memiliki kecenderungan untuk terkosentrasi memikirkan uang. Parahnya, uang tersebut seringkali tidak dipakai untuk hal yang tidak semestinya, taruhlah untuk membeli kosmetik atau hura-hura.
Dengan demikian, tingginya biaya pendidikan tinggi di negeri ini setidaknya menimbulkan efek dalam 2 hal. Pertama, mengikis kesempatan kaum marginal dalam mengeyam pendidikan. Kedua, menumbuhkan sikap pragmatis-individualistik mahasiswa. Pendidikan pun kontradiktif dari tujuannya yaitu mencetak manusia yang tinggi secara intelektual dan juga memiliki kesadaran sosial yang tinggi atas nasib bangsanya.
Suatu kerugian besar jika ini terjadi kelak. Sampai para penentu kebijakan pendidikan tinggi sadar untuk melakukan reka ulang atas konsep PT beserta mekanisme pembiayaan pendidikan tinggi itu sendiri.

b.Artikel 2

TANTANGAN DAN TREN PENDIDIKAN TINGGI

Institusi pendidikan tinggi (universitas) tidak steril dari tuntutan dan perkembangan zaman. Kemampuan menyikapi tantangan dan tren yang dibawa oleh zaman akan sangat menentukan apakah sebuah universitas dapat tetap kompetitif atau kehilangan pasar. Tantangan dan tren inilah yang memaksa dan mengharuskan universitas untuk menerapkan logika korporasi, dengan mengedepankan prinsip-prinsip efisiensi pembiayaan, memperhitungkan setiap risiko (calculability), dan kemampuan untuk memprediksi tantangan dan tren ke depan (predictability). Dalam bahasa Kezar (2000), peran seorang rektor akan semakin menyerupai manajer perusahaan, dan manajemen universitas makin menitikberatkan pada akuntabilitas. Salah satu dampak dari perubahan ini adalah bergesernya fokus pendidikan dari sasaran utamanya, yaitu mahasiswa. Tuntutan masyarakat akan kualitas pendidikan tinggi yang bermutu dan murah pasti akan menyulitkan universitas dalam mendesain, baik program maupun kepastian lulusannya agar dapat diterima pasar kerja (Kovel-Jarboe, 2000).
Setiap universitas dapat dipastikan memiliki problem sosialnya sendiri. Pada saat bersamaan, dalam setiap masyarakat juga memiliki masalah dan isu-isu yang berkaitan dengan dunia universitas. Strategi yang mungkin akurat untuk mengatasi masalah-masalah tersebut sangat bergantung pada kondisi struktur dan kepemimpinan di tingkat lokal dan latar belakang kesejarahan masyarakat itu sendiri. Segenap potensi sumber daya universitas seyogianya digunakan untuk memperbarui, memvalidasi, dan memperluas wilayah keilmuan yang bersifat humanis dengan menggunakan metode-metode pengetahuan standar. Metode pengetahuan tentu saja hanya dapat ditransmisi dalam suatu tatanan masyarakat yang demokratis dan terbuka sebagai bentuk way of life. Pentingnya budaya demokratis yang bertanggung jawab di universitas adalah tuntutan lain dari kebutuhan dan perkembangan psikososial mahasiswa kita yang semakin sensitif terhadap semua jenis isu sosial dan politik (Dickinson, 1991). Otonomi dan tren pendidikan tinggi

Isu otonomi pendidikan sebenarnya sudah dimulai di Indonesia sejak masa Presiden Habibie. Meskipun isu otonomi dan kebebasan akademis dalam beberapa hal sangat kontroversial, dalam batas tertentu kita harus menganggapnya sebagai kebutuhan yang bisa fleksibel. Otonomi adalah hak bagi setiap institusi untuk memutuskan apa yang baik bagi sebuah institusi tanpa ada gangguan dari pihak luar. Konsep ini jelas datang dari semangat kebebasan akademis, ketika hak-hak akademis individu untuk mengekspresikan opini mereka terjamin.

Di dalam Magna Carta of European Universities yang ditandatangani pada 1988 oleh para rektor dari Universitas terbaik se-Eropa dikatakan bahwa universitas merupakan lembaga yang otonom di tengah-tengah masyarakat yang sangat beragam, baik secara geografis maupun budaya. Universitas adalah produsen utama hampir seluruh produk sosial, politik, dan budaya yang bersinggungan langsung dengan kehidupan masyarakat. Karena itu, keseluruhan proses belajar mengajar di universitas secara moral dan intelektual haruslah independen dan terlepas dari semua kepentingan politik dan kekuasaan. Kebebasan dalam menjalankan proses belajar mengajar dan melakukan riset secara terbuka merupakan pilihan strategis dan fundamental bagi universitas dalam rangka menjaga independensinya di tengah-tengah masyarakat. Karena itu, universitas harus secara konsisten dan konsekuen menjaga prinsip-prinsip otonomi seperti: (1) Hak untuk mempekerjakan dan memecat staf akademis yang melanggar etika dan tidak dapat mengembangkan kapasitas akademisnya, (2) hak untuk memutuskan apa dan bagaimana proses belajar mengajar harus dijalankan, (3) hak untuk menyeleksi mahasiswa dan mengevaluasi performance mereka secara mandiri dan bertanggung jawab, serta (4) hak untuk memilih topik-topik riset yang mereka inginkan tanpa harus takut akan intervensi pihak luar.

Di samping soal otonomi, beberapa isu penting soal bagaimana seharusnya sebuah universitas merespons perkembangan sosial budaya masyarakat juga harus diperhatikan. Isu tentang strategi kolaborasi yang harus dijalankan oleh universitas, strategi pendanaan, dan pentingnya memikirkan segmentasi yang bersinergi dengan bursa kerja merupakan keharusan yang perlu dipikirkan, direncanakan, dan dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan (Zusman, 1999).

Dalam rangka menarik minat pasar, pendidikan tinggi di Indonesia, mau tidak mau dan suka atau tidak suka, harus membuka program-program pelatihan, sertifikasi, serta kuliah jarak jauh yang dikelola dengan logika kolaboratif, yaitu ketersambungan dunia bisnis dan pendidikan. Networking atau jejaring adalah kata kunci yang harus dikembangkan secara terus-menerus oleh setiap universitas dalam rangka mencari pola partnership yang tepat antara universitas dan lembaga keuangan (bisnis, entertainer) dan lembaga riset. Selain itu, universitas diharapkan juga jeli dalam menjalin kolaborasi dengan sekolah menengah umum tertentu sebagai basis input-nya dan universitas lain terutama dalam rangka pemanfaatan sumber daya dan teknologi. Jika strategi kolaborasi ini berjalan, perencanaan pendidikan menjadi lebih mudah disosialisasikan ke tingkat masyarakat. Dengan demikian, pembukaan program-program baru yang berorientasi pada pasar atau kebutuhan masyarakat perlu dijajaki. Selain itu, dalam menjalankan strategi pendanaannya, lembaga pendidikan tinggi juga harus memperhatikan daya beli masyarakat.
Karena itu, riset tentang pembelanjaan dana publik di sektor pendidikan harus dilakukan. Belajar dari tren yang berkembang di Amerika Serikat, skema distribusi dana pendidikan diubah dari 'subsidi' menjadi 'pinjaman'. Perubahan ini sudah barang tentu merugikan masyarakat kurang mampu, yang enggan terbebani utang. Meski demikian, permintaan pinjaman mahasiswa meningkat secara signifikan, yang jumlahnya naik dari setengah menjadi tiga perempat dana pinjaman dalam anggaran pemerintah pusat. Adapun di tingkat negara bagian, alokasi anggaran pendidikan menunjukkan peningkatan. Sumbangan korporasi untuk universitas pun meningkat. Di samping itu, semakin banyak negara bagian yang mengikuti jejak California mengenalkan skema pinjaman yang lunak (Kovel-Jarboe, P 2000).

Strategi dan skema pendanaan yang berlaku saat ini di Amerika Serikat boleh jadi dapat menginspirasi lembaga pendidikan tinggi kita untuk melakukan kerja sama dengan perbankan dan pemerintah daerah dalam menggalang dana publik masuk ke sektor pendidikan tinggi. Ke depan, diharapkan ada riset mendalam yang secara spesifik melihat kemungkinan strategi pendanaan seperti ini bagi para mahasiswa kita di Indonesia.

Strategi ketiga adalah bagaimana lembaga pendidikan memetakan kemampuannya dalam melihat segmentasi pasar. Harus kita sadari bahwa 'peta sosial' universitas senantiasa berubah, baik dalam hal komposisi umur dan jenis kelamin, serta konfigurasi mayoritas-minoritas. Hal yang penting diperhatikan adalah meningkatnya jumlah 'mahasiswa dewasa'. Ketika perusahaan mengurangi program-program pelatihan, karyawan berpaling pada institusi akademis. Universitas-universitas dan lembaga pendidikan tinggi yang tanggap akan kebutuhan ini, yaitu yang mampu menjanjikan peningkatan kemampuan akademis dan keahlian khusus, baik melalui kelas reguler maupun kelas jarak jauh, menjadi lebih kompetitif.

Dengan kesadaran tentang the new student map, sesungguhnya kita menginginkan agar universitas di Indonesia dapat berperan lebih aktif dalam melihat kebutuhan tenaga profesional di segala bidang dengan kebutuhan dunia birokrasi dan usaha. Para pekerja yang ingin memperoleh ilmu dan meningkatkan profesionalitas mereka perlu diakomodasi oleh lembaga pendidikan seperti universitas dengan membuka program-program yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan secara bertanggung jawab.

Kesadaran tentang paradigma instruksional lembaga pendidikan kita juga tampaknya perlu digeser menjadi paradigma pembelajaran yang mengedepankan keberagaman model belajar dan multiple intelligences. Pada titik ini, peran dosen dan tenaga pengajar lainnya menjadi sangat penting. Karena itu, dosen dan tenaga akademis di setiap lembaga pendidikan tinggi dituntut untuk memiliki kemampuan, pengetahuan, dan keahlian dalam memutuskan bagaimana dapat membantu mahasiswa belajar secara maksimal. Perubahan paradigma pembelajaran ini juga membawa konsekuensi logis kepada universitas untuk melakukan program-program penyegaran dan pelatihan yang dapat memacu kreativitas pembelajaran (Kezar, 2000).

c.Artikel 3

INDUSTRI PENDIDIKAN TINGGI

Pengesahan Undang- Undang Badan Hukum Pendidikan memicu kontroversi di sebagian masyarakat akademia.

Mereka menolak dengan argumentasi logis-rasional, merujuk pada pengalaman PT BHMN (UI, UGM, IPB, ITB, USU, UPI). Para mahasiswa berdemonstrasi menentang Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) karena dianggap melegitimasi praktik komersialisasi pendidikan tinggi.

Industri pendidikan

Biaya pendidikan tinggi yang selama ini sudah amat mahal dikhawatirkan bertambah mahal karena pengelola perguruan tinggi—karena didorong motif ekonomi dan mengikuti hukum pasar—akan menjadikan pendidikan tinggi sebagai barang komersial, sama seperti barang dagangan lain dalam suatu transaksi perniagaan.

Lazimnya transaksi perniagaan, pertimbangan untung-rugi merupakan faktor penentu dalam pengelolaan perguruan tinggi. Jika pendidikan tinggi sudah menjadi barang komersial berharga mahal, sudah pasti hanya masyarakat kaya yang mampu menjangkaunya. Masyarakat miskin akan kian sulit mendapat akses ke layanan pendidikan tinggi karena keterbatasan kemampuan finansial.

Maka, hak dasar setiap warga negara untuk mendapat pendidikan bermutu sampai ke tertiary education menjadi kian sulit dipenuhi, terlebih karena sejauh ini kemampuan pemerintah dalam melindungi kelompok miskin melalui aneka instrumen kebijakan masih belum memadai.

Padahal, tiga isu besar yang bersifat eternal—affordability, accessibility, accountability—justru merupakan persoalan utama yang harus mendapat perhatian khusus dan harus ditangani serius oleh para perumus kebijakan dan pengelola perguruan tinggi (lihat Donald Heller, The States and Public Higher Education Policy, 2003).

Kehadiran UU BHP sejatinya hanya penegasan belaka atas kenyataan bahwa pendidikan tinggi di Indonesia telah berkembang menjadi industri. Di negara-negara maju, seperti AS, Kanada, Inggris, atau Australia, pendidikan tinggi memang merupakan lahan industri strategis yang menjadi bagian dari dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi negara bersangkutan.

Di negara-negara itu, industri pendidikan tinggi tumbuh pesat seperti industri jasa dan perdagangan yang lain. Lihat sentra- sentra industri pendidikan tinggi dunia yang sungguh memikat, seperti Boston, New York, California; Toronto, British Columbia; London, Manchester, Cambridge; atau Sydney, Melbourne, Canberra. Perkembangan industri pendidikan tinggi menuju komersialisasi pun tak terbendung, ditandai proses kapitalisasi ilmu pengetahuan terutama ketika pertumbuhan ekonomi digerakkan iptek—knowledge-and technology-driven economic growth.

Tiga motif

Komersialisasi pendidikan tinggi umumnya didorong tiga motif utama.

Pertama, hasrat mencari uang dan dukungan finansial serta keinginan menggali sumber-sumber pembiayaan alternatif, yang ditempuh melalui apa yang di kalangan universitas Amerika/ Eropa disebut an offer of generous research funding in exchange for exclusive patent licensing rights.

Kedua, peluang mengembangkan (baca: menjual) program pendidikan jarak jauh untuk memperoleh keuntungan finansial sebagaimana yang sudah lazim dilakukan di perguruan tinggi di Indonesia.

Ketiga, mendapatkan aneka kontrak yang menguntungkan dengan perusahaan/industri melalui pemberian dana, fasilitas, peralatan, bahkan seragam olahraga sebagai imbalan mendapatkan atlet-atlet bertalenta, yang mensyaratkan mereka mengenakan logo perusahaan pemasok dana bagi perguruan tinggi.

Bahaya

Namun, industri pendidikan tinggi yang mengarah ke komersialisasi ini mengandung bahaya bagi perguruan tinggi bersangkutan. Derek Bok dalam Universities in the Marketplace: The Commercialization of Higher Education (2005) mencatat sejumlah bahaya yang patut diwaspadai.

Pertama, bila godaan mencari keuntungan finansial melalui aneka kontrak dari perusahaan/ industri tak terkendali dan tak dikelola dengan baik, hal itu akan menggiring perguruan tinggi melupakan misi suci (sacred mission) yang harus diemban, yakni melahirkan insan-insan terdidik dan berkeahlian, yang menjadi basis bagi ikhtiar membangun masyarakat beradab dan pilar utama upaya pencapaian kemajuan bangsa.

Kedua, bila sekadar terobsesi oleh motif ekonomi semata, perguruan tinggi akan cenderung mengabaikan fungsi utama sebagai lembaga produsen ilmu pengetahuan, pelopor inovasi teknologi, serta pusat eksperimentasi dan observatorium bagi penemuan-penemuan baru. Padahal, peran hakiki perguruan tinggi adalah the center of knowledge inquiries and technology innovations, yang bukan saja penting untuk memperkuat institusi perguruan tinggi sendiri sebagai pusat keunggulan dan penelitian, tetapi juga akan memberi kontribusi pada ikhtiar membangun peradaban umat manusia.

Ketiga, konflik kepentingan antara dua hal—menggali sumber pembiayaan dan mengembangkan iptek melalui riset ilmiah— berpotensi mengorbankan core academic values karena perguruan tinggi cenderung berkompromi antara pilihan menjaga standar mutu program akademik dan tuntutan mendapatkan dukungan finansial dari perusahaan/industri.

Merujuk pada sejumlah kekhawatiran itu, kehadiran UU BHP bisa menjadi pedang bermata dua.

Pertama, memberi landasan hukum bagi universitas/institut untuk secara kreatif mencari alternatif sumber pembiayaan bagi penyelenggaraan pendidikan tinggi dan meningkatkan efisiensi/efektivitas manajemen perguruan tinggi guna meningkatkan kualitas program akademik.

Kedua, dapat memicu komersialisasi melalui aneka kontrak bermotif ekonomi dengan perusahaan/industri yang berpotensi menggerus fungsi esensial perguruan tinggi sebagai Maison des sciences de l’homme.

Untuk itu, kewaspadaan dan kehati-hatian dari semua stakeholder sangat diperlukan dalam melaksanakan UU BHP agar tidak memunculkan ekses negatif yang justru kontraproduktif bagi upaya memajukan perguruan tinggi di Indonesia.

Amich Alhumami Penekun Kajian Pendidikan; Berafiliasi dengan Direktorat Agama dan Pendidikan, Bappenas.

d.Artikel 4

Privatisasi Pendidikan Tinggi dan Implikasinya

Mahasiswa UI dan UNS menggelar aksi penolakan pemberlakuan uang pangkal (Kompas, 9 dan 10 Agustus 2004). Gejolak ini diperkirakan juga akan terjadi pada beberapa PTN terkemuka lainnya. Era otonomi pendidikan tinggi membawa implikasi hak dan kewajiban perguruan tinggi negeri dan swasta untuk mengatur pengelolaannya sendiri termasuk mencari sumber-sumber pendapatan untuk menghidupi diri. Konsekuensi logis dari otonomi kampus, saat ini perguruan tinggi seakan berlomba membuka program baru atau menjalankan strategi penjaringan mahasiswa baru untuk mendatangkan dana.
Perdebatan antara anti -otonomi dan pro-otonomi perguruan tinggi tidak akan berkesudahan dan mencapai titik temu. Kelompok yang menentang otonomi perguruan tinggi berpandangan negara harus bertanggung jawab atas pendidikan dan menanggung pembiayaan perguruan tinggi negeri. Mereka mengkhawatirkan privatisasi perguruan tinggi akan menutup akses bagi calon mahasiswa dari kalangan tidak mampu dan fenomena komersialisasi ini justru akan menurunkan komitmen dan mutu pendidikan tinggi. Bahwa negara sudah tidak mampu lagi membiayai pendidikan tinggi sungguh tidak masuk akal bagi kelompok ini mengingat kobocoran uang negara secara besar-besaran dalam berbagai kasus korupsi telah menempatkan negara ini sebagai yang terkorup di seluruh dunia. Selain itu, eksploitasi sumber-sumber daya yang melibatkan kekuatan asing dan kroni dari dalam negeri sendiri sudah menguras kekayaan bangsa ini. Gejala McDonaldisasi pendidikan tinggi di Indonesia dianggap sebagai bagian dari gerakan neo-liberalisme yang menjelma dalam kebijakan pasar bebas dan mendorong pemerintah untuk melakukan privatisasi berbagai aset pemerintah. Heru Nugroho dkk (McDonaldisasi Pendidikan Tinggi, 2002) menyoroti kontroversi otonomi perguruan tinggi di UGM dan menganggap kebijakan tersebut telah mengkhianati ideologi negara dan UUD 1945.

Sementara itu, kebijakan privatisasi pendidikan tinggi ini nampaknya akan terus dijalankan. Dua alasan yang sering dikemukakan adalah ketidak-mampuan pemerintah membiayai pendidikan tinggi dan kebutuhan untuk meningkatkan daya saing perguruan tinggi negeri. Terlepas dari alasannya, kebijakan otonomi perguruan tinggi membawa beberapa implikasi serius-baik positif maupun negatif--yang perlu diantisipasi dan dikaji secara obyektif.

Secara positif, dikotomi perguruan tinggi swasta dan negeri bisa mulai dihilangkan. Sebelum era otonomi perguruan tinggi, ada persaingan tidak seimbang antara PTN dan PTS. PTN terbiasa mendapat subsidi dari negara sedangkan PTS harus berjuang menggalang dana agar bisa bertahan padahal tidak semua mahasiswa yang masuk PTN perlu disubsidi dan sebaliknya tidak semua mahasiswa yang ditampung di PTS bisa menanggung sendiri biaya kuliah. Ditengarai kultur lama PTN sebagai lembaga yang dibiayai negara telah menimbulkan kurangnya efisiensi, etos kerja, semangat pelayanan publik, dan komitmen untuk bersaing dan meningkatkan mutu. Kultur "bekerja baik atau tidak gajinya sama kecilnya" dan fenomena "kenapa harus melayani mahasiswa karena toh bukan mereka yang membayar saya" memang sangat kentara di banyak PTN dibandingkan dengan PTS. Diharapkan otonomi perguruan tinggi bisa membawa angin segar dan memacu semangat untuk melayani mahasiswa dan publik dengan sebaik-baiknya.

Dibalik segala harapan yang terkandung dalam kebijakan otonomi, ada beberapa potensi konsekuensi yang perlu dipertimbangkan dan dicarikan jalan keluarnya. Para mahasiswa yang menentang pemberlakuan uang sumbangan masuk di UI mengkhawatirkan gejala elitisme di universitas tersebut. Kekhawatiran ini perlu diperhatikan dan tidak bisa dikesampingkan hanya dengan penghiburan adanya program subsidi silang dan beasiswa bagi mahasiswa miskin. Belum jelas apakah pemberlakuan uang sumbangan dan uang kuliah tinggi sudah disertai dengan kuota beasiswa yang memang sesuai dengan kondisi sosioekonomis calon mahasiswa. Di negara sekapitalis Amerika Serikat sekalipun, akses masyarakat terhadap pendidikan tinggi masih sangat diperhatikan. Walaupun perguruan tinggi tidak gratis, ada sistem penunjang yang memungkinkan mahasiswa dari berbagai kelas mengakses pendidikan sampai pada jenjang yang paling tinggi. Ada sangat banyak program beasiswa dengan berbagai kategori yang disediakan baik oleh pemerintah maupun swasta. Jika tidak berhasil mendapatkan bea siswa, ada program pinjaman lunak dan tanpa bunga bagi mahasiswa yang bisa dicicil setelah mereka lulus dan bekerja. Tanpa perhitungan kuota yang tepat dan sistem penunjang aksesibilitas, elitisme dalam pendidikan tinggi akan mengancam proses demokratisasi di Indonesia. Pendidikan yang diharapkan menjadi jembatan bagi pemerolehan akses ekonomi, politik, hukum, dan budaya secara lebih merata menjadi roboh.

Dengan kebijakan otonomi pengelolaan keuangan, perguruan tinggi berlomba-lomba menggalakan strategi dan program yang diperkirakan akan mendatangkan banyak dana. Di sisi lain, perguruan tinggi juga dengan mudahnya akan menutup unit atau program yang dianggap merugikan. Otonomi perguruan tinggi biasanya dilaksanakan secara berjenjang. Fakultas (atau juga program studi) juga diberi hak dan kewajiban menggalang dan mengelola sendiri keuangannya. Konsekuensi logis dari kebijakan ini adalah penutupan program-program studi ilmu-ilmu murni seperti filsafat, sejarah, dan program studi yang dianggap tidak bisa membekali mahasiswa secara langsung untuk mencari nafkah seperti arkeologi, antropologi, sosiologi, sastra Jawa dan sebagainya. Selanjutnya perguruan-perguruan tinggi di seluruh Indonesia akan dipenuhi dengan program-program ekonomi, bisnis, dan teknik saja. Tentu saja hal ini akan mengancam proses terbangunnya wacana ilmu pengetahuan secara kolektif dan pencerahan pemikiran dalam masyarakat.

Selain rasionalitas penutupan beberapa program studi, beberapa unit atau pusat yang dianggap tidak berguna terancam tutup dengan alasan efisiensi keuangan. Kegiatan-kegiatan penelitian yang menghubungkan universitas dengan perkembangan ilmu pengetahuan serta program pengabdian masyarakat akan terancam keberadaannya jika tidak bisa menggalang dana sendiri dari sumber di luar universitas. Sebagai gantinya, program-program non gelar dan ekstensi makin menjamur karena banyak peminatnya. Maka universitas akan mengalami proses degradasi dari pusat komunitas ilmiah dan pengembangan masyarakat menjadi pusat perbelanjaan pengetahuan dan ketrampilan serta kursus-kursus.

Untuk menunjang kebijakan otonomi perguruan tinggi, meritokrasi dilaksanakan dengan menghargai dosen dan karyawan sesuai dengan kinerja dan prestasi nyata, bukan berdasarkan senioritas dan masa kerja. Meritokrasi memang bertujuan baik dan jika dilaksanakan secara konsisten akan memacu orang untuk berprestasi. Namun, tanpa jiwa dan sistem yang matang, meritokrasi yang dilaksanakan akan mengikis idealisme dosen dan karyawan. Mereka akan menghitung pelayanan kepada mahasiswa dan masyarakat berdasarkan jam dan jumlah mahasiswa. Untuk mendapatkan honorarium yang sebesar-besarnya, dosen mengajar sebanyak mungkin jam kuliah dan membimbing sebanyak mungkin mahasiswa. Akibatnya, kualitas pengajaran dan penelitian dikorbankan. Ada saja dosen yang mempunyai beban lebih dari 30 sks per semester. Ini berarti dosen tersebut seharusnya menyediakan waktu bagi mahasiswa (30 x 50 menit kegiatan tatap muka) + (30 x 60 menit kegiatan terstruktur/terjadual) + (30 x 60 menit kegiatan mandiri) atau 85 jam per minggunya atau rata-rata 14 jam per harinya (85 jam dibagi 6 hari). Dipotong dengan waktu untuk istirahat dan tidur, dosen hanya punya sisa waktu sekitar 2 jam untuk makan, transportasi, dan kegiatan pribadi. Ditambah lagi, dosen juga berlomba-lomba dan berebut berbagai proyek untuk menambah penghasilan. Dalam sulap-sulapan jam semacam ini, biasanya jam untuk mahasiswa yang akan dikurangi dan ini berarti mahasiswa yang menjadi korban pelayanan pendidikan yang rendah.

Akhirnya, keberadaan sistem akuntabilitas dan transparansi dalam penggalangan dan pengelolaan dana merupakan syarat mutlak bagi kebijakan otonomi perguruan tinggi. Tanpa akuntabilitas dan transparansi, pengelolaan dana oleh segelintir elit kampus bisa menimbulkan kecurigaan. Jika universitas dalam keadaan minus, akan muncul kecurigaan mengenai ketidak-becusan atau ketidak-jujuran dalam mengelola keuangan. Jika universitas dalam keadaan surplus, kecurigaan ini juga akan mewarnai setiap pergantian pucuk pimpinan karena berkaitan dengan penguasaan dan pengelolaan asset-aset lembaga.

Era persaingan global dan pusaran neo-liberalisme tidak bisa dibendung lagi. Ketidak-mampuan negara dalam membiayai pendidikan tinggi tidak seharusnya membuat perguruan tinggi negeri terperosok dalam jurang pencarian dana dan pengabaian mutu. Jati diri dan misi pendidikan tidak boleh dilupakan. Peranan pendidikan sebagai jembatan bagi demokratisasi masyarakat harus tetap menjadi jiwa dalam setiap strategi menghadapi persaingan di tingkat nasional dan internasional.

e.Artikel 5

Pendidikan Tinggi Berguna untuk Transisi Masyarakat

Politik bukan pilihan tepat untuk menghadapi transisi masyarakat yang terjadi. Tetapi justru pendidikan tinggi-lah yang dibutuhkan. Pernyataan ini disampaikan Menteri Pendidikan Tinggi dan Riset Sudan Fathi Mohammed El-Khalifa saat berkunjung ke Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Senin (25/8). Sebab, transisi perlu banyak ahli dan inovasi yang hanya bisa diwujudkan melalui pendidikan tinggi. Mereka mampu mengupayakan teknologi baru bagi masyarakat. Selain itu, sumbangan ide dari ahli dan para pemikir juga dibutuhkan.

Prof Fathi menuturkan, beberapa tempat di Sudan masih dilanda perang saudara saat ini. Masyarakatnya sendiri sedang mengalami transisi, beralih dari kehidupan tradisional ke masyarakat dinamis modern. “Kami memerlukan pendidikan tinggi yang baik dalam masyarakat seperti itu,” ujarnya.

Tak heran bila pemerintah Sudan memberi perhatian besar pada bidang pendidikan tinggi. Maka, kunjungan ke Indonesia ini lebih ditujukan untuk melihat dan membandingkan sistem serta program pendidikan tinggi.

Pemerintah Sudan sendiri sedang giat berinvestasi untuk pendidikan tinggi. Tercatat, ada 28 universitas negeri, enam universitas swasta, dan 53 college swasta. Reformasi pendidikan tinggi juga ditempuhnya. Asal tahu saja, setelah Mesir, Sudan merupakan negara Afrika-Arab yang memiliki sejarah pendidikan tinggi yang tua.

“Tujuan reformasi pendidikan adalah agar bisa memenuhi kebutuhan transisi masyarakat. Tentu saja, perlu pembanding dari negara-negara sahabat,” terang Prof Fathi.
Kini, pemerintah Sudan memberi dukungan penuh dalam bentuk pembiayaan pendidikan. Agar bantuan pembiayaan bagi pendidikan bisa setara dua persen produk domestik bruto (PDB) negara.
Dalam kunjungan itu, El-Khalifa mengundang para pakar ITS untuk meneliti di Sudan. Rektor ITS Priyo Suprobo menyambut positif hal itu. “Kami siap bekerjasama dengan perguruan tinggi di Sudan. Mungkin, bisa untuk program pertukaran dosen dan mahasiswa,” jelas Priyo.
Saat ini di ITS ada lima mahasiswa Sudan. Mereka menyelesaikan pendidikan strata dua pada berbagai program studi di ITS. Kehadiran mereka di ITS ini didampingi Direktur Ketenagaan Ditjen Dikti Depdiknas Prof Muklas Samani. Menurut Prof Muklas, twining program bagi mahasiswa Sudan untuk belajar di ITS juga patut dilakukan.


f.Artikel 6

Pendidikan Tinggi Belanda Memberlakukan Kebijakan Jamin Siswa Asing

Pemerintah Belanda memberlakukan kebijakan baru di bidang pendidikan tinggi yang ditujukan untuk menjamin kualitas pendidikan tinggi di Belanda. Kebijakan baru yang disebut ”kode etik”, memberikan jaminan bagi siswa asing bahwa prosedur seleksi dan penerimaan telah memenuhi standar yang disyaratkan. Kode etik ini juga memberikan perlindungan dan jaminan kualitas bagi siswa asing, karena hanya universitas atau institusi yang telah menandatangani ”kode etik” yang diijinkan menerima siswa asing untuk studi di Belanda.
”Dengan kode etik ini, siswa asing termasuk siswa Indonesia akan memperoleh jaminan bahwa program yang dipilihnya telah memperoleh akreditasi dari pemerintah Belanda. Kode etik menuntut universitas untuk memberikan layanan terbaik bagi siswa asing dalam berbagai hal seperti standar akademis, kelengkapan informasi yang tersedia, petunjuk dan bimbingan yang benar, pengenalan budaya hingga persiapan keberangkatan. Perhatian khusus juga diberikan berkaitan dengan kedatangan pertama di Amsterdam, akomodasi dan hal-hal teknis seperti soal kedisiplinan, metode pengajaran dan penilaian yang berlaku selama masa studi,” demikian Ad de Leew, Direktur Netherlands Education Centre (NEC).
Fokus ”kode etik” pada pentingnya kualitas membuat pemerintah Belanda menjamin bahwa visa studi di Belanda hanya akan diberikan kepada siswa yang mendaftar di universitas yang telah menandatangani ”kode etik”. Daftar universitas yang telah menandatangani ”kode etik” dapat dilihat langsung oleh melalui website
www.internationalstudy.nl
. Universitas yang ada dalam daftar tersebut menawarkan program studi internasional yang telah terakreditasi. Komite nasional beranggotakan wakil-wakil dari organisasi pendidikan tinggi di Belanda telah dibentuk untuk mengawasi jalannya kebijakan atau kode etik ini.
Ad menambahkan,”Kode etik mengatur standar persyaratan minimum bagi semua siswa asing yang ingin studi di Belanda. Hal ini untuk memastikan agar setiap siswa dapat menyelesaikan studinya dengan baik. Persyaratan ini diantaranya adalah nilai kemampuan bahasa Inggris untuk calon siswa program S1 dan S2 adalah TOEFL 550 atau IELTS 6.”
”Kode etik” yang berlaku sejak bulan Mei 2006, merupakan hasil kerja sama antara Kementrian Pendidikan, Budaya dan Ilmu Pengetahuan dengan Kementrian Luar Negeri, Kementrian Kehakiman Belanda serta beberapa organisasi yang didanai oleh Kementrian Pendidikan, Budaya dan Ilmu Pengetahuan Belanda, termasuk NUFFIC di dalamnya.


g.Artikel 7

Implementasi Teknologi Nano: Pembaruan Pendidikan Tinggi Teknik Mesin

Mesin merupakan teknologi yang dekat dengan kehidupan masyarakat modern. Saat ini, hampir seluruh bidang kehidupan membutuhkan mesin dalam jenis beragam yang berujung pada bertambahnya kebutuhan akan tenaga ahli. Kondisi demikian seharusnya menciptakan link and match antara industri dengan perguruan tinggi. Kenyataan tentang adanya sarjana teknik mesin yang tidak bekerja sesuai bidangnya serta perkembangan teknologi dunia yang mengarah pada nanotechnology mendorong pertemuan untuk meninjau ulang sistem pendidikan yang ada.Menanggapi hal tersebut, bertempat di Aula Barat ITB, Sabtu (9/11), para praktisi pendidikan berkumpul dalam Seminar Pembaruan Pendidikan Tinggi Teknik Mesin. Diprakarsai oleh Ikatan Alumni Teknik Mesin ITB angkatan 1970-1972, seminar ini menjadi ajang pemaparan kondisi pendidikan jurusan teknik mesin pada universitas di dalam dan luar negeri, serta pembahasan nanotechnology yang semakin berkembang di berbagai belahan dunia. Hadir dalam acara tersebut antara lain Senat Akademik Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara (FTMD), Majelis Guru Besar Aktif, Majelis Guru Besar Purna Bakti, MWA Dewan Audit, Perwakilan dari jurusan Teknik Mesin dari berbagai universitas, serta para alumni Teknik Mesin ITB angkatan 1970-1972. Turut hadir sebagai pembicara antara lain Dekan FTMD, Dr. Ir. Andi Isra Mahyuddin; Prof. Amer Noordin Darus et.all. dari Malaysia; Gang Chen, Warren and Towneley Professor dari MIT; Dr. Ratno Nuryadi dari BPPT; Prof. Dr. Ir. Tresna P. Soemardi dari Universitas Indonesia; Mantan Profesor ITB, Dr. Ir. Sri Hardjoko Wirjomartono dan Dr. M. Ansjar; serta Dr. Yasraf Amir Piliang MA dari Fakultas Seni Rupa dan Desain.Disampaikan oleh Sri Hardjoko dalam makalahnya yang berjudul Perkembangan Proses Manufaktur dan Pemutakhiran Kurikulum Program Studi Teknik Mesin, industri mesin merupakan tulang punggung industri secara keseluruhan. Berdasarkan hasil penelitian, industri mesin di Indonesia masih lemah dalam hal desain komponen dan produk, teknologi produksi, teknik pengukuran, dan teknologi operasional perkakasnya. Sementara saat ini, perkembangan industri dunia diarahkan pada nano manufaktur.Senada dengan seminar yang disampaikan oleh Gang Cheng, di dunia barat, teknologi nano kian meluas perkembangannya. Perkembangan teknologi ini di Amerika Serikat telah dimulai sejak tahun 2000 dan sejak 2003, bahasan tersebut telah menjadi mata kuliah di MIT.Pertama kali dikenalkan oleh Richard Feynmann pada tahun 1965, teknologi nano merupakan kemampuan untuk melakukan manipulasi, kontrol, produksi, dan manufaktur benda dalam presisi atom. Pengukuran dan permodelan dilakukan dalam skala 100 nanometer atau lebih kecil. Bidang-bidang industri yang dipengaruhi oleh perkembangan teknologi nano dalam manufaktur antara lain; Komputer (menuju ke kecepatan yang lebih tinggi), farmasi, kedokteran (untuk pengaturan asupan obat, rehabilitasi syaraf dan jaringan), surface coating pada material, katalis (industri kimia dan industri lainnya), sensor, telekomunikasi, material magnit dan peralatan sejenisnya dan lain-lain. Beberapa negara lainnya yang telah berinvestasi pada pengembangan teknologi ini diantaranya Jepang, Jerman, Perancis, dan Inggris.Di Indonesia, teknologi nano dalam beberapa tahun ke depan diperkirakan masih akan berkembang dalam bentuk riset. Indonesia memiliki potensi sumber daya alam yang besar. Namun, kekayaan yang didapatkan melalui penambangan, pencairan, dan rangkaian pengolahan yang sangat memakan biaya ini akan segera tergeser oleh nano material yang lebih ringan, murah, serta hanya memerlukan energi yang sangat kecil dalam pembuatannya. Sayangnya, pembahasan tentang teknologi nano belum menjadi kurikulum di pendidikan tinggi. Kendala lain yang juga dihadapi oleh universitas dalam negeri menurut Yasraf Amir Piliang MA, adalah lambatnya pertumbuhan, inovasi, maupun karya-karya kreatif. Maka, seminar ini menjadi sangat penting agar kurikulum yang diajarkan pada pendidikan tinggi sejalan dengan perkembangan teknologi terbaru.Ditemui di sela-sela acara, mantan Direktur PT. Garuda Indonesia (Persero) sekaligus ketua panitia seminar, Ir. Indra Setiawan, M.Ba, menjelaskan bahwa perkembangan teknologi saat ini diarahkan agar Indonesia tidak hanya menjadi pengguna, namun juga mampu menciptakan teknologi berwawasan lingkungan yang responsif, adaptif, dan aplikatif. Yang perlu ditekankan adalah penajaman arah pendidikan agar tercipta professional engineer dalam berbagai bidang ilmu. Dalam seminar ini diluncurkan pula buku Transpor dan Konversi Energi Nanoskala karya Gang Chen yang dialihbahasakan oleh Ir. Filino Harahap, M.Sc., Ph.D., mantan Profesor di bidang Teknik Mesin yang kini menjadi aktifis pengembang teknologi nano di Indonesia.

h.Artikel 8

Benahi Manajemen Pendididikan Tinggi

Persoalan seleksi bagi mahasiswa baru yang akan memasuki perguruan tinggi negeri menjadi sebuah persoalan baru. Kabar bahwa sebagian besar PTN yang sebelumnya bergabung ke dalam satu sistem itu kemudian memilih melakukan sendiri seleksi dan penerimaan mahasiswa barunya, mengemuka. Akhirnya memang belum diputuskan bagaimana mengatasi hal tersebut. Titik krusialnya adalah bagaimana supaya calon mahasiswa dapat memilih PTN yang diminatinya tanpa harus berada di tempat PTN tersebut berada. Memang pengelolaan pendidikan tinggi tidak mudah. Tetapi seleksi untuk memasuki PTN barulah satu masalah dari sekian banyaknya masalah yang mendera pendidikan tinggi kita.
Salah satu masalah mendasar yang belum juga dipecahkan adalah bagaimana menciptakan lulusan yang bisa memasuki pasar kerja, tanpa harus menganggur. Angka pengangguran bagi lulusan perguruan tinggi memang masih cukup tinggi. Setiap tahunnya terdapat 4 jutaan lulusan perguruan tinggi yang memasuki pasar kerja, sementara hanya sedikit saja lapangan kerja yang terbuka bagi mereka.
Dulu pemerintah pernah punya konsep link and match. Konsep ini dikembangkan oleh mantan Menristek BJ Habibie berdasarkan pengalaman pengelolaan pendidikan di Jerman. Konsep ini menggunakan logika demand and supply. Pendidikan tinggi tidak dikelola demikian rupa seperti sekarang ini dimana semua jurusan dibuka, bahkan jurusan yang dibuka lebih banyak daripada yang ditutup. Mereka yang memasuki pendidikan tinggi diberikan nilai tambah sehingga ketika lulus mereka siap untuk bekerja pula.Hanya sayangnya, konsep ini kemudian dimentahkan oleh perubahan politik. Konsep yang dulu pernah menjadi sangat populer itu kemudian hilang begitu saja dan pendidikan tinggi kita terjebak ke dalam fenomena industrialisasi pendidikan tinggi. Maksudnya adalah pendidikan tinggi dijadikan sebagai alat mencetak sebanyak mungkin lulusan karena dianggap sebagai upaya mencerdaskan bangsa, sementara keterkaitannya dengan pasar kerja sama sekali tidak pernah dipikirkan.
Yang kemudian terjadi adalah, dan ini juga merupakan masalah besar, pada mahalnya biaya pendidikan. Semakin lama semakin terlihat bahwa upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa berjalan tidak sebanding dengan harapan kita mengenai tercapainya pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan.
Di setiap PTN sekarang ada berbagai kelas yang sangat variatif, dan terkadang membedakan kemampuan calon mahasiswanya. Perbedaan itu ditengarai menjadi pemicu perbedaan kualitas pendidikan. Yang paling parahnya, mereka yang tidak memiliki kesempatan untuk menikmati pendidikan tidak memiliki kesempatan melalui skema subsidi silang yang banyak diberikan oleh PTN. PTN tidak sanggup mendanai mereka yang tidak memiliki uang, terlebih PTN yang telah menjadi BHMN.
Akumulasi persoalan pendidikan, sejak dari seleksi sampai dengan outputnya kita kuatirkan akan menciptakan efek domino yang kelak akan menghasilkan gelombang pengangguran intelektual. Mereka yang berpendidikan tetapi tidak bekerja jelas lebih “berbahaya” dibandingkan dengan mereka yang tidak.
Skema Coorporate Social Responsibility (CSR) yang sudah mulai dijalankan oleh beberapa perusahaan sebenarnya bisa divariasikan dengan mempekerjakan para lulusan pendidikan tinggi. Perusahaan yang juga memiliki CSR bisa menjadikan lulusan perguruan tinggi sebagai bagian dari komitmen mereka mengatasi masalah sosial di wilayahnya. Yang paling penting, membenahi tujuan, arah dan pola pengelolaan pendidikan tinggi kita adalah sebuah pekerjaan rumah yang harus dikerjakan segera.


i.artikel 9

Membedah Industri Pendidikan Tinggi

KOMPETISI global juga sudah melanda dunia pendidikan. Setiap tahun, saat lulusan SMA dan SMK bersaing untuk mendapatkan institusi pilihan, perguruan tinggi pun berlomba-lomba mempromosikan diri dan menjaring calon-calon mahasiswa potensial. Potensial bisa berarti mampu secara akademis atau finansial.PERGURUAN tinggi dari luar negeri pun tidak mau kalah, dan gencar berpromosi. Begitu pula perguruan-perguruan tinggi swasta (PTS) melakukan berbagai upaya pemasaran dan menjadikan dunia pendidikan tinggi seperti bisnis dan industri. Kini beberapa perguruan tinggi negeri (PTN) tidak mau ketinggalan dengan membuka jalur khusus atau ekstensi.


j.Artikel 10

Angka Partisipasi Pendidikan Tinggi masih Rendah

Angka partisipasi pendidikan tinggi di Indonesia baru mencapai 18 persen dari seluruh penduduk Indonesia. "Presentase angka partisipasi kasar pendidikan tinggi (mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi) masih cukup rendah dibanding dari jumlah penduduk Indonesia'' kata Taufik Hanafi, Direktur Pendidikan dan Urusan Keagamaan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) di Jakarta, Selasa (10/3).Rendahnya angka tersebut menurut Taufik dipengaruhi oleh angka kelulusan SLTA yang juga masih rendah.Berdasarkan Angka Kerja Menurut Pendidikan Tinggi yang Ditamatkan di Perkotaan dan Pedesaan tahun 2008 oleh Bappenas, angka tertiggi kelulusan SLTA dari tujuh regional (desa dan perkotaan) hanya mencapai 30, 28 persen dari total usia sekolah. Sedangkan angka terendah di Nusa Tenggara hanya mencapai 21,10% dan di Jakarta dan Pulau Jawa angka kelulusan SLTA hanya mencapai 28,43 persen.''Untuk tingkat pendidikan dasar memang sudah cukup baik tapi untuk tingkat lanjut setingkat SLTP dan SLTA masih tertinggal dibanding negara lain,'' kata dia.Menurut data Human Development Index (HDI) yang dikeluarkan oleh United Nations Development Programe 2002-2005, Indonesia hanya menduduki peringkat 107 dari 170 negara. Ketiga dari bawah untuk negara ASEAN. di bawah Vietnam yang menduduki peringkat 105, Filipina (90), dan Thailand (78).Peringkat tertinggi negara ASEAN diduduki Singapura, yaitu ke- 25 dari 170 negara.


k. artikel 11

kOMERSIALISASI PENDIDIKAN TINGGI

Perguruan tinggi merupakan suatu wadah yang digunakan untuk Research &
Development (R&D) serta arena penyemaian manusia baru untuk
menghasilkan generasi yang memiliki kepribadian serta kompetensi
keilmuan sesuai bidangnya. Secara umum dunia pendidikan memang belum
pernah benar-benar menjadi wacana publik di Indonesia, dalam arti
dibicarakan secara luas oleh berbagai kalangan, baik yang bersentuhan
langsung maupun tidak langsung dengan urusan pendidikan. Namun
demikian, bukan berarti bahwa permasalahan ini tidak pernah menjadi
perhatian.
Munculnya berbagai cara yang mengarah pada pelanggaran etika
akademik yang dilakukan Perguruan tinggi kita untuk memenangkan
persaingan, menunjukkan bahwa pendidikan kini cenderung dipakai sebagai
ajang bisnis. Pola promosi yang memberikan kemudahan dan iming-iming
hadiah merupakan suatu gambaran bahwa perguruan tinggi tersebut tidak
ada inovasi dalam hal kualitas pendidikan. Kecenderungan tersebut akan
menghancurkan dunia pendidikan, karena akhirnya masyarakat bukan kuliah
untuk meningkatkan kualitas diri, melainkan hanya mengejar hadiah &
gelar untuk prestise. Kondisi pendidikan tinggi saat ini cukup
memprihatinkan. Ada PTS yang mengabaikan proses pendidikan. Bahkan ada
PTS yang hanya menjadi mesin pencetak uang, bukan menghasilkan lulusan
yang berkualitas. Hal Ini yang membuat persaingan menjadi semakin tidak
sehat.
Produk lulusan perguruan tinggi yang proses pendidikannya
asal-asalan dan bahkan akal-akalan, juga cenderung menghalalkan segala
cara untuk merekrut calon mahasiswa sebanyak-banyaknya, dengan promosi
yang terkadang menjebak dengan iming-iming hadiah yang menggiurkan.
Apakah ini gambaran pendidikan berkualitas ?. Semoga masyarakat dan
orang tua yang akan menyekolahkan putra putrinya tidak terjebak pada
kondisi tersebut dan lebih bijak dalam memilih perguruan tinggi,
sehingga putra-putrinya tidak terkesan asal kuliah.
Ditengah besarnya angka pengangguran di Indonesia yang telah
mencapai lebih dari 45 juta orang, langkah yang harus ditempuh adalah
mencari pendidikan yang baik dan bermutu yang dibutuhkan pasar. Bukan hanya murah
saja dan asal. Tidak dipungkiri lagi bahwa selama ini, dunia industri
kesulitan mencari tenaga kerja dengan keahlian tertentu untuk mengisi
kebutuhan pekerjaan. Bila membuka lowongan, yang melamar biasanya
banyak, namun hanya beberapa yang lulus seleksi.
Pasalnya jarang ada calon pegawai lulusan perguruan tinggi atau
sekolah, yang memiliki keahlian yang dibutuhkan, karena kebanyakan
berkemampuan rata-rata untuk semua bidang. Jarang ada yang menguasai
bidang-bidang yang spesifik. Hal ini tentunya menyulitkan pihak pencari
kerja, karena harus mendidik calon karyawan dulu sebelum mulai bekerja.
Sebagian besar perguruan tinggi atau sekolah mendidik tenaga ahli madya (tamatan D.III) tetapi keahliannya tidak spesifik.
Lebih parah lagi, bahkan ada PTS di Jakarta yang memainkan
range nilai untuk meluluskan mahasiswanya, karena mereka takut, ketika
selesai ujian akhir (UTS/UAS) banyak mahasiswanya yang tidak lulus
alias IP/IPK nasakom. Sehingga mereka lulus dengan angka pas-pasan yang
sebenarnya mahasiswa tersebut tidak lulus. Ini adalah cermin dari
proses PEMBODOHAN BANGSA bukan mencerdaskan BANGSA. Dalam hal
ini semua pihak harus melakukan introspeksi untuk bisa memberi
pelayanan pendidikan yang baik & berkualitas. Kopertis, harus
bersikap tegas menindak Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang melanggar
dan mensosialisasikan aturan yang tak boleh dilanggar oleh PTS.
Pengelola perguruan tinggi juga harus menghentikan semua langkah yang
melanggar aturan. Kunci pengawasan itu ada secara bertahap di tangan
Ketua Program Studi, Direktur, Dekan, Rektor dan Ketua Yayasan.
Selain itu pula, apa yang menjadi barometer yang menunjukkan
eksistensi sebuah perguruan tinggi? Untuk saat ini opini publik dan
beberapa kalangan masyarakat bahwa eksistensi sebuah Perguruan Tinggi
dilihat dari kuantitas mahasiswanya bukan kualitasnnya. Nah ini jelas
sudah terlihat faktanya bahwa pendidikan di Indonesia hanya menjadi
komoditi bisnis semata.
Menatap masa depan berarti mempersiapkan generasi muda yang
memiliki kecintaan terhadap pembelajaran dan merupakan terapi kesehatan
jiwa bagi anak bangsa, harapan kami semoga komersialisasi pendidikan
tinggi tidak menjadi sebuah komoditi bisnis semata, akan tetapi menjadi
arena untuk meningkatkan kualitas SDM dalam penguasaan IPTEK, sehingga
kita bisa mempersiapkan tenaga handal ditengah kompetisi global.
mulailah dari diri sendiri untuk berbuat sesuatu guna menciptakan
pendidikan kita bisa lebih baik dan berkualitas, karena ini akan
menyangkut masa depan anak-anak kita dan Juga Bangsa Indonesia.


l.Artikel 12

SPMB dan Dilema Pendidikan Tinggi


Liberalisasi di bidang pendidikan tinggi menjadi isu yang tidak mungkin lagi bisa dielakkan. Negara tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan seluruh anggaran, sehingga universitas dituntut mencari sendiri dana untuk menjaga kelangsungan penyelenggaraan pendidikan. Mencuatnya kasus 41 perguruan tinggi negeri yang berniat keluar dari kepanitiaan seleksi penerimaan mahasiswa baru (SPMB) pekan ini menegaskan betapa krusialnya masalah ini.

Sistem seleksi nasional calon mahasiswa yang terpusat semakin lama menjadi semakin tidak populer. Tidak populer, karena perguruan tinggi tidak bisa memilih langsung calon mahasiswa. Tidak populer, karena dana hasil penerimaan mahasiswa baru tidak langsung bisa digunakan perguruan tinggi negeri yang bersangkutan. Dana itu harus singgah dan dikelola terlebih dahulu oleh panitia pusat. Perguruan tinggi adalah sumber kecerdasan. Ia menjadi salah satu tumpuan sebuah bangsa untuk memenuhi kebutuhan akan talenta, intelektualitas, dan kepemimpinan masa depan.

Peningkatan mutu perguruan tinggi adalah wajib hukumnya bila sebuah bangsa ingin terus bertahan dalam peradaban global yang semakin lama semakin kompetitif. Kampus pun harus mampu menjadi centers of excellence. Soalnya adalah misi ini tidak serta-merta dapat dijalankan, karena keterbatasan anggaran. Meskipun konstitusi menjamin bahwa sektor pendidikan mendapatkan 20% dana APBN, tidak berarti persoalan ini selesai dengan sendirinya. Tidak hanya dalam konteks SPMB, dalam hampir semua soal, universitas negeri selalu terbentur masalah yang telah menjadi klasik.

Beberapa perguruan tinggi berstatus badan hukum milik negara (BHMN) menyelesaikan masalah ini dengan menarik dana pendidikan dari 80% calon mahasiswa yang cerdas dan mampu. Sedangkan 20% calon mahasiswa yang pintar, tapi kurang mampu secara finansial, tetap diberi tempat melalui jalur SPMB.
Opsi itu telah menjadi solusi bagi sebagian kecil perguruan tinggi negeri. Namun sebagian besar lainnya, tetap berada dalam dilema. Sampai kapan situasi ini akan berlangsung? Akankah negara membiarkan kualitas perguruan tinggi kita terus merosot dalam persaingan antaruniversitas di tataran global?

Sengketa SPMB hanyalah pucuk dari persoalan lebih substansial yang akan terus menghantui dunia pendidikan tinggi. Karena itu, perguruan tinggi negeri dituntut untuk melepaskan diri dari ketergantungan dana terhadap negara. Membuat setiap universitas negeri memiliki kemandirian sepenuhnya adalah sebuah urgensi yang tidak bisa ditawar-tawar dan dihambat-hambat lagi. Memaksakan setiap perguruan tinggi mengikuti SPMB secara terpusat dan terikat adalah keputusan yang tidak tepat. Ini akan membuat kualitas perguruan tinggi negeri tidak saja mengalami stagnasi, namun juga degradasi.

Sistem subsidi negara sehingga pendidikan tinggi gratis, tetapi tetap berkualitas hanyalah utopia di negeri ini. Ia menjadi pilihan tidak realistis mengingat tingkat kemakmuran negara kian menjauh. Bila negara benar-benar tidak lagi mampu mengatasi persoalan ini, pemerintah harus mengizinkan seluruh perguruan tinggi negeri mandiri secara finansial. Mereka harus mencari dana sendiri ke pasar, karena itulah pilihan yang paling mungkin. Kendati, masyarakat harus selalu siap dengan biaya pendidikan yang semakin mahal, konsekuensi logis dari liberalisasi ini menjadi keniscayaan.


m.Artikel 13

Quo Vadis (Arah) Badan Hukum Pendidikan Tinggi (Negeri/Swasta)

Konsep Badan Hukum Pendidikan (BHP) diilhami oleh semangat mengembalikan dan melindungi fungsi institusi pendidikan sebagai alat untuk mentransformasikan nilai-nilai kemasyarakatan dan membebaskan pendidikan dari hegemoni kekuasaan, dan pendidikan harus dikembalikan kepada masyarakat dan dilaksanakan dari, oleh dan untuk masyarakat. Dalam hal ini, peran pemerintah dalam mengkonstruksi pendidikan akan tergantikan oleh masyarakat dan pemerintah hanya akan berperan sebagai fasilitator.
UU No. 20/2003, Pasal 43. ayat (3) menyatakan bahwa Badan Hukum Pendidikan berprinsip nirlaba. Di sisi lain, pendidikan berbasis masyarakat juga mempersyaratkan adanya jaminan atas penyelenggaraan pendidikan yang transparan, partisipatif dan akuntabel oleh penyelenggaraan pendidikan. Bila tidak, maka peluang terjadinya penyimpangan oleh para pelaku pendidikan akan terjadi.

Pendidikan berbasis masyarakat bukan berarti tanggungjawab negara untuk menjamin hak warga negara atas pendidikan menjadi tereliminasi. Negara tetap bertanggungjawab menyediakan anggaran, sarana dan prasarana agar seluruh warga negara dapat menikmati kesempatan atas pendidikan secara merata dan tanpa diskriminasi sesuai dengan konsideran huruf (c) UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Konsep Rancangan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) untuk pertama kali dipersiapkan bersamaan dengan RUU Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN).

Dalam konsep RUU tersebut diatur tentang badan hukum pendidikan dasar, menengah dan tinggi - baik swasta maupun negeri, namun khusus mengenai Perguruan Tinggi Negeri (PTN) diatur lebih lanjut dalam RUU PT BHMN.

Terdapat 2 (dua) opsi untuk PTN yang diatur dalam pasal peralihan RUU BHP; pertama, dalam bentuk Badan Layanan Umum (BLU) yang kekayaannya tidak dipisahkan dari negara, kedua, dalam bentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang kekayaannya dipisahkan dari negara.

Dalam perkembangannya, konsep RUU tersebut telah banyak mengalami perubahan, ke arah yang lebih rigid dan lengkap mengatur tentang konsep pengelolaan institusi pendidikan berbentuk badan hukum. Meskipun banyak juga hal yang harus tetap dikritisi.

Dalam RUU BHP versi yang baru, semua bentuk pendidikan baik yang diselenggarakan oleh masyarakat, pemerintah daerah atau pemerintah harus berbentuk badan hukum yang sama yaitu badan hukum pendidikan. Oleh karenanya, jika RUU BHP disahkan - maka peraturan perundang-undangan yang terkait dengan peraturan pemerintah tentang BHMN tidak akan berlaku lagi.

Perubahan yang terjadi antara konsep RUU lama dan yang baru, dapat diamati dari bunyi pasal 1 ayat 7 (versi lama), yang mengatur bahwa ”Penyelenggara adalah satuan pendidikan berstatus Badan Hukum Pendidikan (BHP)” dan “Semua satuan pendidikan tinggi harus berstatus Badan Hukum Pendidikan Tinggi (BHPT) (Pasal 2 ayat (1)”. Selain itu, disebutkan juga bahwa “Satuan pendidikan dasar dan menengah dapat berstatus Badan Hukum Pendidikan Dasar Menengah (BHPDM)”.

Dalam versi perubahan, ketentuan tersebut lebih luwes, misalnya; “Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan tinggi didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk BHPT”, “Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan dasar dan menengah yang didirikan oleh masyarakat dapat berbentuk Badan Hukum Dasar Menengah (BHDM)”. “Dalam hal BHPT didirikan oleh yayasan atau badan hukum yang sejenisnya bagi PT yang telah ada maka (a) yayasan atau badan hukum sejenis berkedudukan sebagai pendiri, sedangkan PT yang telah ada berubah menjadi BHPT, atau (b) yayasan atau badan hukum sejenis berubah menjadi BHPT, sedangkan PT yang telah ada merupakan organ BHPT”.

Yang menjadi persoalan, apakah RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP) merupakan jawaban yang tepat bagi pengembangan pendidikan tinggi kedepan? Bagaimana RUU ini meletakkan peran pemerintah dan masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan tinggi serta bagaimana mengkonstruksi hubungan antara penyelenggara pendidikan (yayasan, perkumpulan, badan wakaf, pemerintah, dll) dengan satuan pendidikan? Apakah RUU BHP memberikan jaminan bagi terwujudnya pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan dalam rangka menghadapi tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global?


n. artikel 14

RESTRUKTURISASI PENDIDIKAN TINGGI DI EROPA

DEWASA ini, restrukturisasi ekonomi global yang sejalan dengan proses neoliberalisasi telah berdampak terhadap perubahan struktur pasar tenaga kerja di Eropa. Terkait langsung di dalamnya sistem pendidikan tinggi, yang merupakan bagian terpenting proses menyiapkan angkatan kerja dengan kualifikasi tinggi sesuai dengan konteks restrukturisasi ekonomi. Jika tidak, kualitas sumber daya manusia dari negara-negara tertentu akan menurun. Hal ini akan berdampak pada hilangnya keunggulan kompetitif angkatan kerja yang dimiliki masing-masing negara.

RESTRUKTURISASI sistem pendidikan tinggi di Eropa paling tidak distimulasi oleh empat fenomena. Pertama, transformasi aktivitas industri (sektor sekunder) menuju sektor tersier membutuhkan kualifikasi tenaga kerja yang tidak saja terampil, namun harus mampu menguasai sistem teknologi baru yang dipakai secara luas dalam dunia profesional. Penguasaan dan pemahaman teknologi amat diperlukan, terutama untuk membantu mempercepat proses pengambilan keputusan dengan akurasi tinggi, guna meningkatkan pelayanan di berbagai bidang jasa baru (Kjell Rubenson & Hans G, Schuetze, Transition to the Knowledge Society, 2000).

Kedua, proses neoliberalisasi telah meningkatkan arus mobilitas tenaga kerja yang berkualitas (highly educated). Hal ini terjadi khususnya di antara negara-negara maju dengan tingkat pendapatan per kapita serta kekuatan daya beli yang cukup tinggi. Gejala ini, seperti diungkap Saskia Sassen (The Global City, 2000), telah membentuk gejala polarisasi sosial/spasial baru berdasarkan brain power. Proses polarisasi ini telah meningkatkan fenomena kompetisi luar biasa, terlihat dengan kemunculan aglomerasi-aglomerasi ekonomi terutama di kawasan metropolitan area (London, Randstad, Frankfurt, Milan, Paris, dan Barcelona). Karena itu, sistem pendidikan tinggi pun terus melakukan proses diversifikasi dan spesialisasi dalam menghadapi kompleksitas baru ini.

Ketiga, bersatunya kekuatan ekonomi dan politik di Eropa meningkatkan arus kerja sama antarnegara dalam berbagai bidang. Peningkatan aktivitas itu telah membawa proses kerja sama yang kian intensif yang variatif, baik dalam skala lokal maupun global. Banyak aspek baru yang jauh lebih dinamis dengan kompleksitas tinggi tentu membutuhkan ruang-ruang studi baru, selain tentunya tenaga-tenaga ahli baru. Pendidikan tinggi dalam hal ini tetap merupakan tulang punggung riset yang mampu melakukan inovasi-inovasi dalam pengembangan pendekatan- pendekatan sosial, ekonomi dan politik; begitu juga dengan inovasi di bidang ilmu-ilmu dasar dan teknologi sesuai perkembangan itu.

Keempat, proses neoliberalisasi, sebagaimana disampaikan oleh Francis Fukuyama (The End of History and the Last Man, 1992) maupun Ulrich Beck (World Risk Society, 1999), telah berdampak pada memudarnya nation-state. Dinamika ini telah memberi konsekuensi pada berkurangnya investasi publik untuk sektor-sektor strategis jangka panjang (welfare state system), seperti sektor pendidikan, kesehatan, perumahan, dan sistem pensiun).

Perlahan-lahan institusi pendidikan tinggi di Eropa akan (bahkan telah) memasuki proses privatisasi karena berkurangnya pendanaan negara untuk sektor pendidikan. Proses inilah yang disebut Beck sebagai pudarnya public realm yang menuju proses individualisasi. Gejala privatisasi ini membawa pengaruh pada restrukturisasi sistem pendidikan tinggi di Eropa yang semakin hari menuju pada proses komodifikasi ketimbang mempertahankan esensi bahwa pendidikan merupakan bagian sistem kesejahteraan masyarakat untuk jangka panjang.

Transformasi sistem pendidikan tinggi di Belanda

Berbagai fenomena itu selanjutnya bisa dilihat melalui proses restrukturisasi pendidikan tinggi di Belanda. Sistem pendidikan tinggi di Belanda sebelum proses restrukturisasi berlangsung terdiri dari empat lembaga pendidikan tinggi, yaitu universitas (wetenschappelijk onderwijs/WO), lembaga pendidikan profesional/kejuruan (hogeschool/HBO), universitas terbuka (vrij universiteit dan academie), serta institusi pendidikan internasional (instelling voor internationaal onderwijs).

Universitas sendiri terdiri dari tiga bagian utama, yaitu pertama universitas untuk ilmu-ilmu sosial, ekonomi, dan politik (universiteit). Kedua, untuk bidang ilmu dasar dan teknologi (technische universiteit). Ketiga, universitas khusus di bidang pertanian (landbouw universiteit). Masa studi di tingkat universitas pada awalnya diselesaikan dalam waktu minimal lima tahun atau lebih dengan gelar Ir (ingenieur, dalam bidang teknologi dan pertanian) atau Drs (doctorandus, untuk bidang sosial). Sementara itu, untuk pendidikan kejuruan yang lebih menekankan dunia profesional (hogescholen), waktu studi berkisar tiga hingga empat tahun, dengan gelar Ing (ingenieur, untuk bidang teknologi) dan baccalaureus (untuk bidang studi sosial dan ekonomi).

Sistem pendidikan tinggi itu dalam dua tahun terakhir mengalami perubahan. Pendidikan sarjana di tingkat universitas saat ini bisa dicapai hanya dalam tiga tahun dengan gelar yang sama. Setelah itu, mahasiswa memiliki pilihan untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat master (dua tahun). Perubahan ini membawa dampak lanjutan pada lembaga pendidikan seperti hogescholen yang juga dapat ditempuh dalam tiga tahun. Dengan waktu yang sama, lulusan universitas akan jauh lebih diminati ketimbang lulusan hogescholen. Karena itu, untuk menjaga kuantitas siswa di lembaga-lembaga seperti hogescholen, mereka mulai melakukan diversifikasi dan kerja sama dengan universitas-universitas dari luar Belanda, dengan tujuan menciptakan keunggulan komparatif.

Sementara itu, universitas yang mulai mengubah sistem dari lima tahun menjadi tiga tahun, ditambah dua tahun pendidikan master, kini juga mulai menerapkan bahasa Inggris sebagai pengantar di tingkat master. Hal ini bertujuan agar universitas di Belanda bisa mulai membuka pasaran pendidikan untuk level internasional. Dengan demikian, peluang siswa asing untuk melanjutkan studi di Belanda jauh lebih besar karena bahasa pengantar yang dipergunakan adalah Inggris. Meski demikian, tidak semua negara melakukan hal serupa. Jerman meski melakukan restrukturisasi serupa, namun bahasa pengantarnya tetap Jerman. Hal ini cukup beralasan mengingat Jerman tetap sebuah bahasa yang digunakan secara luas, baik di Eropa Barat maupun Eropa Timur.

Antara komodifikasi dan kesejahteraan publik

Restrukturisasi pendidikan tinggi ini juga dilandasi strategi untuk tetap menjaga keunggulan kompetitif dan komparatif kualitas sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki masing- masing negara di Eropa. Hal ini menjadi penting di tengah situasi bersatunya kekuatan ekonomi dan politik di Eropa. terutama kompetisi dalam menarik arus modal asing amat ditentukan kualitas SDM yang dimiliki setiap negara (Luigi Orsenigo, Innovation, Organizational Capabilities and Competitiveness in a Global Economy, 2000). Ketersediaan SDM berkualifikasi tinggi mencerminkan tingkat pendapatan yang tinggi serta kuatnya daya beli pasar. Hal ini tentu menjadi salah satu daya tarik investasi dalam memanfaatkan gaya hidup kelas menengah baru yang tercermin pada pola konsumsi mereka yang amat dinamis (Pascal Petit, Employment in a Knowledge-Based Economy, 2000).

Lebih jauh, studi aktual yang dilakukan universitas di Utrecht telah mengindikasikan kawasan metropolitan Belanda barat (Randstad: Amsterdam, Rotterdam, Den Haag, dan Utrecht) sedang terjadi krisis kualitas maupun kuantitas SDM. Jika hal ini terus berlanjut, Randstad akan kehilangan daya tariknya dibandingkan dengan London dan Frankfurt Metropolitan Area. Hilangnya daya tarik SDM itu berarti akan membawa pertumbuhan negatif. Situasi ini secara langsung memberi implikasi terhadap munculnya kompleksitas baru serta risiko sosial yang tinggi, sebagaimana diungkapkan pemikir Jerman, Ulrich Beck, dalam buku Risikogesellschaft und Gegengifte (1986).

Secara singkat, proses neoliberalisasi yang mendorong restrukturisasi sistem pendidikan tinggi di Eropa merupakan hal menarik untuk dicermati. Bukan saja karena situasi ini merupakan bagian dari proses rasionalisasi yang harus dilakukan tanpa pilihan, melainkan ekses yang ditimbulkan menjadi sedemikian kompleks serta mengindikasikan fenomena individualisasi yang mengandung risiko tinggi.

Restrukturisasi sistem pendidikan tinggi di Eropa semakin hari terus mengarah proses komodifikasi. Hal ini tentu kian jauh dari esensi dan komitmen sosial dalam tradisi Eropa, yang selalu menempatkan pendidikan tinggi dalam konteks kesejahteraan publik (public welfare). Situasi dilematis ini bagai telur di ujung tanduk karena memiliki risiko yang amat signifikan dalam konteks pembangunan jangka panjang.


O. artikel 15

PENDIDIKAN TINGGI DI ERA PASAR BEBAS

KEKUATAN utama perguruan tinggi dalam kehidupan di era pasar bebas yang ditandai oleh sifat ketidakpastian yang tinggi dan paradoksial, terletak pada kekuatan sumber daya dosen. Peran dosen berada dalam posisi yang paling strategis. Oleh karena itu, dalam upaya peningkatan mutu pendidikan tinggi, dosen seharusnya menjadi pusat perhatian saksama. Upaya pembenahan kurikulum, perbaikan prasarana dan sarana, manajemen perguruan tinggi merupakan hal penting, namun tanpa adanya dosen yang bermutu dan sejahtera, semuanya itu menjadi kurang bermakna. Salah satu faktor penting yang mempengaruhi mutu pendidikan tinggi adalah dosen yang bemutu. Dosen yang bermutu dapat diukur dengan lima faktor utama, yaitu kemampuan profesional, upaya profesional, kesesuaian antara waktu yang dicurahkan untuk kegiatan profesional, kesesuaian antara keahlian dan pekerjaannya, dan kesejahteraan yang memadai. Di era pasar bebas, pengelolaan perguruan tinggi harus ditujukan untuk mengantisipasi kehidupan yang penuh ketidakpastian, paradoksial, dan penuh persaingan, dengan upaya memberdayakan dan meningkatkan kualitas sumber daya dosen. Ini tidak mudah. Kehidupan perguruan tinggi yang bersumber pada kebebasan mimbar akademik dan otonomi keilmuan tidak mungkin dosen-dosen dikelola dalam suatu sistem organisasi birokrasi yang kaku, tanpa mengorbankan makna hakiki kehidupan akademik tersebut. Perguruan tinggi yang tidak dapat mempertahankan mutunya akan kalah dalam berbagai persaingan. Apa pun bentuk pengelolaan perguruan tinggi, tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kualitas produktivitas yang berkelanjutan, karena tahap akhir kualitas kinerja perguruan tinggi sangat ditentukan oleh kualitas kinerja kolektif masing-masing anggota sivitas akademika, termasuk di dalamnya, yakni dosen. Dengan demikian maka pengelolaan dosen harus mempunyai sasaran utama, yaitu kenaikan kualitas produktivitasnya melalui peningkatan efisiensi kerja sebagai tenaga pendidik, peneliti dalam pengabdian kepada masyarakat atau lebih tepat dalam pelayanan jasa kepada masyarakat. Untuk dapat mencapai sasaran pengelolaan perguruan tinggi tersebut, ada dua syarat kunci yang harus dipenuhi, yaitu: (1) sistem produksi harus mempunyai peluang untuk dapat ditingkatkan efisiensinya, (2) adanya manfaat untuk meningkatkan efisiensi produksi. Sistem pendidikan tinggi di Indonesia belum mempunyai standar ukuran produktivitas maupun efisiensinya karena adanya nilai-nilai tak terhitungkan yang melihat pada produktivitas perguruan tinggi. Di era pasar bebas pada abad ke -21 ini, perguruan tinggi harus dapat mengantisipasi berbagai tuntutan. Pertama, persaingan tenaga kerja yang mengglobal, yang masuk bersama penanaman modal asing sebagai konsekuensi diberlakukannya perjanjian ASEAN-AFTA (mulai tahun 2002), WTO-GATT dan APEC (mulai tahun 2010). Untuk antisipasi hal ini perguruan tinggi harus mampu menjamin hasil didiknya di berbagai bidang profesi untuk memperoleh sertifikat profesi sebagai syarat untuk memperoleh hak bekerja sesuai dengan kompetensi kepakaran yang dipelajarinya di perguruan tinggi. Kedua, perguruan tinggi harus mampu menyiapkan hasil didik yang kompetennya dinilai tidak hanya atas dasar penguasaan pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga penguasaan sikap dan semangat kerja, kemampuan berkomunikasi, interpersonal, kepemimpinan, kerja sama tim, analisis permasalahan dan sintesis pemecahan masalah, disiplin, teknologi informasi, pemanfaatan komputer, fleksibilitas kerja, mampu mengelola kekaburan masalah, dapat bekerja dalam berbagai budaya, pemahaman globalisasi, terlatih dalam etika kerja, serta menguasai bahasa asing sebagai bahasa utama kedua. Ketiga, perguruan tinggi diharapkan dapat menyelenggarakan program yang lebih humanis. Makna humanis dalam hal ini memberi peluang yang lebih besar bagi anggota masyarakat untuk dapat memperoleh manfaat dari penyelenggaraan pendidikan, jaminan mutu pendidikan, dan kegayutan kebutuhan masyarakat, menjawab pertanyaan terhadap persamaan hak, pemenuhan perspektif internasional dan mantranya, biaya pendidikan yang sepadan. Untuk ini kurikulum inti berada dalam suatu situasi di mana sasaran penguasaan teknologi menjadi bagian dari kebudayaan, berikut dengan implikasinya sebagai bekal dasar kompetensi yang diperlukan seseorang menemukan kemampuan makna diri dalam berkehidupan. Keempat, kurikulum sebagai pedoman penyelenggaraan program studi harus dapat menjaga keserasian antara program yang diselenggarakan dengan aspirasi masyarakat. Hal ini dapat ditempuh dengan cara meniadakan ketidakterpautan dan menghindarkan beban berlebihan proses pembelajaran, tetapi secara umum dapat mencirikan tugas khusus dan misi yang diembannya untuk setiap jenjang pendidikan. Kelima, penyelenggaraan pendidikan tinggi diharapkan mampu menampung politisasi pendidikan, kebutuhan belajar sepanjang hayat, internasionalisasi pendidikan tinggi dalam makna reconvergent phase of education. Politisasi pendidikan tinggi terjadi oleh karena masyarakat menyadari bahwa pendidikan merupakan jembatan untuk kemakmuran ekonomi di masa depan, pilihan piranti untuk mengatasi pengangguran, penggerak teknologi dan ilmu maju, prasyarat vitalitas kebudayaan untuk meningkatkan kenyaman kehidupan masyarakat, dan pengaman nilai-nilai demokratis. Bentuk politisasi penyelenggaraan pendidikan antara lain adalah akuntabilitas pemanfaatan sumber daya oleh pemerintah dan masyarakat yang terlibat, pengurangan pembiayaan oleh pemerintah, yang bila tidak terkendali berpotensi memperlemah penyelenggaraan pendidikan karena adanya konflik pengutamaan objektif program di satu kepentingan, sedangkan di sisi lain adanya keinginan untuk menyelenggarakan program secara simultan. Untuk memperoleh sistem pendidikan tinggi yang produktif, dosen harus berkebudayaan wirausaha dengan ciri: (a) percaya diri, (b) berorientasi pada tugas dan hasil, (c) berani mengambil risiko demi kemajuan, (d) berjiwa kepemimpinan yang terbuka dan mudah bergaul atau bekerjasama, (e) berpikir ke arah yang asli, dan (f) orientasi ke masa depan. Pengembanganan kebudayaan kewirausahaan para dosen , dilakukan dengan melalui jalur pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat yang secara keseluruhan bernuansa kewirausahaan. Sumberdaya dosen yang berjiwa kewirausahaan akan menjaga profesionalitas dalam kariernya sesuai dengan kompetensi ilmunya. Secara terbuka akan berani mengatakan dan membela kebenaran ilmiah, dengan tetap berada pada posisinya sebagai seorang dosen. Produktivitas dan mutu karya tulis seorang dosen mencerminkan mutunya sebagai dosen yang mampu menjalankan fungsi keilmuan, bukan sekadar mengajar. Pada gilirannya, kinerja dosen yang banyak membaca, menulis, dan meneliti, akan berbeda dengan mereka yang hanya membaca kemudian mengajar. Dalam mengajar, tipe dosen yang pertama akan lebih kaya, karena mereka telah memperlakukan ilmu baik sebagai proses maupun sebagai produk. Mereka tidak kehilangan akal dalam mengajar atau membimbing mahasiswa, karena tersedia banyak referensi dalam pikirannya. Di pihak lain, tipe dosen yang kedua hanya memperlakukan ilmu sebagai produk, sehingga cara mengajarnya akan kering. Kegiatan keilmuan yang dimaksud di sini meliputi salah satu atau semua dari empat kegiatan ini: (a) penelitian, (b) pengkajian, (c) pengkomunikasian hasil-hasil penelitian dan pengkajian, dan (d) aplikasi hasil-hasil penelitian dan pengkajian dalam praktik. Dalam keempat kegiatan ini terlibat kegiatan usaha memperoleh, memahami, memecahkan, dan menemukan sesuatu. Sesuatu menunjuk kepada masalah yang dipelajari. Dalam hal ini kegiatan keilmuan melibatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi dalam rangka menjelaskan dan mencari jawaban atas masalah-masalah keilmuan. Perguruan tinggi sebagai sistem produksi dapat dinilai dengan tolok ukur: (a) mutu layanan, (b) mutu hasil didik (produk), dan (c) mutu pengelolaan proses pembelajaran. Mutu layanan jasa perguruan tinggi mencakupi: tepat waktu pendidikan, jaminan keberhasilan pendidikan, atmosfir akademik yang mendukung; tidak adanya diskrimanis layanan jasa pendidikan; otonomi penyelenggaraan program; kompetitif dalam kemudahan layanan dan kepercayaan penyelenggaraan. Mutu hasil didik, mencakup: kompetensi pengetahuan dan sikap yang bersertifikasi, dan kompetitif secara nasional dan global; fleksibel hasil didik untuk pindah minat pendidikan dalam proses long life education ; akreditasi penyelenggaraan program; kemampuan membentuk jaringan kerjasama, dengan dikenai prestasi mutu hasil didik. Mutu pengelolaan proses pembelajaran, mencakupi: efisien, akuntabel disertai evaluasi diri minimum persyaratan pembatas; program terencana dan terfasilitasi dengan baik; satuan biaya kompetitif, berbagai fasilitas kemudahan studi; otonomi penyelenggaraan, fleksibel, akuntabel, dalam jaringan kerjasama penyelenggaraan pendidikan secara nasional maupun internasional. Suatu perguruan tinggi selalu bercirikan suatu satuan organisasi profesional, dimana hasil dan dampak yang tersalurkan ke masyarakat sangat ditentukan oleh kemampuan dan kinerja civitas akademika yang dilandasi oleh kreativitas dan kecerdikan. Hal ini memerlukan suasana kerja yang berbeda dari organisasi yang bergerak dalam bidang manufaktur, dimana kualitas kerja sangat ditentukan oleh ketepatan melaksanakan prosedur, yang menyangkut cara, urutan, dan waktu. Bagaimanapun, berdasarkan hasil penelaahan dan pengalaman lapangan tentang organisasi dapat disimpulkan bahwa kreativitas, kecerdikan, dan produktivitas suatu lembaga profesional lebih terangsang oleh pola kerja yang luwes dan mandiri daripada pola kerja yang terstruktur secara kaku. Hal inilah yang dapat dijadikan alasan yang kuat agar perguruan tinggi dapat dikelola berdasarkan asas otonomi. Meskipun dalam perkembangan sejarah, asas otonomi ( yang biasanya berpasangan dengan kebebasan akademik) sering berubah makna dan pelaksanaannya, namun asas ini tetap hidup dan tetap menjadi tuntutan, karena otonomi (kebebasan akademik) sudah sejak lama menjadi ciri kelompok masyarakat yang secara langsung terlibat dengan kegiatan lembaga pendidikan tinggi yang dikenal sebagai universitas. Perguruan tinggi tidak diselenggarakan dalam "ruang hampa", tetapi selalu terkait dan tergantung pada lingkungan dan masyarakat sekitarnya. Hal ini mengakibatkan tata nilai, norma, perundangan, peraturan yang menjadi rambu-rambu dan memandu perkembangan masyarakat, selalu harus diperhatikan dan menjadi acuan dalam pengelolaan perguruan tinggi. Dengan demikian maka asas otonomi yang diberlakukan dalam pengelolaan perguruan tinggi selalu harus disertai dengan pertanggunganjawab atau akuntabilitas.