Sabtu, 28 Februari 2009

d)Pendididkan Non formal

a.Artikel 1

Pendidikan Nonformal Gratis untuk Anak Putus Sekolah

Tingginya angka putus sekolah, banyaknya anak jalanan dan anak terlantar di Indonesia membuat banyak pihak prihatin, tak terkecuali Yayasan Pendidikan Indonesia-Amerika (Indonesian-American Education Foundation) di Jakarta atau di singkat Jakarta IAEF. Jakarta IAEF akan membangun gedung dan memberikan pendidikan nonformal gratis buat anak-anak tersebut.
Demikian diungkapkan Ketua Jakarta IAEF Daniel Dhakidae, Ketua Pembina Jakarta IAEF Azyumardi Azra, anggota Pembina IAEF Jakarta Aristides Katoppo, dan President Dallas IAEF Henny Hughes, kepada pers Senin (27/10) di Jakarta. "Idenya membangun suatu yayasan untuk kepentingan pendidikan, terutama untuk anak-anak putus sekolah, anak jalanan dan anak terlantar. Mereka akan ditampung, dididik dan dilatih hingga mampu berdiri sendiri menopang kehidupannya, tanpa mengeluarkan biaya," kata Daniel Dhakidae.

Bagi mereka sudah lulus dan menguasaimenguasai keterampilan sesuai bidang yang diminatinya, maka mereka akan disalurkan bekerja di luar negeri dengan jejaring yang dibangun, misalnya di Timur Tengah, Malaysia, termasuk Amerika sendiri. Sejumlah duta besar sudah dikontak dan mendukung program ini. Namun, Jakarta IAEF bukanlah lembaga pengerah jasa tenaga kerja yang mendapatkan fee.

Azyumardi Azra mengatakan, yayasan pendidikan ini dibuat sebagai jembatan budaya kedua negara, Indonesia-Amerika. "Yayasan Pendidikan Indonesia Amerika ini lebih dari soal pendidikan, tapi juga pertukaran budaya, sehingga dengan ini mereka bisa mengetahui dan menghayati, dan saling menghargai kebudayaan masing-masing," katanya.

Karena itu, untuk mendukung ini, Aristides Katoppo berharap banyak pihak, apakah pribadi atau perusahaan yang peduli pendidikan anak-anak bangsa yang terlupakan ini, untuk membantu mewujudkan pembangunan gedung Learning Center, tempat mereka membekali diri dengan berbagai keterampilan untuk berkarya.

"Tanggal 11 Desember 2008, akan digelar malam dana bertajuk We are the Forgotten Children of Indonesia di Balai Sarbini. Diharapkan masyarakat mau menyumbang, bersimpati, dan memberikan solidaritas dan kebersamaan," ujarnya.

Henny Hughes menambahkan, gagasan ini berdasarkan investigasi dua tahun lalu. Untuk membawa anak-anak itu kembali belajar, motivasinya harus dari diri mereka sendiri. Keinginan belajar dari mereka itu harus kuat.

Membawa mereka kembali belajar bukanlah hal yang mudah, akan tetapi bukan pula sesuatu yang mustahil karena pengaruh kehidupan liar di luar rumah telah merubah pola pikir mereka. "Untuk itu dibutuhkan metode khusus, praktis dengan bahasa yang sederhana dan berbagai variasi sistem penyampaian, misalnya melibatkan audio-visual agar lebih mudah dipahami, sehingga membuat belajar sebagai bagian dari aktivitas yang menyenangkan dan menjadi suatu kebutuhan," jelasnya.

Menurut Henny, pendidikan nonformal di Learning Center bisa menampung 400 anak. Walaupun yang menjadi target sementara adalah mereka yang putus sekolah dan yang memasuki usia dewasa atau 17 tahun ke atas, akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu maka Learning Center juga akan dapat menampung berbagai tingkatan, termasuk anak-anak setingkat SD hingga universitas. Bahkan, akan menjangkau setiap warga yang ingin meningkatkan kemampuan dan pengetahuannya.

Learning Center yang didesain oleh Fakultas Teknik Jurusan Sipil dan Perencanaan Universitas Trisakti, untuk tahap awal selain memiliki fasilitas belajar-mengajar dan training juga memiliki sejumlah fasilitas olahraga. Bangunan tiga lantai seluas lebih kurang 2.000 meter persegi di atas tanah seluas 3.000 meter persegi itu, rencananya akan dilaksanakan pada awal tahun 2009 dan diharapkan akan dapat dioperasikan pada pertengahan tahun 2010.


b.Artikel 2

Diknas akan Integrasikan Program Non Formal ke Pendidikan Formal

Mengenai lembaga yang bakal ditunjuk melaksanakan akreditasi, Mendiknas menyatakan, lembaga tersebut sebenarnya sudah tersedia.

Beberapa lembaga yang bDepdiknas akan mengintegrasikan beberapa program yang diajarkan melalui pendidikan non-formal dengan program pendidikan formal sehingga diharapkan peserta didik setelah menyelesaikan pendidikannya juga memiliki bekal kecakapan hidup.

"Pendidikan non formal banyak mengajarkan program kecakapan hidup (life skill) sehingga selayaknya dapat ditransfer dalam program pendidikan formal," kata Mendiknas Bambang Sudibyo ketika membuka Rakernas Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Profesi Indonesia (LP3I) di Jakarta, Senin.

Untuk itu, pemerintah saat ini tengah menggodok peraturan pemerintah yang memungkinkan dua program pendidikan yang berbeda tersebut dapat dipadukan.

Ia mengatakan, pemerintah akan memberikan penyelesaian dan mekanisme bagaimana melakukan transfer, namun demikian lembaga kursus yang dapat melakukan transfer ke pendidikan formal tentu harus melalui proses modifikasi dan terakreditasi.
erada dalam binaan Dirjen Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (PLSP) Depdiknas, yang selama ini sudah mengembangkan program kecakapan hidup, bisa menjadi embrio lembaga yang akan menangani akreditasi, katanya.

"Kalau yang diasuh oleh lembaga-lembaga itu saya tahu, itu sudah siap dan langsung bisa diberikan akreditasi. Tapi kalau yang diselenggarakan oleh masyarakat saya kan harus melihat dulu," katanya.

Ia juga mengatakan, jika pemerintah bermaksud mentransfer pendidikan non formal ke pendidikan formal, pemerintah memiliki kebutuhan untuk mengontrolnya melalui akreditasi.

Menurut dia, pemerintah akan mendorong lembaga formal seperti Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) yang memungkinkan anak didiknya mendapat bekal kecakapan hidup atau life skill. Hal ini sangat mungkin mengingat saat ini banyak disuplai oleh pendidikan non-formal.

Pendidikan nonformal seperti lembaga kursus, kata Bambang, punya keunggulan dibandingkan dengan pendidikan formal sebab lembaga kursus membuka program untuk memenuhi kencenderungan kebutuhan masyarakat.

Ia mengatakan, lembaga kursus berbeda dengan pendidikan formal. "Pemerintah membangun sekolah dimana-mana, biasanya tanpa banyak memperhitungkan kebutuhan masyarakat, semata-mata karena program pemerintah, maka dibangun saja. Sebaliknya, lembaga pendidikan non-formal dibangun dengan memperhitungkan kebutuhan masyarakat," katanya.

Pendidikan non-formal, memang tidak terlalu terstruktur dan dapat diselenggarakan lebih mengakomodasi kepentingan individual, sementara pendidikan formal prosesnya cenderung massal sehingga seringkali tidak memperhitungkan apakah programnya dibutuhkan masyarakat atau tidak, katanya.

Lebih lanjut Mendiknas mengatakan, tuntutan dunia pendidikan nasional ke depan akan mengutamakan lulusan sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA) yang memiliki kemampuan memasuki bursa kerja semakin tinggi.

Oleh sebab itu Mendiknas, Bambang Sudibyo merencanakan agar pada sistem pembelajaran sekolah menengah umum tersebut juga diberikan pelajaran kecakapan hidup untuk menunjang kesiapan lulusan sekolah itu untuk memasuki dunia kerja.

"Diharapkan dengan adanya program ini maka angka partisipasi kasar sekolah bisa ditingkatkan," katanya.

Data Dirjen Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (PLSP) menyebutkan saat ini terdapat 2.500 lebih lembaga kursus di Indonesia, dan terdapat 131 jenis kursus yang diselenggarakan oleh PLSP.

Mengenai bentuk kurikulum pendidikan yang akan disusun dengan masuknya program pendidikan non formal ke dalam pendidikan formal, Mendiknas mengatakan pemerintah akan menerapkan kurikulum yang longgar sekali, kemudian sesuai dengan UU Sisdiknas
kurikulum efektif itu (yang memasukkan pendidikan non formal-red) akan diramu oleh masing-masing sekolah di bawah koordinasi dinas pendidikan daerah. Jadi nantinya terserah masing-masing sekolah, bagaimana meramu kurikulumnya,".

c.Artikel 3

Pendidikan Non Formal Raih 1.8 juta Peserta Didik

Direktorat Pendidikan Formal dan Informal Depdiknas di tahun 2007 berhasil memperluas akses wajib belajar melalui pendidikan non formal. Terbukti sebanyak 1.850.618 peserta didik terjaring dalam pendidikan keseteraan yang terhimpun di paket A, B dan C
Peran pendidikan kesetaraan untuk pembelajaraan paket A setara SD menyumbang 0,4 persen Angka Partisipasi Kasar (APK) dan untuk program paket B setara SMP menyumbang 4,6 persen sedangkan untuk paket C setara SMA menyumbang sebanyak 3,8 persen, kata Dirjen Pendidikan Formal dan Informal Depdiknas Ace Suryadi dalam laporannya kepada Mendiknas Bambang Sudibyo belum lama ini di Jakarta Lebih lanjut Ace mengatakan dalam rangka meningkatkan pelayanan pendidikan kepada peserta didik yang tidak terjangkau pendidikan formal pada tahun 2007, pihaknya telah berhasil mendidik 284.601 peserta didik untuk paket A, untuk Paket B mendidik 1.490.315 peserta dan Paket C mendidik 75.701 peserta. Tahun ini, kami akan berusaha meningkatkan akses pendidikan Paket A dan B untuk menuntaskan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun dengan jangkauan pelayanan 25 persen angka putus sekolah SD kelas 4 dan 5 dan 50 persen siswa lulus SD yang tidak melanjutkan ke jalur SMP, kata Ace.
Menurut Ace pendidikan kesetaraan memang berada dalam posisi pinggiran. Hal itu diperkuat oleh fakta bahwa sebagian besar peserta didik di sini adalah anak-anak miskin, berhenti sekolah di tengah jalan, atau orang dewasa yang belum pernah menamatkan pendidikan dasar dan menengah.
Fenomena itu mesti diterima sebagai tantangan untuk memperbaiki citra itu. Semestinya hal itu menjadi pemacu semua pihak untuk menjadikan program tersebut memiliki daya tarik, yang siap bersaing dengan jalur persekolahan, bahkan mampu menempatkan diri sebagai jalur pendidikan dasar dan menengah alternatif.
Artinya, sebagai cara lain bersekolah untuk dapat memberikan yang berbeda dan lebih dari apa yang diberikan sekolah. Para peserta didik lebih membutuhkan bekal keterampilan untuk secepatnya mendapatkan pekerjaan. Dalam perspektif ini, Di kesetaraan yang bermutu tentulah yang dapat memberikan keterampilan relevan sehingga mereka cepat dapat bekerja setelah lulus, ujarnya.
Sementara itu Direktur Pendidikan Kesetaraan Ella Yulaelawati menjelaskan pada tahun 2008 pihaknya akan fokus dalam melayani masyarakat kurang mampu yang tidak tersentuh layanan pendidikan formal di 149 kabupaten kota.
Berdasarkan data Lakip Mendiknas disebutkan terdapat 7 provinsi di Indonesia yang masih rendah dalam penuntasan wajib belajar seperti Nusa Tenggara Timur, Papua Barat, Papua, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat.
Berdasarkan hasil kajian kami, pada tahun 2008 mendatang kami akan lebih fokus melayani program paket di 149 kabupaten/kota. Dan tentunya, akan dilakukan inovasi layanan program sesuai dengan kebutuhan masyarakat, ujarnya.
Dijelaskan, proses pembelajaran Pendidikan Kesetaraan menggunakan pendekatan induktif, tematik, partisipatif (andragogis), konstruktif dan lingkungan. Induktif maksudnya adalah pendekatan yang membangun pengetahuan melalui kejadian atau fenomena empirik dengan menekankan pada belajar pada pengalaman langsung.

d.Artikel 4

PROGRAM-PROGRAM PENDIDIKAN NONFORMAL UNTUK MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT PEDESAAN

Program Riset
Pembangunan pedesaan mempunyai peranan penting dan strategis dalam pembangunan daerah dan pembangunan nasional. Hal ini disebabkan karena sebagian besar masyarakat tinggal di daerah pedesaan dengan lingkungan yang memiliki potensi alam yang melimpah, lagi pula pembangunan pedesaan menyentuh langsung kepentingan masyarakat desa. Oleh sebab itu pemerintah seharusnya memberikan perhatian besar dan lebih serius terhadap pembangunan desa.
Sekalipun kemajuan dalam pembangunan desa telah banyak dirasakan manfaatnya, namun masih banyak pula masalah-masalah yang perlu dipecahkan untuk lebih memantapkan pembangunan desa. Khususnya dari segi peningkatan dan pemerataan pendidikan nonformal perlu ditemu kenali aspek-aspek mendasar dari kehidupan masyarakat desa sebagai subyek (warga belajar). Untuk maksud itu setiap lembaga yang bertanggung jawab atas pengembangan pendidikan nonformal pada masyarakat pedesaan perlu melaksanakan kegiatan penelitian secara mendalam dan luas.
Menyadari akan kepincangan-kepincangan yang ada di daerah pedesaan, maka program riset dalam rangka pelaksanaan pendidikan nonformal bagi masyarakat pedesaan merupakan satu kebutuhan.
Salah satu jenis penelitian yang akurat dan cepat hasilnya dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat pedesaan adalah action research. Untuk mengejar ketinggalan-ketinggalan yang dihadapi masyarakat desa perlu dikembangkan jenis penelitian ini.

Program Pendidikan nonformal dengan Menggunakan Bahasa Ibu
Masyarakat pedesaan terdiri atas berbagai suku bangsa yang memiliki bahasa lokal masing-masing, ingat saat ini masih digunakan secara lisan dalam pergaulan hidup seharĂ­-hari.
Pesan-pesan pendidikan nonformal akan lebih mudah dan cepat dihayati dan dimengerti oleh masyarakat apabila disampaikan dalam bahasa lokal atau bahasa ibu mereka. Selain itu, dengan menggunakan bahasa ibu dalam menyampaikan pesan-pesan pendidikan nonformal, sekaligus dapat melestarikan bahasa ibu guna memperkaya kebudayaan nasional.
Hasil penelitian Jim Cummis (2005) menjelaskan bahwa anak-anak yang kuat akan lebih dapat membangun kemampuan keaksaraan mereka dalam bahasa yang digunakan di temapat pendidikan. .Jika orang tua dan pengasuh lainnya (misalnya kakek atau nenek) bisa meluangkan waktu dengan anak-anak mereka, serta bercerita atau mendiskusikan masalah tertentu sehingga dapat mengembangkan keaksaraan dalam konsep bahasa ibu mereka, maka anak-anak bisa lebih siap untuk mempelajari bahasa di tempat pendidikan, dan berhasil dalam pendidikan mereka. Pengetahuan dan keterampilan mereka dialihkan dari bahasa ibu yang telah mereka pelajari di rumah ke dalam bahasa yang digunakan di tempat pendidikan. Dari sudut pandangan pengembangan konsep dan keterampilan berfikir anak-anak, kedua bahasa ini saling bergantung satu sama yang lain. Pengalihan lintas bahasa terjadi secara dua arah, jika bahasa ibu dipromosikan di sekolah (misalnya dalam program pendidikan dwibahasa) makan konsep kemampuan berbahasa dan ketrampilan keaksaraan yang dipelajari oleh anak- anak dalam bahasa ibu mereka. Singkatnya kedua bahasa itu bisa saling terpelihara jika lingkungan pendidikan mendukung anak-anak untuk menggunakan dua bahasa.
Dengan pendekatan bahasa ibu dalam proses pembelajaran, peluang untuk keberhasilan cukup tinggi karena yang dipelajari adalah ucapan, kata-kata yang setiap saat muncul di dalam kehidupan baik dalam proses sosial, ekonomi maupun proses budaya. Pemahaman makna yang dipelajari akan lebih mudah dimengerti karena kata-katanya sudah menjadi bagian tentang apa yang telah dikerjakan atau dilakukan dalam kehidupannya.
Manfaat yang didapatkan dari pembelajaran dengan menggunakan bahasa ibu (bahasa rimba) adalah:
a.Bisa menjadikan lebih cepat akrab dengan warga belajar

b.Bisa mempelajari dan memahami struktur bahasa warga belajar

c.Warga belajar dapat melestarikan adat mereka
Memotivasi pada warga belajar untuk menularkan kemampuan membaca, menulis, dan menghitung kepada generasi berikutnya.

Program Radio Siaran Pendidikan Nonformal

Kegiatan dan peristiwa pembelajaran, khususnya pendidikan nonformal perlu diusahakan melalui berbagai altrenatif program strategis yang bervariasi dan inovatif, sehingga dapat memberikan pelayanan secara maksimal kepada setiap warga masyarakat sesuai dengan kebutuhan, kemampuan, kecepatan dan ketepatan belajar setiap warga masyarakat. Hal ini dimaksudkan untuk mempercepat perluasan dan pemerataan belajar bagi seluruh lapisan masyarakat.
Salah satu alternatif pembelajaran pendidikan nonformal yang cukup strategis dan inovatif adalah saluran media. Melalui media pesan atau bahan belajar dapat dikomunikasikan ecara efektif untuk merangsang pikiran, sehingga terdorong untuk belajar secara optimal.
Radio sebagai salah satu media dengar, cukup efektif terutama bagi masyarakat di daerah pedesaan yang sulit menjangkaunya (terpencil / terisolir). Hal itu dapat dipahami karena masyarakat terpencil sulit dijangkau secara langsung melalui media cetak dan media visual (televisi), yang dapat diusahakan dan diimiliki masyarakat terpencil / terisolir adalah radio.
Untuk mengkomunikasikan pesan-pesan pendidikan nonformal secara luas kepada masyarakat, terutama yang hidup di daerah terpencil / terisolir, sangat diperlukan radio siaran pendidikan nonformal.

Program Lab-site Pendidikan Nonformal

Bila dikaitkan dengan kebutuhan belajar masyarakat pedesaan, maka perlu dirancang ujicoba model-model pembelajaran pendidikan nonformal yang relavan dengan kebutuhan masyarakat. Kegiatan ujicoba ini lebih intensif bila dilaksanakan pada suatu wilayah / lokasi yang dirancang khusus sebagai lab-site PNF. Selain itu pelatihan bagi para tenaga tutor dan pembelajaran warga masyarakat akan lebih berhasil bila diselenggarakan pada lab-site PNF. Dengan demikian sangat diperlukan suatu lab-site PNF yang akan berfungsi sebagai tempat praktek atau tempat rintisan program-program PNF dan tempat latihan bagi tutor-tutor dalam membelajarkan warga belajar.

e.Artikel 5

Anggaran non formal tahun 2008 naik


Jakarta: Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo, di Jakarta, Selasa [13/11] , mengatakan anggaran untuk pendidikan dasar non-formal terus meningkat dari tahun ke tahun, bahkan tahun 2008 pemerintah telah menyiapkan dana Rp2,5 triliun.

“Pada tahun 2005 anggaran sektor ini hanya Rp1,4 triliun, lalu naik di tahun 2006 jadi Rp2,1 triliun, dan tahun 2007 Rp2,4 triliun,” kata Bambang usai rapat di Kantor Menteri Koordinasi Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra).

Dalam kesempatan itu Mendiknas menjelaskan program-program pendidikan dasar non-formal bertujuan menjangkau kawasan terpencil yang banyak memiliki angka putus sekolah, dan diharapkan lewat program ini kemiskinan bisa dikurangi.

“Pendidikan dasar non-formal terdiri atas pendidikan keaksaraan dan pendidikan kesetaraan,” ujar Bambang dan menambahkan, “Keduanya mengajarkan baca-tulis dan pelatihan keterampilan kecakapan hidup serta bantuan sedikit dana modal usaha.”

Ia menegaskan, target utama program ini adalah mereka yang putus sekolah dan hidup di pedesaan terpencil atau sulit mendapat akses ke kota.

“Dengan dana Rp2,5 triliun, kami perkirakan program bisa dinikmati oleh sekitar 12 juta orang di seluruh Indonesia,” ujarnya.

Menurut data Departemen Pendidikan Nasional, program pendidikan non-formal telah mencatatkan keberhasilan yang signifikan dalam hal penurunan angka buta huruf dan pengangguran.

“Sekitar 80 persen peserta didik program keaksaraan berhasil membentuk Kelompok Belajar Usaha (KBU), dan mereka mandiri walaupun tetap butuh bantuan modal,” tambahnya.

Sejak program ini digulirkan pada tahun 2004 di enam kabupaten di Indonesia, lanjut Bambang, sekitar 82 persen peserta program sudah bisa mandiri dengan bidang usaha yang ditekuni.

Bank Dunia pun berniat memberikan hibah 143 juta dolar Amerika dan pinjaman lunak 100 juta dolar untuk mendukung program ini, ujar Mendiknas.

Angka buta aksara di Indonesia terus menunjukkan penurunan, pada Oktober 2007 tercatat tinggal 11 juta orang atau 7,2 persen populasi berusia di atas 15 tahun yang tidak bisa baca tulis. Angka itu jauh lebih rendah daripada data tahun 2004 yang 10,2 persen. “Keberhasilan program keaksaraan di Indonesia ini sangat diapresiasi UNESCO, bahkan dijadikan percontohan buat negara-negara lain,”.
f.artikel 6
Hadirnya Lembaga Pendidikan Non Formal, Suatu Upaya Membuka Ruang Kesadaran Baru

Carut-marut dunia pendidikan Indonesia, sungguh tampil sebagai suatu realitas yang sangat memprihatinkan. Mahalnya biaya pendidikan yang tidak serta merta dibarengi dengan peningkatan kualitas secara signifikan, tentu menimbulkan tanda tanya besar mengenai orientasi pendidikan yang sebenarnya sedang ingin dicapai.
Ironisnya, disaat beberapa negara tetangga terus berupaya keras melakukan peningkatan kualitas pada sektor pendidikan, banyak pihak di negara ini justru menempatkan pendidikan sebagai suatu komoditas yang memiliki nilai jual yang tinggi. Tak mengherankan bahwa ketika banyak pihak mengejar pendidikan dari sisi kuantitas, tentu menimbulkan berbagai macam konsekuensi logis seperti terabaikannya faktor kualitas pendidikan.
Parahnya lagi, belakangan kita juga telah disadarkan bahwa banyak lulusan pendidikan formal tidak memiliki spesifikasi keahlian yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Menanggapi kondisi yang seperti ini, Paulus Wisnu Anggoro, Direktur UAJY-Delcam Traning Center, menuturkan bahwa banyak dari kalangan industri yang menjadi kliennya mengeluhkan keterbatasan skill yang dimiliki oleh para lulusan perguruan tinggi, sehingga mau tidak mau seorang fresh graduate harus dilatih dari awal lagi. Ini pemborosan untuk pihak perusahaan sebagai user lulusan perguruan tinggi.
Dihadapkan pada kompleksnya situasi seperti yang dijabarkan diatas, kini banyak lembaga pendidikan non formal berupaya menempatkan diri sebagai alternatif solusi permasalahan diatas. Dengan tawaran sifat aplikatif dan biaya yang relatif lebih murah, banyak lembaga pendidikan non formal terbukti mampu menghasilkan lulusan yang sama kualitasnya bahkan lebih handal dari pada lulusan yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan formal dalam menghadapi persaingan.
Dalam situasi demikian, makna dibalik fenomena bermunculannya lembaga pendidikan non formal sebenarnya lebih ingin memberikan ruang kesadaran baru pada masyarakat, bahwa upaya pendidikan bukan sekedar kegiatan untuk meraih sertifikasi atau legalitas semata. Lebih daripada itu, upaya pendidikan sejatinya merupakan kegiatan penyerapan dan internalisasi ilmu, yang pada akhirnya diharapkan mampu membawa peningkatan taraf kehidupan bagi individu maupun masyarakat dalam berbagai aspek.

Fleksibilitas waktu

Keunggulan lain yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan non formal sebenarnya ada pada fleksibilitas waktu yang dimiliki. Selain bisa dijalankan secara manunggal, pendidikan non formal bisa dijalankan pula secara berdampingan dengan pendidikan formal. Tak mengherankan apabila belakangan lembaga pendidikan non formal tumbuh dengan pesat, berbanding lurus dengan tingginya minat masyarakat terhadap jenis pendidikan tersebut.
Tidak hanya itu, lembaga pendidikan non formal juga berpeluang untuk menghasilkan tenaga kerja yang siap pakai. Hal ini terbukti dari banyaknya lembaga pendidikan non formal seperti ADTC dan Macell Education Center (MEC) yang siap menyalurkan lulusan terbaiknya ke berbagai perusahaan rekanan. Ini merupakan tawaran yang patut dipertimbangkan ditengah sulitnya mencari lapangan pekerjaan seperti sekarang ini.
Antonius Sumarno selaku Branch Manager English Language Training International (ELTI) Yogyakarta, juga menuturkan bahwa kemunculan lembaga pendidikan non formal seperti lembaga pelatihan bahasa misalnya, sebenarnya tidak hanya berfungsi untuk menyiapkan diri dalam menghadapi persaingan di era globalisasi. Setidaknya dengan penguasaan bahasa asing, individu akan dimudahkan dalam melakukan penyerapan berbagai ilmu pengetahuan yang saat ini hampir semua referensi terbarunya hanya tersedia dalam bahasa asing. Selanjutnya keunggulan tersebut dapat pula memperluas peluang individu dalam menangkap berbagai kesempatan.
Hebatnya lagi, tersedia pula lembaga pendidikan non formal yang tidak hanya membekali lulusannya dengan ilmu, namun juga membekali sikap kemandirian yang mendorong terciptanya kesempatan untuk berwirausaha. Ini merupakan bukti nyata upaya memperkuat struktur riil perekonomian masyarakat yang belakangan makin terpuruk. Disaat banyak orang kebingungan mencari pekerjaan, banyak lulusan lembaga pendidikan non formal yang menciptakan lapangan pekerjaan.
Namun dibalik semua keunggulan dan variasi lembaga pendidikan non formal yang tersedia, kejelian masyarakat dalam memilih lembaga pendidikan non formal sebagai wahana untuk mengasah keterampilan dan menyiapkan diri dalam menghadapi persaingan penting untuk dipertahankan. Indikator yang paling sederhana adalah seberapa besar kesesuian bidang pelatihan yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan non formal dengan minat maupun bidang yang saat ini kita geluti.
Tujuannya, tentu tidak lain supaya keahlian yang didapatkan dari pelatihan lembaga pendidikan non formal dapat berjalan beriringan dan saling melengkapi minat dan dunia yang kita geluti, serta meningkatkan keunggulan kompetitif yang kita miliki. Lebih lanjut, kejelian dalam memilih juga berfungsi pula agar investasi finansial yang telah ditanamkan tidak terbuang percuma karena program yang sedang dijalani "terhenti di tengah jalan".
g.Artikel 7
Akreditasi Pendidikan Nonformal Tidak untuk Mematikan

Pendidikan nonformal mulai diakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Nonformal. Namun, akreditasi itu dibuat sesuai dengan kondisi dan tidak akan mematikan pertumbuhan pendidikan nonformal.
"Kami tidak ingin parameter yang terlalu mengekang tetapi tetap berkualitas. Memang agak menyimpang dari model akreditasi di pendidikan formal itu karena tidak ingin mematikan kegiatan pendidikan nonformal," ujar Sekretaris Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Non Formal (BAN PNF), Yessi Gusman, Selasa (31/3).
Telah ada instrumen akreditasi untuk 12 jenis program dan akan ditambahkan dua jenis program lagi tahun 2009. Satu lembaga nonformal dapat mempunyai lebih dari satu program. Sampai dengan tahun 2008 ada total 491 program dari sejumlah satuan pendidikan nonformal yang diakreditasi. Tahun 2009, direncanakan total 1.850 lembaga dan program akan diakreditasi.
Masyarakat dapat terbantu dengan adanya akreditasi tersebut dalam menentukan lembaga pendidikan nonformal yang ingin dimasuki. "Dengan akreditasi tersebut, lembaga telah memenuhi standar berdasarkan instrumen yang nanti ditetapkan," ujarnya.
Yessi dan 12 orang anggota BAN PNF diangkat pada Oktober 200 dan bertugas untuk membantu pendidikan nonformal yang cakupannya antara lain l embaga profesional, kursus, serta lembaga nonprofit seperti majlis taklim, taman bacaan masyarakat dan pusat kegiatan belajar masyarakat.
h.artikel 8
Saya sudah konsultasi dengan Ketua Komnas HAM dan menurut beliau, warga negara yang didiskriminasi karena memegang ijazah Paket C, dapat menuntut Perguruan Tinggi yang menolaknya,” ujar Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo di Jakarta, tahun lalu.
Upaya dari pendidikan nonformal untuk melayani kebutuhan pendidikan bagi masyarakat yang tak mampu dan tak terlayani di jalur pendidikan formal, nampaknya mendapat dukungan dari berbagai pihak. Setidaknya hal ini menjadi gambaran betapa wacana kepercayaan masyarakat terhadap kualitas pendidikan nonformal masih perlu diperkuat.
Selain mendukung terlunasinya program Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) 9 Tahun, pendidikan nonformal juga punya beberapa PR yang tak bisa dibilang sedikit. Selama tiga tahun belakangan ini, tercatat bahwa pendidikan nonformal telah melayani kebutuhan pendidikan bagi sekitar 13 juta anak usia dini (0 s/d 6 tahun) dari jumlah seluruhnya yang mencapai 28, 3 juta anak usia dini di Indonesia. Sedangkan untuk program pemberantasan buta aksara, tahun 2007 ditargetkan untuk mencapai 12, 2 juta dari jumlah sasaran sebanyak 15, 4 juta orang yang belum melek huruf. Sedianya, 2009 yang akan datang diniatkan agar Indonesia benar-benar bebas dari buta huruf.
Pemberantasan buta aksara ini diberikan dengan dukungan pengetahuan tambahan melalui program Keaksaraan Fungsional. Melalui program ini, para warga belajar, diberi wawasan mengenai pelajaran ketrampilan dengan bentuk produk berupa kerajinan-kerajinan tradisional. Direktur dari Direktorat Pendidikan Masyarakat, Dr. Sujarwo S, M. Sc juga menggaet 86 perguruan tinggi, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), dan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) untuk bekerja sama dalam program pemberantasan buta aksara.
Berikutnya, dari sisi lain juga terus digenjot penuntasan Wajar Dikdas lewat program penyelenggaraan pendidikan kesetaraan. Paket A yang setara dengan sekolah dasar (SD) telah ditargetkan tahun ini untuk mencapai APK sebanyak 0,11 juta anak.
Depdiknas dan Departemen Agama juga telah sepakat berbagi tugas untuk mengejar target ketuntasan wajib belajar 9 tahun terhadap anak usia SMP (13 -15 tahun) sebanyak 1.468.181orang yang belum tertampung. Dari sisi pendidikan nonformal, ditargetkan tahun ini untuk mencapai APK sebanyak 0,51 juta anak, atau sekitar 510 ribu anak yang ditargetkan diraih ke dalam layanan program kesetaran Paket B setara SMP.
Terakhir, untuk Paket C setara SMA ditargetkan sebanyak 35ribu anak usia 15 s/d 18 tahun yang bisa terlayani. Terhadap efek samping dari sistem ujian nasional, Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo juga telah menyatakan dukungan penuhnya bagi kualitas ijazah program kesetaraan Paket C. Menurutnya, semua anak SMA lulusan ujian paket C juga punya hak dan prioritas yang sama untuk punya kesempatan diterima di seluruh perguruan tinggi manapun di Indonesia.

Juli lalu, masih diterima keluhan masyarakat yang ditolak di beberapa perguruan tinggi karena hanya berijazah Paket C. Mendiknas menanggapi, bahwa masyarakat berhak menuntut perguruan tinggi yang menolak ijazah Paket C.
Ini hanya sekelumit gambaran, bahwa sesungguhnya pendidikan nonformal masih menjadi sisi yang belum banyak dipandang sebagai pendukung penuh layanan pendidikan bagi masyarakat.
Bukan Sekadar Wacana
Pendidikan nonformal masih jadi belantara yang belum banyak “tersentuh”. Pernyataan ini diungkap oleh Prof. Dr. Dewa Komang Tantra, salah satu anggota tim akademisi pendidikan nonformal. Di tengah belantara ini, sedang dirintis upaya-upaya standarisasi demi meningkatkan mutu dan eksistensi lulusan, pendidik dan tenaga pendidik, dan lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan nonformal, di tengah masyarakat luas. Eksistensi para pendidik pendidikan nonformal mulai dinilai melalui berbagai standar. Untuk jaminan kompetensi tenaga kerja, dipegang oleh BNSP.
Kerja-kerja BNSP sebagai lembaga independen, berkewajiban memberikan sertifikasi kompetensi terhadap tenaga kerja yang telah lulus pada level-level tertentu. Kompetensi seorang lulusannya, ditandai oleh selembar surat sertifikat dengan masa berlaku dalam kurun waktu tertentu. Standarisasi lainnya juga melibatkan BSNP. Mengutip pidato paparan Dr. Suharsono MM., M.Pd di sebuah rapat koordinasi PTK-PNF Februari lalu, dinyatakan bahwa hendaknya para pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan nonformal adalah orang-orang yang punya kompetensi dan juga berpendidikan.
Sebagian besar dari para PTK-PNF juga berharap memperoleh kesejahteraan melalui pengangkatan CPNS. Di dalamnya terdapat aturan kualifikasi PNS yang mengharuskan para calonnya mengenyam tingkat pendidikan tertentu. “Yang perlu diingat adalah bahwa kompetensi dan kualifikasi sesungguhnya tak diukur dari ijazah sarjana,” tegas Dewa Komang. Bagaimana pun, pemerintah melalui Direktorat PTK-PNF telah memberi perhatiannya dalam bentuk program beasiswa rintisan gelar untuk jenjang S1, S2, dan S3. Bekerja sama dengan 17 perguruan tinggi negeri se-Indonesia, antara lain Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Universitas Pendidikan Indonesia, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Mulawarman, Universitas Lambung Mangkurat, Universitas Negeri Gorontalo, dan Universitas Cendrawasih. Jurusan-jurusan yang disediakan, mayoritas jurusan Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, Matematika, dan jurusan Pendidikan Luar Sekolah. Untuk jurusan pendidikan anak usia dini, hanya ada di UNJ. Sejauh ini, program beasiswa rintisan gelar untuk memenuhi kebutuhan belantara pendidikan nonformal yang di dalamnya terdapat sekitar 30.000 lembaga kursus, dan tak kurang dari 106 jenis pendidikan keterampilan, tampaknya masih jauh dari sempurna.
Namun tetap diharapkan, tahun 2007 program ini dapat mencapai sasaran target sebanyak 231 orang PTK-PNF (untuk jenjang S1). Standarisasi lainnya sedang dirintis melalui peningkatan kualitas Training Of Trainer (TOT) dan diklat-diklat PTK-PNF. Dalam hal ini, BAN PNF (Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Nonformal) terlibat didalamnya sebagai badan pemberi akreditasi di level lembaga-lembaga dan program-program pendidikan nonformal. Termasuk beberapa komponen didalamnya, yaitu kurikulum dan pembelajarannya, peserta diklat, fasilitator diklat, penyelenggara diklat, sarana dan prasarana diklat, serta pembiayaan diklat.
“Untuk akreditasi ini, BAN PNF mendapatkan sumber referensi standarisasi dari beberapa sumber: BNSP, BSNP, dan Depnakertrans. Semuanya kita sinergikan, tanpa menghilangkan karakter pendidikan nonformal yang seharusnya tetap dipertahankan,” ungkap Dewa Komang yang juga menjabat sebagai Ketua BAN PNF.
Mutu Ujung Tombak

“Direktorat Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Nonformal adalah satu-satunya direktorat yang berada dibawah naungan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan yang berani melaksanakan ISO 9001:2000 dalam rangka meningkatkan mutu pelayanannya,” papar Dr. Fasli Jalal PhD, Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, pada acara launching ISO 9001:2000 September 2006 lalu.
Penghargaan ini, untuk keunggulan pelaksanaan dan manajemen program Direktorat PTK-PNF. Pelaksanaan ISO 9001:2000 adalah yang pertama kalinya dilakukan di lingkungan Direktorat Departemen Pendidikan Nasional, sehingga nantinya Dierktorat PTK-PNF yang melaksanakan ISO 9001:2000 diharapkan dapat memberikan pelayanan yang terbaik dan menjadi role model untuk penerapan ISO pada direktorat-direktorat lainnya.
Peristiwa ini menjadi catatan penting bagi dunia pendidikan nonformal di Indonesia. “Setelah kami mendapatkan penghargaan ini, kami tidak pernah berhenti perbaiki kualitas program. Karena bagaimana pun, para pendidik dan tenaga pendidik pendidikan nonformal ini, adalah ujung tombak. Jadi, tetap harus ditingkatkan kompetensi dan kualifikasinya,” tegas Erman Syamsuddin, S.H, M. Pd, Direktorat Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Nonformal (PTK-PNF) pada acara forum ilmiah tim akademisi PTK PNF bulan Agustus lalu. Tercatat, sepanjang tahun 2003 s/d 2007, telah 397 orang tenaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan PNF yang mendapatkan beasiswa rintisan gelar program sarjana (S1), paska sarjana (S2), dan program doktoral (S3).

Pendidikan Sepanjang Hayat

Pada bulan Mei 2007 lalu, telah dilakukan penandatanganan pengubahan nama dari Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah menjadi Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal. Keduanya memang sama-sama berada di luar jalur pendidikan formal. Bisa dipastikan akan ada banyak paradigma baru yang muncul belakangan. Penguatan pendidikan di lingkungan keluarga, kini mulai diperhitungkan sebagai potensi yang mendukung kelancaran pendidikan formal.
Berkenaan hal tersebut, Erman Syamsuddin menyatakan pendapatnya, “Dengan bergantinya nama menjadi PNF-I atau pendidikan nonformal dan informal, ini berarti sudah semakin sesuai dengan isi Undang-Undang Sisdiknas Tahun 2003 yang menyatakan bahwa pendidikan itu ditempuh melalui tiga jalur, yaitu formal, nonformal, dan informal.” Ia juga menyatakan bahwa ada kemungkinan besar, akan dilakukan penguatan-penguatan terhadap porsi pendidikan informal. Penguatan di sisi pendidikan informal, yang dimaksud adalah pendidikan di lingkungan keluarga. “Di sana nanti akan dibentuk pemahaman bahwa pendidikan di lingkungan keluarga ini berjalan dan berkembang sesuai dengan dinamika masyarakat. Kami mungkin juga akan siapkan beberapa hal untuk menuju penguatan pendidikan informal ini. Namun kita tidak bisa memandangnya sebagai hitam dan putih saja.
i.artikel 9
Kian Berat Tantangan Pendidikan Non Formal
Pendidikan Nonformal mempunyai tantangan yang makin berat. Namun posisinya sangat strategis dalam membantu menyelesaikan masalah masyarakat menuntut inovasi untuk terus mengembangkannya. Dinamika kehidupan dan kebutuhan masyarakat terus berkembang. Teknologi, informasi dan komunikasi sebagai faktor yang mempercepat akselerasi pembangunan tidak dapat di bendung. Mobilitas barang dan orang makin cepat, orientasi kehidupan masyarakat memasuki fase knowlegde based economic yang sangat mendasarkan pada kompentensi dan inovasi atas produk barang dan jasa. Untuk itu suka atau tidak layanan Pendidikan Nonformal harus mengikuti dinamika tersebut, yang ditunjang nilai profesionalisme. Perubahan nomentkalur pendidikan luar sekolah menjadi pendidikan nonformal seperti amanah UU sistem Pendidikan Nasional No.20/03, merupakan langkah awal untuk meletakan pendidikan nonformal menjadi bagian penting dalam pemberdayaan masyarakat. PNF lebih mempunyai makna sebagai salah satu jalur pendidikan yang dapat dipilih oleh masyarakat, selain jalur pendidikan formal. PLS tentu mempunyai makna yang lebih sempit, dan mempunyai citra berbeda dengan pendidikan sekolah. Padahal layanan pendidikan yang diberikan jauh lebih memberikan keterampilan, kecakapan dan multi makna yang mampu meningkatkan kesejahteraan hidup peserta didiknya. PNF dengan sifat pembelajaran yang luwes, fleksibel, berorientasi pada kebutuhan pasar/masyarakat dan bertumpu pada kecakapan hidup mempunyai kemampuan untuk menembus seluruh lapisan masyarakat. Ini sesuai dengan motto PNF, “menjangkau yang belum terlayani”. Di era baru, semangat baru dengan nama Pendidikan Nonformal (PNF), harus dibangun sistem nilai yang mengacu pada paradigma pembangunan PNF sekarang dan mendatang. Nilai-nilai merupakan konstruksi idiologi yang menjadi acuan pembenaran atas sikap dan perilaku dalam menjalank an fungsi pelayanan pendidikan. Sebagai konstruksi idologi, nilai-nilai yang dibangun dalam meningkatkan kualitas layanan pendidikan nonformal untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas dengan kompentensi ungul dibangun oleh seluruh sinergi positif setiap elemen pendidikan nonformal. Baik oleh pemerintah, masyarakat, dianamika pertumbuhan sosial, ekonomi, politik, teknologi dan informasi yang melingkupi pelaksanaan pembangunan pendidikan nonformal. Dalam konteks pendidikan nonformal, nilai-nilai seperti pemihakan pada yang lemah atau yang miskin (propoor), terbelakang dan terpencil, prinsip pemberdayaan masyarakat, prinsip partisipasi dari masyarakat (bottom-up participation), profesionalisme, dan prinsip pembelajar sepanjang hayat, serta berorientasi pada kebutuhan pasar/masyarakat adalah sebagaian dari nilai penting yang harus dipahami oleh para pelaku/pengelola. Komitmen atas nilaianilai tersebut dapat diuji dengan cara pandang, cara berpikir, dan perilaku yang pada tataran pengambil keputusan dapat dilihat pada konsistensi kebijakan dan dasar penentuan kebijakan. Pada tataran pelaksanaan dapat dilihat pada kesunguhan dan konsistensi sikap dan gerak langkahnya dalam mengimplementasikan kebijakan-kebijakan. Nilai yang menganut pemihakan pada yang lemah atau miskin (pro-poo) harus diterjemahkan antara lain melalui unsurunsur alokasi anggaran sasaran peserta didik, dan sasaran wilayah. Nilai yang menganut prinsip pemberdayaan masyarakat diterjemahkan melalui intensitas dan kualitas penyelenggaraan pelayanan pendidikan nonformal oleh masyarakat. Nilai yang menganut prinsip partisipasi diterjemahkan melalui kontribusi atau peran serta masyarakat dalam pemikiran dan aksi untuk penyusunan dan pelaksanaan program-program pendidikan nonformal. Nilai yang menganut profesionalisme harus diterjemahkan melalui sikap-sikap dan perilaku, antara lain menjunjung tinggi kejujuran, kedisiplinan, konsistensi, tanggung jawab, daya juang, produktifitas, dan kompetensi. Sedangkan nilai yang menganut prinsippembelajar sepanjang hayat dimanifestasikan dengan keinginannya yang kuat untuk ter us belajar guna meningkatkan kemampuan dan kapasitasnya atau melakukan perubahan. Dalam menanggapi dinamika perubahan para pelaku/pengelola pendidikan nonformal juga harus mampu mengelola cara pandang untuk selalu dinamis sehingga mampu mengambil sikap positif dalam menghadapi perubahan. Paradigma yang telah usang, akan menjerat para pelaku/pengelola pada sikap dan perilaku konservatif dan cenderung statis. Dalam fungsinya sebagai pengganti, penambah dan pelengkap pendidikan formal misalnya, para pelaku/pengelola pendidikan nonformal harus mampu mengkonstruksikan paradigma bahwa pendidikan nonformal bukanlah pendidikan kelas dua. Pasalnya, dengan fleksibilitasnya, pendidikan nonformal bahkan dapat menjadi pendidikan alternatif yang menawarkan solusi inovatif untuk kemajuan dunia pendidikan. Sebagai solusi atas permasalahan yang dihadapi masyarakat terutama mengatasi pengangguran dan menentaskan kemiskinan, maka pendidikan nonformal banyak mengembangkan pendidikan kecakapan hidup yag berbasis keunggulan desa, kota dan luar negeri. Kecakapan hidup merupakan konsepsi yang bermaksud memberi kepada seseorang bekal pengetahuan, keterampilan dan kecakapan fungsional berupa kecakapan pribadi, sosial, akademik dan vokasional secara praktis, ditambah dengan peningkatan kemampuan kewira usahaan serta nilai professional. Pada akhirnya seseorang mampu bekerja dan/atau berusaha mandiri dengan memanfaatkan potensi dan peluang lingkungannya untuk meningkatkan mutu kehidupannya. Pendidikan kecakapan hidup mempunyai spektrum luas baik subjek maupun objeknya. Untuk itu pembatasan kelompok sasaran peserta program untuk masyarakat miskin, buta aksara, tidak sekolah, putus sekolah dan antarjenjang pendidikan dan masyarakat marginal lain dilakukan untuk memfokuskan hasil dari peserta program yaitu,
(1) memberikan keterampilan bekerja; (2) mendorong peserta berusaha mandiri. Tujuan akhir dari pendidikan kecakapan hidup tersebut adalah untuk meningkatkan pendapatan, kesejahteraaan dan produktifitas hidup masyarakat marginal, dan ini sebagai kontribusi Pendidikan Nonformal dalam menyelesaikan masalah masyarakat. Luasnya cakupan layanan pendidikan nonformal tidak sebatas penduduk dewasa, penduduk usia dini, umur 2-4 tahun yang masuk dalam case golden ace, melejitkan kecerdasan anak usia dini untuk tumbuh kembang dan kesiapan belajar kejenjang pendidikan lebih lanjut. Pengembangan model pembelajaran PAUD yang kreatif, menyenangkan dan mencerdaskan sesuai dengan perkembangan kemampuan monotorik halus dan kasarnya ditunjang oleh perawatan kesehatan anak secara cerdas dan sehat. Paradigma baru pembangunan pendidikan nonformal di era global, harus ditangkap oleh perencana dan pengambil kebijakan serta seluruh satuan pendidikan nonformal dengan mengembangkan program literasi komputer untuk mendukung program literasi. Dalam peran teks inilah, pengembangan program literasi komputer Internasional Computer Driving Licencce (ICDL) dengan pilihan strategis. Dewasa ini komputer sudah umum dimanfaatkan mulai dari pekerjaan yang sederhana seperti pengetikan hingga yang cukup rumit seperti pengelolaan database desain dan rancang bangun, atu aplikasi multimedia di internet. Selama ini kemudahan membuat table-tabel dan kalkulasi dengan aplikasi spreadsbeet seperti Exel dari Microsoft, termasuk juga dapat menyimpan, mengolah, dan memelihara data atau arsip (filing) yang lebih mudah dan efisien dengan aplikasi database seperti Microsof Excel dan MS Access. Kemudian dapat menyusun dan manayangkan presentasi secara mudah, cepat, dan indah, dengan aplikasi seperti MS Power Point, dan mampu mengikuti berita (lokal, nasional, internasional) secara realtime, mencari dan mendapatkan informasi dengan mudah, melakukan komunikasi secara cepat dan murah melalui internet. Komputer sudah tampil sebagai penyokong utama terjadinya transformasi budaya. Di mana penggunaannya sudah menjadi semacam “way of life” baik di lingkungan kerja maupun aktivitas masyarakat lain. Dalam situasi dan kondisi seperti itu, computer literacy menjadi salah satu isu di kalangan pendidikan dan harus menggunakan secara untuk mendekatkan, mensepahamkan, dan merelevankan dunia pendidikan dengan dunia nyata masyarakat, termasuk dunia industri atau dunia kerja. Lulusan sekolah atau pendidikan nonformal yang menyadang kualifikasi computer literate akan lebih mampu dan cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja. Ia juga berpotensi cepat mampu mengembangkan kapasitas dirinya. Apalagi kalau karena sumber informasi, pengetahuan, dan keterampilan (skills) sudah banyak dapat diperoleh melalui media komputer atau cara-cara yang computerized. Merancang pendidikan nonformal ke depan, Direktorat Pendidikan Nonformal (Ditjen PLS) mengembangakan computer literacy sebagai salah satu indikator mutu/relevansi dalam pendidikan kecakapan hidup bidang aplikasi teknologi, yang dalam hal ini Teknologi Informasi dan Komunikasi (komputer). Komputer merupakan produk teknologi yang sudah lazim dimanfaatkan oleh banyak kalangan untuk mempermudah, meningkatkan produktifitas atau pekerjaan, sehingga kemampuan memahami dan menguasai penggunaan komputer, akan makin meningkatkan kapasitas peserta didik serta memperluas peluang mereka untuk mengakses kesempatan modern.
j.artikel 10
Ibu Negara Harap Pendidikan Nonformal Dapat Atasi Pengangguran
Ibu Ani Yudhoyono menilai pendidikan nonformal dapat turut mengatasi masalah pengangguran di Indonesia.

Hal itu dikemukakan oleh Ibu Negara dalam pidato sambutannya dalam acara Peresmian Pembukaan Rapat Kerja Nasional Himpunan Seluruh Pendidik dan Penguji Indonesia Pendidikan Non Formal (HISPPI PNF) di Istana Negara Jakarta, Jumat.
"Tenaga handal yang dicetak oleh pendidikan nonformal tentu dapat ikut mengatasi masalah pengangguran di Indonesia," katanya.
Menurut Ani Yudhoyono , pendidikan nonformal dapat mengajarkan generasi muda dengan pendidikan atau keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan pasar.
"Seperti kita tahu banyak (lulusan, red) hasil lembaga pendidikan formal yang masih menganggur sebagai bukti adanya kesenjangan antara kualitas lulusan dengan kualifikasi kebutuhan pekerja," katanya.
Oleh karena itu, lanjut Ibu Negara, diperlukan peningkatan kualitas tenaga pendidikan non formal agar lulusan yang diperoleh dari pendidikan nonformal dapat makin handal.
"Dengan peningkatan mutu, kualitas pendidikan dan sertifikasi profesi sehingga di masa depan pendidikan non formal dapat bersaing," ujarnya.
Sementara itu Menteri Pendidikan Nasional Bambang Soedibyo mengatakan pendidikan nonformal adalah solusi bagi anak-anak di seluruh Indonesia yang secara geografis dan sosiologis tidak terjangkau oleh pendidikan formal.
"Misal anak-anak di lokasi yang tidak terjangkau secara geografis atau tidak mampu secara ekonomi, bahkan ketika pendidikan telah digratiskan," jelasnya.
Pendidikan formal terdiri dari empat jenis yaitu program pendidikan usia dini selain TK, pemberantasan buta aksara, program paket A untuk setara SD, paket B untuk setara SMP dan paket C untuk setara SMU serta pendidikan kecakapan hidup.
Sementara itu, Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat HISPPI PNF Nasrullah Yusuf mengatakan rapat kerja nasional itu digelar 28 Februari hingga 1 Maret dan diikuti 300 orang.
HISPPI PNF dibentuk pada 1986 dan beranggotakan 113 ribu orang dari seluruh Indonesia.
Pada kesempatan itu Ibu Negara dengan didampingi para istri Menteri Kabinet Indonesia Bersatu juga melakukan dialog dengan para peserta.
k.artikel 11
Pemerintah Kurang Peduli Pendidikan Non Formal
Pengamat pendidikan, Darmaningtyas mengatakan, Jumat (3/4), pemerintah sejauh ini masih lebih memfasilitasi pendidikan formal. Padahal, kenyataannya pendidikan formal belum sepenuhnya mampu menyiapkan tenaga terampil. Tenaga terampil justru banyak disiapkan oleh pendidikan nonformal, seperti kursus.
Seperti diberitakan sebelumnya, pemerintah baru menyusun regulasi mengenai kursus. Salah atu yang direncanakan akan diatur ialah pembatasan wilayah operasional kursus berskala internasional hanya sampai ibukota provinsi.
Di tengah kondisi tersebut, menurut Darmaningtyas, pemerintah seharusnya tidak hanya bersifat mengawasi, tetapi lebih banyak lagi memfasilitasi. "Kalau ada lembaga pendidikan lokal yang tumbuh, perlu dibantu fasilitasnya, perizinan dipermudah, dan diba ntu berjejaring untuk menyalurkan lulusannya. Jadi, iklimnya mendukung," ujarnya.
Departemen Pendidikan Nasional perlu pula bersinergi dengan sektor lain, seperti Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta koperasi.
"Departemen Pendidikan Nasional , misalnya, bisa menyusun kurikulum. Koperasi menyalurkan produk-produk karya peserta kursus. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi mengurusi ketenagaan seperti soal sertifikasi," ujarnya.
Kualitas sebuah lembaga kursus sebetulnya yang menilai ma syarakat. Kursus yang berkualitas pasti diminati masyarakat. Jika kualitas kursus di dalam negeri sudah berkualitas, akan lebih baik. Pada dasarnya, masyarakat akan tetap keluar uang untuk memeroleh pendidikan.
"Kalau yang kian dominan itu warala ba asing, ada modal yang akan mengalir ke luar. Biaya waralaba itu dibayarkan ke luar negeri," ujarnya.
L.artikel 12
Peranan Pendidikan Nonformal Memberdayakan Ekolem
krisis keuangan global, berdampak ke berbagai sektor.
Beberapa perusahaan berskala nasional telah siap-siap untuk mem-PHK (pemutusan hubungan kerja) karyawannya. Bahkan perusahaan berskala internasional seperti GM (General Motor) telah pula mengajukan pemohonan bangkrut.
Indonesia mau tidak mau harus menerima dampak krisis yang penanggulangannya harus secara bersama-sama. Pada kesempatan ini saya menawarkan agar peranan pendidikan nonformal didayagunakan untuk mengatasi dampak krisis pada masyarakat ekolem.
Menurut UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) pendidikan dibagi ke dalam tiga katagori: informal adalah pendidikan di rumah tangga; formal merupakan pendidikan yang berjenjang dari SD hingga perguruan tinggi; sedangkan nonformal adalah pendidikan luar sekolah seperti life skill. Sebagai sebuah sistem, pendidikan informal dan nonformal termasuk dalam katagori Pendidikan Luar Sekolah (PLS).
Hak memperoleh pendidikan tertera di dalam Batang Tubuh UUD 1945 (Pasal 31); salah satu hak warga negara yakni mendapatkan pendidikan atau pengajaran. Sebagai hak, negara (melalui pemerintah) telah berupaya mewujudkannya.
Bangsa yang terdiri dari lebih 200 juta jiwa lebih ini sesungguhnya merupakan komunitas yang begitu majemuk (heterogen) dengan tingkat kebutuhan yang majemuk pula. Artinya, tidak semua orang di Indonesia ini bercita-cita ataupun mampu meraih cita-cita sebagai sarjana: S1, S2, S3 dan lainnnya.
Berbagai kemungkinan dapat menyebabkan peserta didik tak dapat melanjutkan pendidikan formal ke jenjang yang lebih tinggi. Ada yang memang karena ketidakmampuan orangtua - terutama saat krisis keuangan global saat ini, ada karena bencana alam, dan lainnya. Justru itu, program pendidikan luar sekolah (PLS) yang beorirentasi life skill seperti bidang komputer, jahit-menjahit, montir, bahasa Inggris serta lainnya sangat besar manfaatnya buat kehidupan.
Apalagi keahlian-keahlian seperti komputer dipadu dengan kemampuan berbahasa asing, seperti bahasa Inggris maka peluang kerja akan semakin terbuka lebar. Saat ini - sesuai dengan tuntutan globalisasi - mengandalkan ijazah saja (bahkan S1) tidaklah cukup tanpa dibarengi dengan kecapakan hidup (life skill) yang didapat dari lembaga pendidikan nonformal.
Program life skill sangat boleh jadi akan menjadikan pesertanya lebih punya kecakapan dibanding S1 jurusan informatika komputer, misalnya. Bayangkan, kalau tiga bulan terus-menerus belajar (praktik) tentang informatika komputer, rasanya wajarlah kalau pesertanya menguasai apa-apa yang diajarkan (dilatihkan). Dewasa ini, kegiatan life skill sangat cocok diterapkan. Mengapa tidak, jumlah angkatan kerja yang menganggur cukup krusial untuk jadi perhatian serius. Angkatan kerja yang menganggur di Indonesia melampaui standar ILO (International Labour Organization), 20 persen dari jumlah penduduk. Sementara, angka pengangguran di Indonesia sudah melampaui 28 persen. Ini berbahaya
Dengan upaya-upaya pelatihan life skill, niscaya angkatan kerja kita punya keterampilan yang siap pakai dan profesional, sehingga tidak menganggur atau menjadi tenaga kerja murahan. Pendidikan Nonformal
Pendidikan nonformal atau pendidikan luar sekolah (PLS) yang di dalamnya ada life skill merupakan usaha sadar untuk menyiapkan, meningkatkan dan mengembangkan sumber daya manusia agar memiliki pengetahuan, keterampilan, sikap dan daya saing. Dengan demikian akan mampu merebut peluang yang tumbuh dan berkembang serta mengoptimalkan sumber-sumber di lingkungan masing-masing.
Pendidikan nonformal merupakan suatu proses pendidikan yang sasaran, pendekatan, dan keluarannya berbeda dengan pendidikan sekolah, dan bukan merupakan pendidikan sekolah yang dilakukan di luar waktu sekolah.
Sejatinya, pendidikan nonformal sudah ada sebelum pendidikan persekolahan tumbuh di bumi ini. Pendidikan luar sekolah dimulai sejak manusia lahir di bumi dan berakhir setelah manusia masuk liang kubur. Sedangkan pendidikan sekolah dimulai setelah manusia memenuhi usia tertentu dan diakhiri pada usia tertentu.
Memang sebagai sebuah sistem, pendidikan nonformal merupakan sistem baru dalam dunia pendidikan kita, bentuk dan pelaksanaannya berbeda dengan sistem sekolah yang ada. Setiap berlangsungnya pendidikan nonformal terdapat komunikasi yang teratur dan terarah di luar sekolah antara tutor dan peserta didik. Dengan demikian seseorang memperoleh informasi, pengetahuan, latihan atau bimbingan sesuai dengan kebutuhan hidupnya.
Pendidikan nonformal bertugas untuk menyiapkan sumber daya manusia yang memiliki kebiasaan siap menghadapi perubahan sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang pesat yang dihasilkan oleh manusia-manusia terdidik juga. Sehingga dapat dikatakan bahawa PLS adalah suatu proses pendidikan masyarakat yang lebih rumit daripada pendidikan sekolah, walaupun kedua sistem ini dapat dan harus saling mendukug serta saling isi.
Pertama, sebagai Subtitusi dari pendidikan sekolah. Artinya, pendidikan nonformal dapat menggantikan pendidikan jalur sekolah yang karena beberapa hal masyarakat tidak dapat mengikuti pendidikan di jalur persekolahan (formal). Contohnya: Kejar Paket A, B dan C. Kedua, sebagai Suplemen pendidikan sekolah. Artinya, pendidikan nonformal dilaksanakan untuk menambah pengetahuan, keterampilan yang kurang didapatkan dari pendidikan sekolah. Contohnya: private, les, training. Ketika, sebagai Komplemen dari pendidikan sekolah. Artinya pendidikan nonformal dilaksanakan untuk melengkapi pengetahuan dan keterampilan yang kurang atau tidak dapat diperoleh di dalam pendidikan sekolah. Contohnya: kursus, bimbingan, try out, pelatihan (life skill) dan lain-lain.
Adanya pengorganisasian, program pendidikan, urutan materi, jangka waktu belajar pendek, tujuan pendidikan spesifik dan subyek/sasaran belajar. Sasaran pendidikan nonformal: untuk pemuda dan orang dewasa. Ciri-ciri Pendidikan Nonformal: Berkaitan dengan misi yang mendesak dan praktis, tempatnya di luar kelas, bukti memiliki ilmu pengetahuan adalah keterampilan, tidak terkait ketentuan yang ketat, peserta bersifat sukarela, merupakan aktivitas sampingan, biaya pendidikan lebih murah, persyaratan penerimaan peserta lebih mudah.
Tujuan pendidikan nonformal dengan life skill-nya, peserta didik dapat memiliki keahlian yang diperlukan oleh masyarakat. Pengertian life skill sebenarnya lebih luas dari sekadar untuk menghidupi diri sendiri.
Bergantung Daerah
Untuk mengadopsi life skill ke dalam kurikulum pendidikan, sekarang ini bergantung pada daerahnya. Misalnya, anak yang hidup di Medan, tentu akan berbeda life skill yang dibutuhkannya dengan mereka yang tinggal di Tanah Karo, misalnya. Di Medan yang lebih banyak terlibat dalam perekonomian modern, misalnya, perkebunan tidak banyak mendapatkan tempat.
Life Skill ini pun menjadi primadona bagi pendidikan nonformal, karena menjadi tujuan utama pendidikan nonformal untuk meningkatkan kecakapan hidup masyarakat
Jenis keterampilan yang diberikan kepada para peserta pelatihan, antara lain, jahit-menjahit dan bordir, tata boga, tata arias, sablon, nganyam bambu, sabut kelapa, nata de coco, pembuatan permen jahe, pembuatan tempe, bakso, pembuatan saos tomat, pembuatan sepatu, tas, pertukangan meubel, pembuatan con block, agrobisnis, mesin pendingin, otomotif, komputer dan lain-lain.
Melihat karakteristik, kegiatan dan ciri-ciri pendidikan nonformal/PLS sesungguhnya perannya cukup besar dalam memberdayakan ekolem. Seperti yang dilakukan di BT/BS BIMA , dengan program life skill komputer, bahasa Inggris dan lainnya, pesertanya tidak ada yang menganggur. Kalau tidak membuka usaha sendiri, mereka bekerja sebagai tenaga skill, bukan tenaga kerja rendahan.
Justru itu, pendidikan nonformal - apa pun bentuk dan sifatnya - sesungguhnya berperan besar dalam memberdayakan ekolem. Pemerintah pun menyadari bangsa yang terdiri dari lebih 200 juta jiwa lebih ini sesungguhnya merupakan komunitas yang begitu majemuk (heterogen) dengan tingkat kebutuhan yang majemuk pula. Makanya, dewasa ini pemerintah telah memobilisasi untuk tumbuhkembangnya pendidikan nonformal.
Jalur pendidikan nonformal yang merupakan salah satu alternatif (jalan) membangun SDM (sumber daya manusia) kian digalakkan. Terlebih ketika konsep education for all (pendidikan untuk semua) digaungkan, pendidikan nonformal demikian terasa urgensinya yang tidak saja melahirkan manusia siap pakai (tenaga kerja), pun pencinta ilmu pengetahuan (buku) seperti Andre Wongso, Ajip Rosidi dan banyak nama lainnya
m.Artikel 13
Berdayakan Pendidikan Nonformal


PENDIDIKAN nonformal menjadi salah satu upaya mendongkrak partisipasi anak berlatar keluarga miskin dalam dunia pendidikan. Pengamat pendidikan Undiksha Singaraja, Dr. I Gede Budasi, M.Ed menilai, perlunya sistem yang komperhensif, terpadu, dan berkesinambungan dalam proses pemberdayaan partisipasi pendidikan anak berlatar keluarga miskin di Buleleng khususnya. Ia menekankan pentingnya itu dilakukan melalui jalur pendidikan nonformal. “Realisasinya dapat diterapkan melalui kerja sama pemerintah dan swasta, baik yayasan pendidikan, lembaga pendidikan, maupun bursa tenaga kerja di dalam maupun luar negeri,” kata staf pengajar Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Bahasa dan Seni Undiksha Singaraja ini. Meski Singaraja sebagai kota pelajar, Budasi menilai, banyak anak tak mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Jalur pendidikan nonformal belum sepenuhnya dimanfaatkan masyarakat, meski kondisi perekonomian mereka kurang mampu. “Masyarakat masih malu menyekolahkan anak di lembaga pendidikan nonformal. Padahal, selain menghabiskan sedikit biaya, lulusannya juga dibekali keterampilan dalam waktu singkat. Kurikulumnya juga disesuaikan dengan apa yang diperlukan dunia usaha,” kata pria kelahiran tahun 1958 ini. Menjamurnya lembaga pendidikan nonformal di masyarakat dinilai bukan masalah serius. “Asal jangan memberikan janji palsu kepada masyarakat bahwa lulusannya siap kerja. Pemerintah perlu memberikan pembinaan rutin, termasuk menyasar agen kerja baik di dalam maupun luar negeri,” tambah Budasi. Lembaga pendidikan nonformal diharapkan melakukan langkah yang sama. Mereka dianjurkan membaca peluang pasar industri dan menyesuaikan dengan kurikulum yang berlaku. “Ini agar lulusannya dapat diterima dalam dunia industri,” ungkap alumnus UGM tahun 2007 itu. Studi banding penyelenggara pendidikan diharapkan melalui pendekatan need analysis dan SWOT analysis dioptimalkan. Pendidikan maupun keterampilan dirancang sesuai kebutuhan industri, bukan need of teacher. Akademisi dan praktisi bersinergi dengan pemerintah melalui job training. Out put-nya disalurkan ke dunia industri. “Namun, praktiknya, selama ini ada kelemahannya. Lulusannya terus dicetak tanpa melihat kebutuhan dunia industri. Punya ijazah komputer ternyata tak bisa diterima perusahaan. Banyak anak cerdas, tetapi sering gagal. Perlu komunikasi lintas budaya,” kata Budasi. Hal senada diungkap Drs. I Gusti Ngurah Agung, Dewan Pendidikan Kabupaten Buleleng. Ngurah Agung menilai, pendidikan nonformal strategis untuk memenuhi kebutuhan dunia industri. Kurikulum pendidikan nonformal fleksibel dan mengikuti perkembangan masyarakat. “Pendidikan nonformal juga merupakan upaya mengentaskan masyarakat buta aksara. Ini dilakukan melalui keterampilan, mengisi kekurangan dengan life skill,” katanya. Pemerintah diharapkan memberikan porsi perhatian berimbang, baik untuk pendidikan formal maupun nonformal. Perhatian tersebut berupa adanya bantuan biaya maupun tenaga pengajar guna meningkatkan kualitas pendidikan. Ngurah Agung juga menyoroti aktivitas sanggar kegiatan belajar (SKB) di Buleleng. SKB Buleleng cenderung mengarah pada pendidikan formal seperti sekolah menengah atas. “Perlu reorientasi agar disesuaikan dengan jati dirinya. Banyak peluang keterampilan yang dibutuhkan masyarakat,” katanya. —put
n.artikel 14
SUMENEP - Dinas Pendidikan Kabupaten Sumenep meresmikan perahu pembelajaran antar pulau pendidikan non formal Yayasan Nurul Ulum Desa Benmaleng Kecamatan Giliginteng, Rabu (08/04). Perahu tersebut merupakan bantuan pemerintah melalui Direktorat Peniddikan Non Formal pada Yayasan Nurul Ulum sebagai penyelenggara Kelompok Belajar (Kejar) Paket A, Paket B dan Paket C di Kecamatan setempat.
Seusai acara peresmian, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Sumenep, H. Moh. Rais, S.Pd, M.Si mengatakan, dari 102 penyelenggara pendidikan luar sekolah se Kabupaten Sumenep, hanya Yayasan Nurul Ulum yang menerima bantuan perahu pembelajaran antar pulau tahun anggaran 2008. Pihaknya menginginkan penerima bantuan benar-benar memafaatkan parahu tersebut untuk peningkatan pendidikan non formal bagi masyarakat yang berdomisili di daerah pulau-pulau Kecamatan Giligenting. "Dari segi pemanfaatan, Yayasan Nurul Ulum mengelola dengan baik perahu tersebut, sehingga benar-benar berfungsi sesuai peruntukannya dalam rangka meningakatkan kwalitas dan kwantitas pendidikan. Bahkan, perlu juga diperhatikan pemeliharaan peralatan diperahu itu dengan baik, agar bisa bertahan lama,” tegasnya. H. Moh. Rais menyatakan, pada tahu pelaksanaan program pendidikan non formal sesuai Permendiknas Nomor 7 tahun 2008 akan mengkompetisikan pengajuan proposal penyelenggara pendidikan non formal, sehingga yang menerima bantuan itu benar-benar penyelenggara pendidikan non formal yang memiliki program terbaik. Sementara itu, Penilik Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Kecamatan Giligenting, Abd. Syakur menuturkan, kucuran dana dari APBN sebesar Rp. 300 juta, pemanfatannya utuk pembuatan perahu Rp. 100 juta, pengadaan perlengkapan pembelajaran, seperti buku, laptop dan outo focus sebesar Rp. 100 juta, gaji tutor, biaya pengoperasian perahu dan pembelian alat tulis kantor sebesar Rp. 100 juta
o.artikel 15

Pentingnya pendidikan non formal

Belajar atau mengenyam pendidikan tidak hanya di dalam pendidika formal seperti di SMA SMP atau di SD saja. Namun pendidikan non formal seperti di Kelompok bermain (KB), Taman penitipan anak (TPA), Lembaga kursus, Sanggar pelatihan, Lembaga pelatihan, Kelompok belajar, Pusat kegiatan belajar masyarakat, Majelis taklim. Bahkan akhir akhir ini banyak mereka orang orang kaya yang malas untuk melakukan pendidikan secara formal memilik pendidikan nonformal di rumah masing masing.
Sebenarnya Pendidikan non formal ini sangat penting bagi mereka yang hanya melulu melakukan pendidikan formal saja. Masalah nya tidak selamanya pendidikan formal itu menunjang karir mereka, buktinya banyaknya Sarjana S1 dan S2 yang menganggur menunggu pekerjaan yang tidak kunjung singgah kepada mereka. Namun pendidikan non formal sering menjadi yang di kesampingkan, biasanya banyak mereka yang sejak kecil sampai besar hanya mengenyam pendidikan formal dan setelah lulus mereka hanya terdiam tidak bisa apa apa, setelah lama tidak ada perkembangan barulah mereka mencari pendidikan non formal seperti les, kursus menjahit, dan lain lain. Saat ini telah banyak hasil yang dicapai, seperti kursus-kursus keterampilan untuk meningkatkan kemampuan para ibu, terutama di bidang kecantikan, tata boga, jahit menjahit dan merangkai bunga.
Kadang banyak ilmu yang tidak di dapat dari pendidikan formal dan ilmu tesebut malah ada dalam pendidikan nonformal, seperti membaca tartil alquran, atau merias pengantin, kemampuan akting, dan lain lain.
Jadi jangan anggap pendidikan non formal itu tidak penting. Hal ini juga dapat mempersempit orang orang yang bergabung dalam Black community.

Tidak ada komentar: