Sabtu, 28 Februari 2009

c)Pendididikan tinggi

a.Artikel 1

KONTRADIKSI PENDIDIKAN TINGGI

Pasca didengungkannya konsep BHMN pada Perguruan Tinggi (PT) di beberapa PTN, pendidikan kian dihakimi masyarakat sebagai alat diskriminasi bangsa. Kenyataanya memang demikian. Tengoklah besaran tunggakan mahasiswa UNPAD yang mencapai 15 Milyar rupiah yang penyebabnya disinyalir akibat faktor ekonomi sehingga tak mampu membayar iuran pendidikan.
Fakta ini sedikit memberikan gambaran umum kondisi mahasiswa di pelbagai PT di Indonesia. Kondisi makro-ekonomi yang kian tidak bersahabat kian merajam kalangan menengah bawah dalam mengenyam pendidikan tinggi. Hal ini diperparah oleh pengurangan subsidi pemerintah pada pembiayaan pendidikan tinggi hingga birokrat kampus tak kuasa untuk menjadikan mahasiswa sebagai sumber utama pembiayaan PT.
Realitas ini kontradiktif dengan filosofis pendidikan itu sendiri. Berdasarkan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial Budaya (EKOSOB) tahun 1996, hak mengenyam pendidikan adalah hak paling mendasar yang harus dienyam oleh manusia. Dalam konteks ini, negara mutlak mengusahakannya.
Realitas pendidikan tinggi yang kian diskriminatif seakan menenggelamkan asa pedagogis kaum marginal. Mereka kian sulit untuk mengenyam pendidikan tinggi di PT berkualitas. Tengoklah komposisi mahasiswa UI saat ini yang disinyalir 90 persen-nya adalah mahasiswa dari Jabodetabek yang borju. Dengan realitas yang demikian, konsep education for all seolah menjauh dari ekspektasi semula.
Kaum “Minority Negasive”
Berdasarkan rapid assessment yang dilakukan secara keroyokan oleh Depdiknas, Bappenas dan World Bank menunjukkan hasil bahwa pada tahun 2015 hanya sekitar 25 persen masyarakat kita yang berhasil mengenyam pendidikan tinggi. Dari hasil ini setidaknya untuk beberapa tahun ke depan mahasiswa tetaplah kaum minoritas di negeri ini.
Sebagai minoritas, eksistensi mahasiswa justru menjadi penting dalam pergerakan bangsa ini. Tingkat intelektualitas yang tinggi dan semangat idealisme yang masih berkobar menjadi tumpuan masyarakat untuk menabuh genderang perubahan di negeri ini. Tak heran dalam beberapa penggalan sejarah, mahasiswa menjadi garda paling depan dalam melakukan revolusi rakyat. Dengan demikian, walaupun minoritas, mahasiswa kerap menegasikan diri dengan kemunafikan kaum mayoritas.
Dalam hal ini fungsi pendidikan sebagai the most powerfull things yang didengungkan Gayatri Spivak seolah mendapat pembuktian. Eksistensi mahasiswa adalah eksistensi kaum terdidik yang mampu menjadi penyeimbang kekuasaan dalam konteks kontrol sosial. Maka begitu vital peran mahasiswa dalam menjaga kuasa dari rongrongan absolutisme.
Kini, peran yang vital tersebut teancam tercerabut dari habitatnya akibat biaya perkuliahan dan beban hidup begitu hebat mendera sebagian besar mahasiswa di negeri ini. Disadari atau tidak, realitas ini kian menjauhkan mahasiswa dari fungsi sosial yang harus diembannya. Kini, mahasiswa justru banyak yang berjuang dalam aras berfikir pragmatis-individualistik demi menyelematkan hidupnya secara personal.
“Dipaksa” Menjadi Buruh
Diakui atau tidak, realitas pendidikan tinggi yang memberatkan ini membuat mahasiswa berusaha dalam ragam cara untuk menyiasatinya. Banyak yang lari untuk bekerja part-time atau berwirausaha secara mandiri. Pada satu sisi hal ini patut dibanggakan karena membuktikan kemandirian kita sebagai penggerak zaman.
Namun, pada sisi lain, realitas ini justru kerap membuat kita menjadi pragmatis. Kita menjadi tegoda hanya untuk memikirkan materi dan materi. Kuliah bahkan terbengkalai apalagi tanggungjawab kepada masyarakat. Kecenderungan seperti ini terbaca oleh Dudley Erskine Devline dari Colorado State University (1980). Dalam artikelnya berjudul “Bussiness and Education in America”, ia menyatakan bahwa mahasiswa-pekerja memiliki kecenderungan untuk terkosentrasi memikirkan uang. Parahnya, uang tersebut seringkali tidak dipakai untuk hal yang tidak semestinya, taruhlah untuk membeli kosmetik atau hura-hura.
Dengan demikian, tingginya biaya pendidikan tinggi di negeri ini setidaknya menimbulkan efek dalam 2 hal. Pertama, mengikis kesempatan kaum marginal dalam mengeyam pendidikan. Kedua, menumbuhkan sikap pragmatis-individualistik mahasiswa. Pendidikan pun kontradiktif dari tujuannya yaitu mencetak manusia yang tinggi secara intelektual dan juga memiliki kesadaran sosial yang tinggi atas nasib bangsanya.
Suatu kerugian besar jika ini terjadi kelak. Sampai para penentu kebijakan pendidikan tinggi sadar untuk melakukan reka ulang atas konsep PT beserta mekanisme pembiayaan pendidikan tinggi itu sendiri.

b.Artikel 2

TANTANGAN DAN TREN PENDIDIKAN TINGGI

Institusi pendidikan tinggi (universitas) tidak steril dari tuntutan dan perkembangan zaman. Kemampuan menyikapi tantangan dan tren yang dibawa oleh zaman akan sangat menentukan apakah sebuah universitas dapat tetap kompetitif atau kehilangan pasar. Tantangan dan tren inilah yang memaksa dan mengharuskan universitas untuk menerapkan logika korporasi, dengan mengedepankan prinsip-prinsip efisiensi pembiayaan, memperhitungkan setiap risiko (calculability), dan kemampuan untuk memprediksi tantangan dan tren ke depan (predictability). Dalam bahasa Kezar (2000), peran seorang rektor akan semakin menyerupai manajer perusahaan, dan manajemen universitas makin menitikberatkan pada akuntabilitas. Salah satu dampak dari perubahan ini adalah bergesernya fokus pendidikan dari sasaran utamanya, yaitu mahasiswa. Tuntutan masyarakat akan kualitas pendidikan tinggi yang bermutu dan murah pasti akan menyulitkan universitas dalam mendesain, baik program maupun kepastian lulusannya agar dapat diterima pasar kerja (Kovel-Jarboe, 2000).
Setiap universitas dapat dipastikan memiliki problem sosialnya sendiri. Pada saat bersamaan, dalam setiap masyarakat juga memiliki masalah dan isu-isu yang berkaitan dengan dunia universitas. Strategi yang mungkin akurat untuk mengatasi masalah-masalah tersebut sangat bergantung pada kondisi struktur dan kepemimpinan di tingkat lokal dan latar belakang kesejarahan masyarakat itu sendiri. Segenap potensi sumber daya universitas seyogianya digunakan untuk memperbarui, memvalidasi, dan memperluas wilayah keilmuan yang bersifat humanis dengan menggunakan metode-metode pengetahuan standar. Metode pengetahuan tentu saja hanya dapat ditransmisi dalam suatu tatanan masyarakat yang demokratis dan terbuka sebagai bentuk way of life. Pentingnya budaya demokratis yang bertanggung jawab di universitas adalah tuntutan lain dari kebutuhan dan perkembangan psikososial mahasiswa kita yang semakin sensitif terhadap semua jenis isu sosial dan politik (Dickinson, 1991). Otonomi dan tren pendidikan tinggi

Isu otonomi pendidikan sebenarnya sudah dimulai di Indonesia sejak masa Presiden Habibie. Meskipun isu otonomi dan kebebasan akademis dalam beberapa hal sangat kontroversial, dalam batas tertentu kita harus menganggapnya sebagai kebutuhan yang bisa fleksibel. Otonomi adalah hak bagi setiap institusi untuk memutuskan apa yang baik bagi sebuah institusi tanpa ada gangguan dari pihak luar. Konsep ini jelas datang dari semangat kebebasan akademis, ketika hak-hak akademis individu untuk mengekspresikan opini mereka terjamin.

Di dalam Magna Carta of European Universities yang ditandatangani pada 1988 oleh para rektor dari Universitas terbaik se-Eropa dikatakan bahwa universitas merupakan lembaga yang otonom di tengah-tengah masyarakat yang sangat beragam, baik secara geografis maupun budaya. Universitas adalah produsen utama hampir seluruh produk sosial, politik, dan budaya yang bersinggungan langsung dengan kehidupan masyarakat. Karena itu, keseluruhan proses belajar mengajar di universitas secara moral dan intelektual haruslah independen dan terlepas dari semua kepentingan politik dan kekuasaan. Kebebasan dalam menjalankan proses belajar mengajar dan melakukan riset secara terbuka merupakan pilihan strategis dan fundamental bagi universitas dalam rangka menjaga independensinya di tengah-tengah masyarakat. Karena itu, universitas harus secara konsisten dan konsekuen menjaga prinsip-prinsip otonomi seperti: (1) Hak untuk mempekerjakan dan memecat staf akademis yang melanggar etika dan tidak dapat mengembangkan kapasitas akademisnya, (2) hak untuk memutuskan apa dan bagaimana proses belajar mengajar harus dijalankan, (3) hak untuk menyeleksi mahasiswa dan mengevaluasi performance mereka secara mandiri dan bertanggung jawab, serta (4) hak untuk memilih topik-topik riset yang mereka inginkan tanpa harus takut akan intervensi pihak luar.

Di samping soal otonomi, beberapa isu penting soal bagaimana seharusnya sebuah universitas merespons perkembangan sosial budaya masyarakat juga harus diperhatikan. Isu tentang strategi kolaborasi yang harus dijalankan oleh universitas, strategi pendanaan, dan pentingnya memikirkan segmentasi yang bersinergi dengan bursa kerja merupakan keharusan yang perlu dipikirkan, direncanakan, dan dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan (Zusman, 1999).

Dalam rangka menarik minat pasar, pendidikan tinggi di Indonesia, mau tidak mau dan suka atau tidak suka, harus membuka program-program pelatihan, sertifikasi, serta kuliah jarak jauh yang dikelola dengan logika kolaboratif, yaitu ketersambungan dunia bisnis dan pendidikan. Networking atau jejaring adalah kata kunci yang harus dikembangkan secara terus-menerus oleh setiap universitas dalam rangka mencari pola partnership yang tepat antara universitas dan lembaga keuangan (bisnis, entertainer) dan lembaga riset. Selain itu, universitas diharapkan juga jeli dalam menjalin kolaborasi dengan sekolah menengah umum tertentu sebagai basis input-nya dan universitas lain terutama dalam rangka pemanfaatan sumber daya dan teknologi. Jika strategi kolaborasi ini berjalan, perencanaan pendidikan menjadi lebih mudah disosialisasikan ke tingkat masyarakat. Dengan demikian, pembukaan program-program baru yang berorientasi pada pasar atau kebutuhan masyarakat perlu dijajaki. Selain itu, dalam menjalankan strategi pendanaannya, lembaga pendidikan tinggi juga harus memperhatikan daya beli masyarakat.
Karena itu, riset tentang pembelanjaan dana publik di sektor pendidikan harus dilakukan. Belajar dari tren yang berkembang di Amerika Serikat, skema distribusi dana pendidikan diubah dari 'subsidi' menjadi 'pinjaman'. Perubahan ini sudah barang tentu merugikan masyarakat kurang mampu, yang enggan terbebani utang. Meski demikian, permintaan pinjaman mahasiswa meningkat secara signifikan, yang jumlahnya naik dari setengah menjadi tiga perempat dana pinjaman dalam anggaran pemerintah pusat. Adapun di tingkat negara bagian, alokasi anggaran pendidikan menunjukkan peningkatan. Sumbangan korporasi untuk universitas pun meningkat. Di samping itu, semakin banyak negara bagian yang mengikuti jejak California mengenalkan skema pinjaman yang lunak (Kovel-Jarboe, P 2000).

Strategi dan skema pendanaan yang berlaku saat ini di Amerika Serikat boleh jadi dapat menginspirasi lembaga pendidikan tinggi kita untuk melakukan kerja sama dengan perbankan dan pemerintah daerah dalam menggalang dana publik masuk ke sektor pendidikan tinggi. Ke depan, diharapkan ada riset mendalam yang secara spesifik melihat kemungkinan strategi pendanaan seperti ini bagi para mahasiswa kita di Indonesia.

Strategi ketiga adalah bagaimana lembaga pendidikan memetakan kemampuannya dalam melihat segmentasi pasar. Harus kita sadari bahwa 'peta sosial' universitas senantiasa berubah, baik dalam hal komposisi umur dan jenis kelamin, serta konfigurasi mayoritas-minoritas. Hal yang penting diperhatikan adalah meningkatnya jumlah 'mahasiswa dewasa'. Ketika perusahaan mengurangi program-program pelatihan, karyawan berpaling pada institusi akademis. Universitas-universitas dan lembaga pendidikan tinggi yang tanggap akan kebutuhan ini, yaitu yang mampu menjanjikan peningkatan kemampuan akademis dan keahlian khusus, baik melalui kelas reguler maupun kelas jarak jauh, menjadi lebih kompetitif.

Dengan kesadaran tentang the new student map, sesungguhnya kita menginginkan agar universitas di Indonesia dapat berperan lebih aktif dalam melihat kebutuhan tenaga profesional di segala bidang dengan kebutuhan dunia birokrasi dan usaha. Para pekerja yang ingin memperoleh ilmu dan meningkatkan profesionalitas mereka perlu diakomodasi oleh lembaga pendidikan seperti universitas dengan membuka program-program yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan secara bertanggung jawab.

Kesadaran tentang paradigma instruksional lembaga pendidikan kita juga tampaknya perlu digeser menjadi paradigma pembelajaran yang mengedepankan keberagaman model belajar dan multiple intelligences. Pada titik ini, peran dosen dan tenaga pengajar lainnya menjadi sangat penting. Karena itu, dosen dan tenaga akademis di setiap lembaga pendidikan tinggi dituntut untuk memiliki kemampuan, pengetahuan, dan keahlian dalam memutuskan bagaimana dapat membantu mahasiswa belajar secara maksimal. Perubahan paradigma pembelajaran ini juga membawa konsekuensi logis kepada universitas untuk melakukan program-program penyegaran dan pelatihan yang dapat memacu kreativitas pembelajaran (Kezar, 2000).

c.Artikel 3

INDUSTRI PENDIDIKAN TINGGI

Pengesahan Undang- Undang Badan Hukum Pendidikan memicu kontroversi di sebagian masyarakat akademia.

Mereka menolak dengan argumentasi logis-rasional, merujuk pada pengalaman PT BHMN (UI, UGM, IPB, ITB, USU, UPI). Para mahasiswa berdemonstrasi menentang Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) karena dianggap melegitimasi praktik komersialisasi pendidikan tinggi.

Industri pendidikan

Biaya pendidikan tinggi yang selama ini sudah amat mahal dikhawatirkan bertambah mahal karena pengelola perguruan tinggi—karena didorong motif ekonomi dan mengikuti hukum pasar—akan menjadikan pendidikan tinggi sebagai barang komersial, sama seperti barang dagangan lain dalam suatu transaksi perniagaan.

Lazimnya transaksi perniagaan, pertimbangan untung-rugi merupakan faktor penentu dalam pengelolaan perguruan tinggi. Jika pendidikan tinggi sudah menjadi barang komersial berharga mahal, sudah pasti hanya masyarakat kaya yang mampu menjangkaunya. Masyarakat miskin akan kian sulit mendapat akses ke layanan pendidikan tinggi karena keterbatasan kemampuan finansial.

Maka, hak dasar setiap warga negara untuk mendapat pendidikan bermutu sampai ke tertiary education menjadi kian sulit dipenuhi, terlebih karena sejauh ini kemampuan pemerintah dalam melindungi kelompok miskin melalui aneka instrumen kebijakan masih belum memadai.

Padahal, tiga isu besar yang bersifat eternal—affordability, accessibility, accountability—justru merupakan persoalan utama yang harus mendapat perhatian khusus dan harus ditangani serius oleh para perumus kebijakan dan pengelola perguruan tinggi (lihat Donald Heller, The States and Public Higher Education Policy, 2003).

Kehadiran UU BHP sejatinya hanya penegasan belaka atas kenyataan bahwa pendidikan tinggi di Indonesia telah berkembang menjadi industri. Di negara-negara maju, seperti AS, Kanada, Inggris, atau Australia, pendidikan tinggi memang merupakan lahan industri strategis yang menjadi bagian dari dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi negara bersangkutan.

Di negara-negara itu, industri pendidikan tinggi tumbuh pesat seperti industri jasa dan perdagangan yang lain. Lihat sentra- sentra industri pendidikan tinggi dunia yang sungguh memikat, seperti Boston, New York, California; Toronto, British Columbia; London, Manchester, Cambridge; atau Sydney, Melbourne, Canberra. Perkembangan industri pendidikan tinggi menuju komersialisasi pun tak terbendung, ditandai proses kapitalisasi ilmu pengetahuan terutama ketika pertumbuhan ekonomi digerakkan iptek—knowledge-and technology-driven economic growth.

Tiga motif

Komersialisasi pendidikan tinggi umumnya didorong tiga motif utama.

Pertama, hasrat mencari uang dan dukungan finansial serta keinginan menggali sumber-sumber pembiayaan alternatif, yang ditempuh melalui apa yang di kalangan universitas Amerika/ Eropa disebut an offer of generous research funding in exchange for exclusive patent licensing rights.

Kedua, peluang mengembangkan (baca: menjual) program pendidikan jarak jauh untuk memperoleh keuntungan finansial sebagaimana yang sudah lazim dilakukan di perguruan tinggi di Indonesia.

Ketiga, mendapatkan aneka kontrak yang menguntungkan dengan perusahaan/industri melalui pemberian dana, fasilitas, peralatan, bahkan seragam olahraga sebagai imbalan mendapatkan atlet-atlet bertalenta, yang mensyaratkan mereka mengenakan logo perusahaan pemasok dana bagi perguruan tinggi.

Bahaya

Namun, industri pendidikan tinggi yang mengarah ke komersialisasi ini mengandung bahaya bagi perguruan tinggi bersangkutan. Derek Bok dalam Universities in the Marketplace: The Commercialization of Higher Education (2005) mencatat sejumlah bahaya yang patut diwaspadai.

Pertama, bila godaan mencari keuntungan finansial melalui aneka kontrak dari perusahaan/ industri tak terkendali dan tak dikelola dengan baik, hal itu akan menggiring perguruan tinggi melupakan misi suci (sacred mission) yang harus diemban, yakni melahirkan insan-insan terdidik dan berkeahlian, yang menjadi basis bagi ikhtiar membangun masyarakat beradab dan pilar utama upaya pencapaian kemajuan bangsa.

Kedua, bila sekadar terobsesi oleh motif ekonomi semata, perguruan tinggi akan cenderung mengabaikan fungsi utama sebagai lembaga produsen ilmu pengetahuan, pelopor inovasi teknologi, serta pusat eksperimentasi dan observatorium bagi penemuan-penemuan baru. Padahal, peran hakiki perguruan tinggi adalah the center of knowledge inquiries and technology innovations, yang bukan saja penting untuk memperkuat institusi perguruan tinggi sendiri sebagai pusat keunggulan dan penelitian, tetapi juga akan memberi kontribusi pada ikhtiar membangun peradaban umat manusia.

Ketiga, konflik kepentingan antara dua hal—menggali sumber pembiayaan dan mengembangkan iptek melalui riset ilmiah— berpotensi mengorbankan core academic values karena perguruan tinggi cenderung berkompromi antara pilihan menjaga standar mutu program akademik dan tuntutan mendapatkan dukungan finansial dari perusahaan/industri.

Merujuk pada sejumlah kekhawatiran itu, kehadiran UU BHP bisa menjadi pedang bermata dua.

Pertama, memberi landasan hukum bagi universitas/institut untuk secara kreatif mencari alternatif sumber pembiayaan bagi penyelenggaraan pendidikan tinggi dan meningkatkan efisiensi/efektivitas manajemen perguruan tinggi guna meningkatkan kualitas program akademik.

Kedua, dapat memicu komersialisasi melalui aneka kontrak bermotif ekonomi dengan perusahaan/industri yang berpotensi menggerus fungsi esensial perguruan tinggi sebagai Maison des sciences de l’homme.

Untuk itu, kewaspadaan dan kehati-hatian dari semua stakeholder sangat diperlukan dalam melaksanakan UU BHP agar tidak memunculkan ekses negatif yang justru kontraproduktif bagi upaya memajukan perguruan tinggi di Indonesia.

Amich Alhumami Penekun Kajian Pendidikan; Berafiliasi dengan Direktorat Agama dan Pendidikan, Bappenas.

d.Artikel 4

Privatisasi Pendidikan Tinggi dan Implikasinya

Mahasiswa UI dan UNS menggelar aksi penolakan pemberlakuan uang pangkal (Kompas, 9 dan 10 Agustus 2004). Gejolak ini diperkirakan juga akan terjadi pada beberapa PTN terkemuka lainnya. Era otonomi pendidikan tinggi membawa implikasi hak dan kewajiban perguruan tinggi negeri dan swasta untuk mengatur pengelolaannya sendiri termasuk mencari sumber-sumber pendapatan untuk menghidupi diri. Konsekuensi logis dari otonomi kampus, saat ini perguruan tinggi seakan berlomba membuka program baru atau menjalankan strategi penjaringan mahasiswa baru untuk mendatangkan dana.
Perdebatan antara anti -otonomi dan pro-otonomi perguruan tinggi tidak akan berkesudahan dan mencapai titik temu. Kelompok yang menentang otonomi perguruan tinggi berpandangan negara harus bertanggung jawab atas pendidikan dan menanggung pembiayaan perguruan tinggi negeri. Mereka mengkhawatirkan privatisasi perguruan tinggi akan menutup akses bagi calon mahasiswa dari kalangan tidak mampu dan fenomena komersialisasi ini justru akan menurunkan komitmen dan mutu pendidikan tinggi. Bahwa negara sudah tidak mampu lagi membiayai pendidikan tinggi sungguh tidak masuk akal bagi kelompok ini mengingat kobocoran uang negara secara besar-besaran dalam berbagai kasus korupsi telah menempatkan negara ini sebagai yang terkorup di seluruh dunia. Selain itu, eksploitasi sumber-sumber daya yang melibatkan kekuatan asing dan kroni dari dalam negeri sendiri sudah menguras kekayaan bangsa ini. Gejala McDonaldisasi pendidikan tinggi di Indonesia dianggap sebagai bagian dari gerakan neo-liberalisme yang menjelma dalam kebijakan pasar bebas dan mendorong pemerintah untuk melakukan privatisasi berbagai aset pemerintah. Heru Nugroho dkk (McDonaldisasi Pendidikan Tinggi, 2002) menyoroti kontroversi otonomi perguruan tinggi di UGM dan menganggap kebijakan tersebut telah mengkhianati ideologi negara dan UUD 1945.

Sementara itu, kebijakan privatisasi pendidikan tinggi ini nampaknya akan terus dijalankan. Dua alasan yang sering dikemukakan adalah ketidak-mampuan pemerintah membiayai pendidikan tinggi dan kebutuhan untuk meningkatkan daya saing perguruan tinggi negeri. Terlepas dari alasannya, kebijakan otonomi perguruan tinggi membawa beberapa implikasi serius-baik positif maupun negatif--yang perlu diantisipasi dan dikaji secara obyektif.

Secara positif, dikotomi perguruan tinggi swasta dan negeri bisa mulai dihilangkan. Sebelum era otonomi perguruan tinggi, ada persaingan tidak seimbang antara PTN dan PTS. PTN terbiasa mendapat subsidi dari negara sedangkan PTS harus berjuang menggalang dana agar bisa bertahan padahal tidak semua mahasiswa yang masuk PTN perlu disubsidi dan sebaliknya tidak semua mahasiswa yang ditampung di PTS bisa menanggung sendiri biaya kuliah. Ditengarai kultur lama PTN sebagai lembaga yang dibiayai negara telah menimbulkan kurangnya efisiensi, etos kerja, semangat pelayanan publik, dan komitmen untuk bersaing dan meningkatkan mutu. Kultur "bekerja baik atau tidak gajinya sama kecilnya" dan fenomena "kenapa harus melayani mahasiswa karena toh bukan mereka yang membayar saya" memang sangat kentara di banyak PTN dibandingkan dengan PTS. Diharapkan otonomi perguruan tinggi bisa membawa angin segar dan memacu semangat untuk melayani mahasiswa dan publik dengan sebaik-baiknya.

Dibalik segala harapan yang terkandung dalam kebijakan otonomi, ada beberapa potensi konsekuensi yang perlu dipertimbangkan dan dicarikan jalan keluarnya. Para mahasiswa yang menentang pemberlakuan uang sumbangan masuk di UI mengkhawatirkan gejala elitisme di universitas tersebut. Kekhawatiran ini perlu diperhatikan dan tidak bisa dikesampingkan hanya dengan penghiburan adanya program subsidi silang dan beasiswa bagi mahasiswa miskin. Belum jelas apakah pemberlakuan uang sumbangan dan uang kuliah tinggi sudah disertai dengan kuota beasiswa yang memang sesuai dengan kondisi sosioekonomis calon mahasiswa. Di negara sekapitalis Amerika Serikat sekalipun, akses masyarakat terhadap pendidikan tinggi masih sangat diperhatikan. Walaupun perguruan tinggi tidak gratis, ada sistem penunjang yang memungkinkan mahasiswa dari berbagai kelas mengakses pendidikan sampai pada jenjang yang paling tinggi. Ada sangat banyak program beasiswa dengan berbagai kategori yang disediakan baik oleh pemerintah maupun swasta. Jika tidak berhasil mendapatkan bea siswa, ada program pinjaman lunak dan tanpa bunga bagi mahasiswa yang bisa dicicil setelah mereka lulus dan bekerja. Tanpa perhitungan kuota yang tepat dan sistem penunjang aksesibilitas, elitisme dalam pendidikan tinggi akan mengancam proses demokratisasi di Indonesia. Pendidikan yang diharapkan menjadi jembatan bagi pemerolehan akses ekonomi, politik, hukum, dan budaya secara lebih merata menjadi roboh.

Dengan kebijakan otonomi pengelolaan keuangan, perguruan tinggi berlomba-lomba menggalakan strategi dan program yang diperkirakan akan mendatangkan banyak dana. Di sisi lain, perguruan tinggi juga dengan mudahnya akan menutup unit atau program yang dianggap merugikan. Otonomi perguruan tinggi biasanya dilaksanakan secara berjenjang. Fakultas (atau juga program studi) juga diberi hak dan kewajiban menggalang dan mengelola sendiri keuangannya. Konsekuensi logis dari kebijakan ini adalah penutupan program-program studi ilmu-ilmu murni seperti filsafat, sejarah, dan program studi yang dianggap tidak bisa membekali mahasiswa secara langsung untuk mencari nafkah seperti arkeologi, antropologi, sosiologi, sastra Jawa dan sebagainya. Selanjutnya perguruan-perguruan tinggi di seluruh Indonesia akan dipenuhi dengan program-program ekonomi, bisnis, dan teknik saja. Tentu saja hal ini akan mengancam proses terbangunnya wacana ilmu pengetahuan secara kolektif dan pencerahan pemikiran dalam masyarakat.

Selain rasionalitas penutupan beberapa program studi, beberapa unit atau pusat yang dianggap tidak berguna terancam tutup dengan alasan efisiensi keuangan. Kegiatan-kegiatan penelitian yang menghubungkan universitas dengan perkembangan ilmu pengetahuan serta program pengabdian masyarakat akan terancam keberadaannya jika tidak bisa menggalang dana sendiri dari sumber di luar universitas. Sebagai gantinya, program-program non gelar dan ekstensi makin menjamur karena banyak peminatnya. Maka universitas akan mengalami proses degradasi dari pusat komunitas ilmiah dan pengembangan masyarakat menjadi pusat perbelanjaan pengetahuan dan ketrampilan serta kursus-kursus.

Untuk menunjang kebijakan otonomi perguruan tinggi, meritokrasi dilaksanakan dengan menghargai dosen dan karyawan sesuai dengan kinerja dan prestasi nyata, bukan berdasarkan senioritas dan masa kerja. Meritokrasi memang bertujuan baik dan jika dilaksanakan secara konsisten akan memacu orang untuk berprestasi. Namun, tanpa jiwa dan sistem yang matang, meritokrasi yang dilaksanakan akan mengikis idealisme dosen dan karyawan. Mereka akan menghitung pelayanan kepada mahasiswa dan masyarakat berdasarkan jam dan jumlah mahasiswa. Untuk mendapatkan honorarium yang sebesar-besarnya, dosen mengajar sebanyak mungkin jam kuliah dan membimbing sebanyak mungkin mahasiswa. Akibatnya, kualitas pengajaran dan penelitian dikorbankan. Ada saja dosen yang mempunyai beban lebih dari 30 sks per semester. Ini berarti dosen tersebut seharusnya menyediakan waktu bagi mahasiswa (30 x 50 menit kegiatan tatap muka) + (30 x 60 menit kegiatan terstruktur/terjadual) + (30 x 60 menit kegiatan mandiri) atau 85 jam per minggunya atau rata-rata 14 jam per harinya (85 jam dibagi 6 hari). Dipotong dengan waktu untuk istirahat dan tidur, dosen hanya punya sisa waktu sekitar 2 jam untuk makan, transportasi, dan kegiatan pribadi. Ditambah lagi, dosen juga berlomba-lomba dan berebut berbagai proyek untuk menambah penghasilan. Dalam sulap-sulapan jam semacam ini, biasanya jam untuk mahasiswa yang akan dikurangi dan ini berarti mahasiswa yang menjadi korban pelayanan pendidikan yang rendah.

Akhirnya, keberadaan sistem akuntabilitas dan transparansi dalam penggalangan dan pengelolaan dana merupakan syarat mutlak bagi kebijakan otonomi perguruan tinggi. Tanpa akuntabilitas dan transparansi, pengelolaan dana oleh segelintir elit kampus bisa menimbulkan kecurigaan. Jika universitas dalam keadaan minus, akan muncul kecurigaan mengenai ketidak-becusan atau ketidak-jujuran dalam mengelola keuangan. Jika universitas dalam keadaan surplus, kecurigaan ini juga akan mewarnai setiap pergantian pucuk pimpinan karena berkaitan dengan penguasaan dan pengelolaan asset-aset lembaga.

Era persaingan global dan pusaran neo-liberalisme tidak bisa dibendung lagi. Ketidak-mampuan negara dalam membiayai pendidikan tinggi tidak seharusnya membuat perguruan tinggi negeri terperosok dalam jurang pencarian dana dan pengabaian mutu. Jati diri dan misi pendidikan tidak boleh dilupakan. Peranan pendidikan sebagai jembatan bagi demokratisasi masyarakat harus tetap menjadi jiwa dalam setiap strategi menghadapi persaingan di tingkat nasional dan internasional.

e.Artikel 5

Pendidikan Tinggi Berguna untuk Transisi Masyarakat

Politik bukan pilihan tepat untuk menghadapi transisi masyarakat yang terjadi. Tetapi justru pendidikan tinggi-lah yang dibutuhkan. Pernyataan ini disampaikan Menteri Pendidikan Tinggi dan Riset Sudan Fathi Mohammed El-Khalifa saat berkunjung ke Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Senin (25/8). Sebab, transisi perlu banyak ahli dan inovasi yang hanya bisa diwujudkan melalui pendidikan tinggi. Mereka mampu mengupayakan teknologi baru bagi masyarakat. Selain itu, sumbangan ide dari ahli dan para pemikir juga dibutuhkan.

Prof Fathi menuturkan, beberapa tempat di Sudan masih dilanda perang saudara saat ini. Masyarakatnya sendiri sedang mengalami transisi, beralih dari kehidupan tradisional ke masyarakat dinamis modern. “Kami memerlukan pendidikan tinggi yang baik dalam masyarakat seperti itu,” ujarnya.

Tak heran bila pemerintah Sudan memberi perhatian besar pada bidang pendidikan tinggi. Maka, kunjungan ke Indonesia ini lebih ditujukan untuk melihat dan membandingkan sistem serta program pendidikan tinggi.

Pemerintah Sudan sendiri sedang giat berinvestasi untuk pendidikan tinggi. Tercatat, ada 28 universitas negeri, enam universitas swasta, dan 53 college swasta. Reformasi pendidikan tinggi juga ditempuhnya. Asal tahu saja, setelah Mesir, Sudan merupakan negara Afrika-Arab yang memiliki sejarah pendidikan tinggi yang tua.

“Tujuan reformasi pendidikan adalah agar bisa memenuhi kebutuhan transisi masyarakat. Tentu saja, perlu pembanding dari negara-negara sahabat,” terang Prof Fathi.
Kini, pemerintah Sudan memberi dukungan penuh dalam bentuk pembiayaan pendidikan. Agar bantuan pembiayaan bagi pendidikan bisa setara dua persen produk domestik bruto (PDB) negara.
Dalam kunjungan itu, El-Khalifa mengundang para pakar ITS untuk meneliti di Sudan. Rektor ITS Priyo Suprobo menyambut positif hal itu. “Kami siap bekerjasama dengan perguruan tinggi di Sudan. Mungkin, bisa untuk program pertukaran dosen dan mahasiswa,” jelas Priyo.
Saat ini di ITS ada lima mahasiswa Sudan. Mereka menyelesaikan pendidikan strata dua pada berbagai program studi di ITS. Kehadiran mereka di ITS ini didampingi Direktur Ketenagaan Ditjen Dikti Depdiknas Prof Muklas Samani. Menurut Prof Muklas, twining program bagi mahasiswa Sudan untuk belajar di ITS juga patut dilakukan.


f.Artikel 6

Pendidikan Tinggi Belanda Memberlakukan Kebijakan Jamin Siswa Asing

Pemerintah Belanda memberlakukan kebijakan baru di bidang pendidikan tinggi yang ditujukan untuk menjamin kualitas pendidikan tinggi di Belanda. Kebijakan baru yang disebut ”kode etik”, memberikan jaminan bagi siswa asing bahwa prosedur seleksi dan penerimaan telah memenuhi standar yang disyaratkan. Kode etik ini juga memberikan perlindungan dan jaminan kualitas bagi siswa asing, karena hanya universitas atau institusi yang telah menandatangani ”kode etik” yang diijinkan menerima siswa asing untuk studi di Belanda.
”Dengan kode etik ini, siswa asing termasuk siswa Indonesia akan memperoleh jaminan bahwa program yang dipilihnya telah memperoleh akreditasi dari pemerintah Belanda. Kode etik menuntut universitas untuk memberikan layanan terbaik bagi siswa asing dalam berbagai hal seperti standar akademis, kelengkapan informasi yang tersedia, petunjuk dan bimbingan yang benar, pengenalan budaya hingga persiapan keberangkatan. Perhatian khusus juga diberikan berkaitan dengan kedatangan pertama di Amsterdam, akomodasi dan hal-hal teknis seperti soal kedisiplinan, metode pengajaran dan penilaian yang berlaku selama masa studi,” demikian Ad de Leew, Direktur Netherlands Education Centre (NEC).
Fokus ”kode etik” pada pentingnya kualitas membuat pemerintah Belanda menjamin bahwa visa studi di Belanda hanya akan diberikan kepada siswa yang mendaftar di universitas yang telah menandatangani ”kode etik”. Daftar universitas yang telah menandatangani ”kode etik” dapat dilihat langsung oleh melalui website
www.internationalstudy.nl
. Universitas yang ada dalam daftar tersebut menawarkan program studi internasional yang telah terakreditasi. Komite nasional beranggotakan wakil-wakil dari organisasi pendidikan tinggi di Belanda telah dibentuk untuk mengawasi jalannya kebijakan atau kode etik ini.
Ad menambahkan,”Kode etik mengatur standar persyaratan minimum bagi semua siswa asing yang ingin studi di Belanda. Hal ini untuk memastikan agar setiap siswa dapat menyelesaikan studinya dengan baik. Persyaratan ini diantaranya adalah nilai kemampuan bahasa Inggris untuk calon siswa program S1 dan S2 adalah TOEFL 550 atau IELTS 6.”
”Kode etik” yang berlaku sejak bulan Mei 2006, merupakan hasil kerja sama antara Kementrian Pendidikan, Budaya dan Ilmu Pengetahuan dengan Kementrian Luar Negeri, Kementrian Kehakiman Belanda serta beberapa organisasi yang didanai oleh Kementrian Pendidikan, Budaya dan Ilmu Pengetahuan Belanda, termasuk NUFFIC di dalamnya.


g.Artikel 7

Implementasi Teknologi Nano: Pembaruan Pendidikan Tinggi Teknik Mesin

Mesin merupakan teknologi yang dekat dengan kehidupan masyarakat modern. Saat ini, hampir seluruh bidang kehidupan membutuhkan mesin dalam jenis beragam yang berujung pada bertambahnya kebutuhan akan tenaga ahli. Kondisi demikian seharusnya menciptakan link and match antara industri dengan perguruan tinggi. Kenyataan tentang adanya sarjana teknik mesin yang tidak bekerja sesuai bidangnya serta perkembangan teknologi dunia yang mengarah pada nanotechnology mendorong pertemuan untuk meninjau ulang sistem pendidikan yang ada.Menanggapi hal tersebut, bertempat di Aula Barat ITB, Sabtu (9/11), para praktisi pendidikan berkumpul dalam Seminar Pembaruan Pendidikan Tinggi Teknik Mesin. Diprakarsai oleh Ikatan Alumni Teknik Mesin ITB angkatan 1970-1972, seminar ini menjadi ajang pemaparan kondisi pendidikan jurusan teknik mesin pada universitas di dalam dan luar negeri, serta pembahasan nanotechnology yang semakin berkembang di berbagai belahan dunia. Hadir dalam acara tersebut antara lain Senat Akademik Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara (FTMD), Majelis Guru Besar Aktif, Majelis Guru Besar Purna Bakti, MWA Dewan Audit, Perwakilan dari jurusan Teknik Mesin dari berbagai universitas, serta para alumni Teknik Mesin ITB angkatan 1970-1972. Turut hadir sebagai pembicara antara lain Dekan FTMD, Dr. Ir. Andi Isra Mahyuddin; Prof. Amer Noordin Darus et.all. dari Malaysia; Gang Chen, Warren and Towneley Professor dari MIT; Dr. Ratno Nuryadi dari BPPT; Prof. Dr. Ir. Tresna P. Soemardi dari Universitas Indonesia; Mantan Profesor ITB, Dr. Ir. Sri Hardjoko Wirjomartono dan Dr. M. Ansjar; serta Dr. Yasraf Amir Piliang MA dari Fakultas Seni Rupa dan Desain.Disampaikan oleh Sri Hardjoko dalam makalahnya yang berjudul Perkembangan Proses Manufaktur dan Pemutakhiran Kurikulum Program Studi Teknik Mesin, industri mesin merupakan tulang punggung industri secara keseluruhan. Berdasarkan hasil penelitian, industri mesin di Indonesia masih lemah dalam hal desain komponen dan produk, teknologi produksi, teknik pengukuran, dan teknologi operasional perkakasnya. Sementara saat ini, perkembangan industri dunia diarahkan pada nano manufaktur.Senada dengan seminar yang disampaikan oleh Gang Cheng, di dunia barat, teknologi nano kian meluas perkembangannya. Perkembangan teknologi ini di Amerika Serikat telah dimulai sejak tahun 2000 dan sejak 2003, bahasan tersebut telah menjadi mata kuliah di MIT.Pertama kali dikenalkan oleh Richard Feynmann pada tahun 1965, teknologi nano merupakan kemampuan untuk melakukan manipulasi, kontrol, produksi, dan manufaktur benda dalam presisi atom. Pengukuran dan permodelan dilakukan dalam skala 100 nanometer atau lebih kecil. Bidang-bidang industri yang dipengaruhi oleh perkembangan teknologi nano dalam manufaktur antara lain; Komputer (menuju ke kecepatan yang lebih tinggi), farmasi, kedokteran (untuk pengaturan asupan obat, rehabilitasi syaraf dan jaringan), surface coating pada material, katalis (industri kimia dan industri lainnya), sensor, telekomunikasi, material magnit dan peralatan sejenisnya dan lain-lain. Beberapa negara lainnya yang telah berinvestasi pada pengembangan teknologi ini diantaranya Jepang, Jerman, Perancis, dan Inggris.Di Indonesia, teknologi nano dalam beberapa tahun ke depan diperkirakan masih akan berkembang dalam bentuk riset. Indonesia memiliki potensi sumber daya alam yang besar. Namun, kekayaan yang didapatkan melalui penambangan, pencairan, dan rangkaian pengolahan yang sangat memakan biaya ini akan segera tergeser oleh nano material yang lebih ringan, murah, serta hanya memerlukan energi yang sangat kecil dalam pembuatannya. Sayangnya, pembahasan tentang teknologi nano belum menjadi kurikulum di pendidikan tinggi. Kendala lain yang juga dihadapi oleh universitas dalam negeri menurut Yasraf Amir Piliang MA, adalah lambatnya pertumbuhan, inovasi, maupun karya-karya kreatif. Maka, seminar ini menjadi sangat penting agar kurikulum yang diajarkan pada pendidikan tinggi sejalan dengan perkembangan teknologi terbaru.Ditemui di sela-sela acara, mantan Direktur PT. Garuda Indonesia (Persero) sekaligus ketua panitia seminar, Ir. Indra Setiawan, M.Ba, menjelaskan bahwa perkembangan teknologi saat ini diarahkan agar Indonesia tidak hanya menjadi pengguna, namun juga mampu menciptakan teknologi berwawasan lingkungan yang responsif, adaptif, dan aplikatif. Yang perlu ditekankan adalah penajaman arah pendidikan agar tercipta professional engineer dalam berbagai bidang ilmu. Dalam seminar ini diluncurkan pula buku Transpor dan Konversi Energi Nanoskala karya Gang Chen yang dialihbahasakan oleh Ir. Filino Harahap, M.Sc., Ph.D., mantan Profesor di bidang Teknik Mesin yang kini menjadi aktifis pengembang teknologi nano di Indonesia.

h.Artikel 8

Benahi Manajemen Pendididikan Tinggi

Persoalan seleksi bagi mahasiswa baru yang akan memasuki perguruan tinggi negeri menjadi sebuah persoalan baru. Kabar bahwa sebagian besar PTN yang sebelumnya bergabung ke dalam satu sistem itu kemudian memilih melakukan sendiri seleksi dan penerimaan mahasiswa barunya, mengemuka. Akhirnya memang belum diputuskan bagaimana mengatasi hal tersebut. Titik krusialnya adalah bagaimana supaya calon mahasiswa dapat memilih PTN yang diminatinya tanpa harus berada di tempat PTN tersebut berada. Memang pengelolaan pendidikan tinggi tidak mudah. Tetapi seleksi untuk memasuki PTN barulah satu masalah dari sekian banyaknya masalah yang mendera pendidikan tinggi kita.
Salah satu masalah mendasar yang belum juga dipecahkan adalah bagaimana menciptakan lulusan yang bisa memasuki pasar kerja, tanpa harus menganggur. Angka pengangguran bagi lulusan perguruan tinggi memang masih cukup tinggi. Setiap tahunnya terdapat 4 jutaan lulusan perguruan tinggi yang memasuki pasar kerja, sementara hanya sedikit saja lapangan kerja yang terbuka bagi mereka.
Dulu pemerintah pernah punya konsep link and match. Konsep ini dikembangkan oleh mantan Menristek BJ Habibie berdasarkan pengalaman pengelolaan pendidikan di Jerman. Konsep ini menggunakan logika demand and supply. Pendidikan tinggi tidak dikelola demikian rupa seperti sekarang ini dimana semua jurusan dibuka, bahkan jurusan yang dibuka lebih banyak daripada yang ditutup. Mereka yang memasuki pendidikan tinggi diberikan nilai tambah sehingga ketika lulus mereka siap untuk bekerja pula.Hanya sayangnya, konsep ini kemudian dimentahkan oleh perubahan politik. Konsep yang dulu pernah menjadi sangat populer itu kemudian hilang begitu saja dan pendidikan tinggi kita terjebak ke dalam fenomena industrialisasi pendidikan tinggi. Maksudnya adalah pendidikan tinggi dijadikan sebagai alat mencetak sebanyak mungkin lulusan karena dianggap sebagai upaya mencerdaskan bangsa, sementara keterkaitannya dengan pasar kerja sama sekali tidak pernah dipikirkan.
Yang kemudian terjadi adalah, dan ini juga merupakan masalah besar, pada mahalnya biaya pendidikan. Semakin lama semakin terlihat bahwa upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa berjalan tidak sebanding dengan harapan kita mengenai tercapainya pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan.
Di setiap PTN sekarang ada berbagai kelas yang sangat variatif, dan terkadang membedakan kemampuan calon mahasiswanya. Perbedaan itu ditengarai menjadi pemicu perbedaan kualitas pendidikan. Yang paling parahnya, mereka yang tidak memiliki kesempatan untuk menikmati pendidikan tidak memiliki kesempatan melalui skema subsidi silang yang banyak diberikan oleh PTN. PTN tidak sanggup mendanai mereka yang tidak memiliki uang, terlebih PTN yang telah menjadi BHMN.
Akumulasi persoalan pendidikan, sejak dari seleksi sampai dengan outputnya kita kuatirkan akan menciptakan efek domino yang kelak akan menghasilkan gelombang pengangguran intelektual. Mereka yang berpendidikan tetapi tidak bekerja jelas lebih “berbahaya” dibandingkan dengan mereka yang tidak.
Skema Coorporate Social Responsibility (CSR) yang sudah mulai dijalankan oleh beberapa perusahaan sebenarnya bisa divariasikan dengan mempekerjakan para lulusan pendidikan tinggi. Perusahaan yang juga memiliki CSR bisa menjadikan lulusan perguruan tinggi sebagai bagian dari komitmen mereka mengatasi masalah sosial di wilayahnya. Yang paling penting, membenahi tujuan, arah dan pola pengelolaan pendidikan tinggi kita adalah sebuah pekerjaan rumah yang harus dikerjakan segera.


i.artikel 9

Membedah Industri Pendidikan Tinggi

KOMPETISI global juga sudah melanda dunia pendidikan. Setiap tahun, saat lulusan SMA dan SMK bersaing untuk mendapatkan institusi pilihan, perguruan tinggi pun berlomba-lomba mempromosikan diri dan menjaring calon-calon mahasiswa potensial. Potensial bisa berarti mampu secara akademis atau finansial.PERGURUAN tinggi dari luar negeri pun tidak mau kalah, dan gencar berpromosi. Begitu pula perguruan-perguruan tinggi swasta (PTS) melakukan berbagai upaya pemasaran dan menjadikan dunia pendidikan tinggi seperti bisnis dan industri. Kini beberapa perguruan tinggi negeri (PTN) tidak mau ketinggalan dengan membuka jalur khusus atau ekstensi.


j.Artikel 10

Angka Partisipasi Pendidikan Tinggi masih Rendah

Angka partisipasi pendidikan tinggi di Indonesia baru mencapai 18 persen dari seluruh penduduk Indonesia. "Presentase angka partisipasi kasar pendidikan tinggi (mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi) masih cukup rendah dibanding dari jumlah penduduk Indonesia'' kata Taufik Hanafi, Direktur Pendidikan dan Urusan Keagamaan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) di Jakarta, Selasa (10/3).Rendahnya angka tersebut menurut Taufik dipengaruhi oleh angka kelulusan SLTA yang juga masih rendah.Berdasarkan Angka Kerja Menurut Pendidikan Tinggi yang Ditamatkan di Perkotaan dan Pedesaan tahun 2008 oleh Bappenas, angka tertiggi kelulusan SLTA dari tujuh regional (desa dan perkotaan) hanya mencapai 30, 28 persen dari total usia sekolah. Sedangkan angka terendah di Nusa Tenggara hanya mencapai 21,10% dan di Jakarta dan Pulau Jawa angka kelulusan SLTA hanya mencapai 28,43 persen.''Untuk tingkat pendidikan dasar memang sudah cukup baik tapi untuk tingkat lanjut setingkat SLTP dan SLTA masih tertinggal dibanding negara lain,'' kata dia.Menurut data Human Development Index (HDI) yang dikeluarkan oleh United Nations Development Programe 2002-2005, Indonesia hanya menduduki peringkat 107 dari 170 negara. Ketiga dari bawah untuk negara ASEAN. di bawah Vietnam yang menduduki peringkat 105, Filipina (90), dan Thailand (78).Peringkat tertinggi negara ASEAN diduduki Singapura, yaitu ke- 25 dari 170 negara.


k. artikel 11

kOMERSIALISASI PENDIDIKAN TINGGI

Perguruan tinggi merupakan suatu wadah yang digunakan untuk Research &
Development (R&D) serta arena penyemaian manusia baru untuk
menghasilkan generasi yang memiliki kepribadian serta kompetensi
keilmuan sesuai bidangnya. Secara umum dunia pendidikan memang belum
pernah benar-benar menjadi wacana publik di Indonesia, dalam arti
dibicarakan secara luas oleh berbagai kalangan, baik yang bersentuhan
langsung maupun tidak langsung dengan urusan pendidikan. Namun
demikian, bukan berarti bahwa permasalahan ini tidak pernah menjadi
perhatian.
Munculnya berbagai cara yang mengarah pada pelanggaran etika
akademik yang dilakukan Perguruan tinggi kita untuk memenangkan
persaingan, menunjukkan bahwa pendidikan kini cenderung dipakai sebagai
ajang bisnis. Pola promosi yang memberikan kemudahan dan iming-iming
hadiah merupakan suatu gambaran bahwa perguruan tinggi tersebut tidak
ada inovasi dalam hal kualitas pendidikan. Kecenderungan tersebut akan
menghancurkan dunia pendidikan, karena akhirnya masyarakat bukan kuliah
untuk meningkatkan kualitas diri, melainkan hanya mengejar hadiah &
gelar untuk prestise. Kondisi pendidikan tinggi saat ini cukup
memprihatinkan. Ada PTS yang mengabaikan proses pendidikan. Bahkan ada
PTS yang hanya menjadi mesin pencetak uang, bukan menghasilkan lulusan
yang berkualitas. Hal Ini yang membuat persaingan menjadi semakin tidak
sehat.
Produk lulusan perguruan tinggi yang proses pendidikannya
asal-asalan dan bahkan akal-akalan, juga cenderung menghalalkan segala
cara untuk merekrut calon mahasiswa sebanyak-banyaknya, dengan promosi
yang terkadang menjebak dengan iming-iming hadiah yang menggiurkan.
Apakah ini gambaran pendidikan berkualitas ?. Semoga masyarakat dan
orang tua yang akan menyekolahkan putra putrinya tidak terjebak pada
kondisi tersebut dan lebih bijak dalam memilih perguruan tinggi,
sehingga putra-putrinya tidak terkesan asal kuliah.
Ditengah besarnya angka pengangguran di Indonesia yang telah
mencapai lebih dari 45 juta orang, langkah yang harus ditempuh adalah
mencari pendidikan yang baik dan bermutu yang dibutuhkan pasar. Bukan hanya murah
saja dan asal. Tidak dipungkiri lagi bahwa selama ini, dunia industri
kesulitan mencari tenaga kerja dengan keahlian tertentu untuk mengisi
kebutuhan pekerjaan. Bila membuka lowongan, yang melamar biasanya
banyak, namun hanya beberapa yang lulus seleksi.
Pasalnya jarang ada calon pegawai lulusan perguruan tinggi atau
sekolah, yang memiliki keahlian yang dibutuhkan, karena kebanyakan
berkemampuan rata-rata untuk semua bidang. Jarang ada yang menguasai
bidang-bidang yang spesifik. Hal ini tentunya menyulitkan pihak pencari
kerja, karena harus mendidik calon karyawan dulu sebelum mulai bekerja.
Sebagian besar perguruan tinggi atau sekolah mendidik tenaga ahli madya (tamatan D.III) tetapi keahliannya tidak spesifik.
Lebih parah lagi, bahkan ada PTS di Jakarta yang memainkan
range nilai untuk meluluskan mahasiswanya, karena mereka takut, ketika
selesai ujian akhir (UTS/UAS) banyak mahasiswanya yang tidak lulus
alias IP/IPK nasakom. Sehingga mereka lulus dengan angka pas-pasan yang
sebenarnya mahasiswa tersebut tidak lulus. Ini adalah cermin dari
proses PEMBODOHAN BANGSA bukan mencerdaskan BANGSA. Dalam hal
ini semua pihak harus melakukan introspeksi untuk bisa memberi
pelayanan pendidikan yang baik & berkualitas. Kopertis, harus
bersikap tegas menindak Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang melanggar
dan mensosialisasikan aturan yang tak boleh dilanggar oleh PTS.
Pengelola perguruan tinggi juga harus menghentikan semua langkah yang
melanggar aturan. Kunci pengawasan itu ada secara bertahap di tangan
Ketua Program Studi, Direktur, Dekan, Rektor dan Ketua Yayasan.
Selain itu pula, apa yang menjadi barometer yang menunjukkan
eksistensi sebuah perguruan tinggi? Untuk saat ini opini publik dan
beberapa kalangan masyarakat bahwa eksistensi sebuah Perguruan Tinggi
dilihat dari kuantitas mahasiswanya bukan kualitasnnya. Nah ini jelas
sudah terlihat faktanya bahwa pendidikan di Indonesia hanya menjadi
komoditi bisnis semata.
Menatap masa depan berarti mempersiapkan generasi muda yang
memiliki kecintaan terhadap pembelajaran dan merupakan terapi kesehatan
jiwa bagi anak bangsa, harapan kami semoga komersialisasi pendidikan
tinggi tidak menjadi sebuah komoditi bisnis semata, akan tetapi menjadi
arena untuk meningkatkan kualitas SDM dalam penguasaan IPTEK, sehingga
kita bisa mempersiapkan tenaga handal ditengah kompetisi global.
mulailah dari diri sendiri untuk berbuat sesuatu guna menciptakan
pendidikan kita bisa lebih baik dan berkualitas, karena ini akan
menyangkut masa depan anak-anak kita dan Juga Bangsa Indonesia.


l.Artikel 12

SPMB dan Dilema Pendidikan Tinggi


Liberalisasi di bidang pendidikan tinggi menjadi isu yang tidak mungkin lagi bisa dielakkan. Negara tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan seluruh anggaran, sehingga universitas dituntut mencari sendiri dana untuk menjaga kelangsungan penyelenggaraan pendidikan. Mencuatnya kasus 41 perguruan tinggi negeri yang berniat keluar dari kepanitiaan seleksi penerimaan mahasiswa baru (SPMB) pekan ini menegaskan betapa krusialnya masalah ini.

Sistem seleksi nasional calon mahasiswa yang terpusat semakin lama menjadi semakin tidak populer. Tidak populer, karena perguruan tinggi tidak bisa memilih langsung calon mahasiswa. Tidak populer, karena dana hasil penerimaan mahasiswa baru tidak langsung bisa digunakan perguruan tinggi negeri yang bersangkutan. Dana itu harus singgah dan dikelola terlebih dahulu oleh panitia pusat. Perguruan tinggi adalah sumber kecerdasan. Ia menjadi salah satu tumpuan sebuah bangsa untuk memenuhi kebutuhan akan talenta, intelektualitas, dan kepemimpinan masa depan.

Peningkatan mutu perguruan tinggi adalah wajib hukumnya bila sebuah bangsa ingin terus bertahan dalam peradaban global yang semakin lama semakin kompetitif. Kampus pun harus mampu menjadi centers of excellence. Soalnya adalah misi ini tidak serta-merta dapat dijalankan, karena keterbatasan anggaran. Meskipun konstitusi menjamin bahwa sektor pendidikan mendapatkan 20% dana APBN, tidak berarti persoalan ini selesai dengan sendirinya. Tidak hanya dalam konteks SPMB, dalam hampir semua soal, universitas negeri selalu terbentur masalah yang telah menjadi klasik.

Beberapa perguruan tinggi berstatus badan hukum milik negara (BHMN) menyelesaikan masalah ini dengan menarik dana pendidikan dari 80% calon mahasiswa yang cerdas dan mampu. Sedangkan 20% calon mahasiswa yang pintar, tapi kurang mampu secara finansial, tetap diberi tempat melalui jalur SPMB.
Opsi itu telah menjadi solusi bagi sebagian kecil perguruan tinggi negeri. Namun sebagian besar lainnya, tetap berada dalam dilema. Sampai kapan situasi ini akan berlangsung? Akankah negara membiarkan kualitas perguruan tinggi kita terus merosot dalam persaingan antaruniversitas di tataran global?

Sengketa SPMB hanyalah pucuk dari persoalan lebih substansial yang akan terus menghantui dunia pendidikan tinggi. Karena itu, perguruan tinggi negeri dituntut untuk melepaskan diri dari ketergantungan dana terhadap negara. Membuat setiap universitas negeri memiliki kemandirian sepenuhnya adalah sebuah urgensi yang tidak bisa ditawar-tawar dan dihambat-hambat lagi. Memaksakan setiap perguruan tinggi mengikuti SPMB secara terpusat dan terikat adalah keputusan yang tidak tepat. Ini akan membuat kualitas perguruan tinggi negeri tidak saja mengalami stagnasi, namun juga degradasi.

Sistem subsidi negara sehingga pendidikan tinggi gratis, tetapi tetap berkualitas hanyalah utopia di negeri ini. Ia menjadi pilihan tidak realistis mengingat tingkat kemakmuran negara kian menjauh. Bila negara benar-benar tidak lagi mampu mengatasi persoalan ini, pemerintah harus mengizinkan seluruh perguruan tinggi negeri mandiri secara finansial. Mereka harus mencari dana sendiri ke pasar, karena itulah pilihan yang paling mungkin. Kendati, masyarakat harus selalu siap dengan biaya pendidikan yang semakin mahal, konsekuensi logis dari liberalisasi ini menjadi keniscayaan.


m.Artikel 13

Quo Vadis (Arah) Badan Hukum Pendidikan Tinggi (Negeri/Swasta)

Konsep Badan Hukum Pendidikan (BHP) diilhami oleh semangat mengembalikan dan melindungi fungsi institusi pendidikan sebagai alat untuk mentransformasikan nilai-nilai kemasyarakatan dan membebaskan pendidikan dari hegemoni kekuasaan, dan pendidikan harus dikembalikan kepada masyarakat dan dilaksanakan dari, oleh dan untuk masyarakat. Dalam hal ini, peran pemerintah dalam mengkonstruksi pendidikan akan tergantikan oleh masyarakat dan pemerintah hanya akan berperan sebagai fasilitator.
UU No. 20/2003, Pasal 43. ayat (3) menyatakan bahwa Badan Hukum Pendidikan berprinsip nirlaba. Di sisi lain, pendidikan berbasis masyarakat juga mempersyaratkan adanya jaminan atas penyelenggaraan pendidikan yang transparan, partisipatif dan akuntabel oleh penyelenggaraan pendidikan. Bila tidak, maka peluang terjadinya penyimpangan oleh para pelaku pendidikan akan terjadi.

Pendidikan berbasis masyarakat bukan berarti tanggungjawab negara untuk menjamin hak warga negara atas pendidikan menjadi tereliminasi. Negara tetap bertanggungjawab menyediakan anggaran, sarana dan prasarana agar seluruh warga negara dapat menikmati kesempatan atas pendidikan secara merata dan tanpa diskriminasi sesuai dengan konsideran huruf (c) UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Konsep Rancangan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) untuk pertama kali dipersiapkan bersamaan dengan RUU Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN).

Dalam konsep RUU tersebut diatur tentang badan hukum pendidikan dasar, menengah dan tinggi - baik swasta maupun negeri, namun khusus mengenai Perguruan Tinggi Negeri (PTN) diatur lebih lanjut dalam RUU PT BHMN.

Terdapat 2 (dua) opsi untuk PTN yang diatur dalam pasal peralihan RUU BHP; pertama, dalam bentuk Badan Layanan Umum (BLU) yang kekayaannya tidak dipisahkan dari negara, kedua, dalam bentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang kekayaannya dipisahkan dari negara.

Dalam perkembangannya, konsep RUU tersebut telah banyak mengalami perubahan, ke arah yang lebih rigid dan lengkap mengatur tentang konsep pengelolaan institusi pendidikan berbentuk badan hukum. Meskipun banyak juga hal yang harus tetap dikritisi.

Dalam RUU BHP versi yang baru, semua bentuk pendidikan baik yang diselenggarakan oleh masyarakat, pemerintah daerah atau pemerintah harus berbentuk badan hukum yang sama yaitu badan hukum pendidikan. Oleh karenanya, jika RUU BHP disahkan - maka peraturan perundang-undangan yang terkait dengan peraturan pemerintah tentang BHMN tidak akan berlaku lagi.

Perubahan yang terjadi antara konsep RUU lama dan yang baru, dapat diamati dari bunyi pasal 1 ayat 7 (versi lama), yang mengatur bahwa ”Penyelenggara adalah satuan pendidikan berstatus Badan Hukum Pendidikan (BHP)” dan “Semua satuan pendidikan tinggi harus berstatus Badan Hukum Pendidikan Tinggi (BHPT) (Pasal 2 ayat (1)”. Selain itu, disebutkan juga bahwa “Satuan pendidikan dasar dan menengah dapat berstatus Badan Hukum Pendidikan Dasar Menengah (BHPDM)”.

Dalam versi perubahan, ketentuan tersebut lebih luwes, misalnya; “Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan tinggi didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk BHPT”, “Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan dasar dan menengah yang didirikan oleh masyarakat dapat berbentuk Badan Hukum Dasar Menengah (BHDM)”. “Dalam hal BHPT didirikan oleh yayasan atau badan hukum yang sejenisnya bagi PT yang telah ada maka (a) yayasan atau badan hukum sejenis berkedudukan sebagai pendiri, sedangkan PT yang telah ada berubah menjadi BHPT, atau (b) yayasan atau badan hukum sejenis berubah menjadi BHPT, sedangkan PT yang telah ada merupakan organ BHPT”.

Yang menjadi persoalan, apakah RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP) merupakan jawaban yang tepat bagi pengembangan pendidikan tinggi kedepan? Bagaimana RUU ini meletakkan peran pemerintah dan masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan tinggi serta bagaimana mengkonstruksi hubungan antara penyelenggara pendidikan (yayasan, perkumpulan, badan wakaf, pemerintah, dll) dengan satuan pendidikan? Apakah RUU BHP memberikan jaminan bagi terwujudnya pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan dalam rangka menghadapi tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global?


n. artikel 14

RESTRUKTURISASI PENDIDIKAN TINGGI DI EROPA

DEWASA ini, restrukturisasi ekonomi global yang sejalan dengan proses neoliberalisasi telah berdampak terhadap perubahan struktur pasar tenaga kerja di Eropa. Terkait langsung di dalamnya sistem pendidikan tinggi, yang merupakan bagian terpenting proses menyiapkan angkatan kerja dengan kualifikasi tinggi sesuai dengan konteks restrukturisasi ekonomi. Jika tidak, kualitas sumber daya manusia dari negara-negara tertentu akan menurun. Hal ini akan berdampak pada hilangnya keunggulan kompetitif angkatan kerja yang dimiliki masing-masing negara.

RESTRUKTURISASI sistem pendidikan tinggi di Eropa paling tidak distimulasi oleh empat fenomena. Pertama, transformasi aktivitas industri (sektor sekunder) menuju sektor tersier membutuhkan kualifikasi tenaga kerja yang tidak saja terampil, namun harus mampu menguasai sistem teknologi baru yang dipakai secara luas dalam dunia profesional. Penguasaan dan pemahaman teknologi amat diperlukan, terutama untuk membantu mempercepat proses pengambilan keputusan dengan akurasi tinggi, guna meningkatkan pelayanan di berbagai bidang jasa baru (Kjell Rubenson & Hans G, Schuetze, Transition to the Knowledge Society, 2000).

Kedua, proses neoliberalisasi telah meningkatkan arus mobilitas tenaga kerja yang berkualitas (highly educated). Hal ini terjadi khususnya di antara negara-negara maju dengan tingkat pendapatan per kapita serta kekuatan daya beli yang cukup tinggi. Gejala ini, seperti diungkap Saskia Sassen (The Global City, 2000), telah membentuk gejala polarisasi sosial/spasial baru berdasarkan brain power. Proses polarisasi ini telah meningkatkan fenomena kompetisi luar biasa, terlihat dengan kemunculan aglomerasi-aglomerasi ekonomi terutama di kawasan metropolitan area (London, Randstad, Frankfurt, Milan, Paris, dan Barcelona). Karena itu, sistem pendidikan tinggi pun terus melakukan proses diversifikasi dan spesialisasi dalam menghadapi kompleksitas baru ini.

Ketiga, bersatunya kekuatan ekonomi dan politik di Eropa meningkatkan arus kerja sama antarnegara dalam berbagai bidang. Peningkatan aktivitas itu telah membawa proses kerja sama yang kian intensif yang variatif, baik dalam skala lokal maupun global. Banyak aspek baru yang jauh lebih dinamis dengan kompleksitas tinggi tentu membutuhkan ruang-ruang studi baru, selain tentunya tenaga-tenaga ahli baru. Pendidikan tinggi dalam hal ini tetap merupakan tulang punggung riset yang mampu melakukan inovasi-inovasi dalam pengembangan pendekatan- pendekatan sosial, ekonomi dan politik; begitu juga dengan inovasi di bidang ilmu-ilmu dasar dan teknologi sesuai perkembangan itu.

Keempat, proses neoliberalisasi, sebagaimana disampaikan oleh Francis Fukuyama (The End of History and the Last Man, 1992) maupun Ulrich Beck (World Risk Society, 1999), telah berdampak pada memudarnya nation-state. Dinamika ini telah memberi konsekuensi pada berkurangnya investasi publik untuk sektor-sektor strategis jangka panjang (welfare state system), seperti sektor pendidikan, kesehatan, perumahan, dan sistem pensiun).

Perlahan-lahan institusi pendidikan tinggi di Eropa akan (bahkan telah) memasuki proses privatisasi karena berkurangnya pendanaan negara untuk sektor pendidikan. Proses inilah yang disebut Beck sebagai pudarnya public realm yang menuju proses individualisasi. Gejala privatisasi ini membawa pengaruh pada restrukturisasi sistem pendidikan tinggi di Eropa yang semakin hari menuju pada proses komodifikasi ketimbang mempertahankan esensi bahwa pendidikan merupakan bagian sistem kesejahteraan masyarakat untuk jangka panjang.

Transformasi sistem pendidikan tinggi di Belanda

Berbagai fenomena itu selanjutnya bisa dilihat melalui proses restrukturisasi pendidikan tinggi di Belanda. Sistem pendidikan tinggi di Belanda sebelum proses restrukturisasi berlangsung terdiri dari empat lembaga pendidikan tinggi, yaitu universitas (wetenschappelijk onderwijs/WO), lembaga pendidikan profesional/kejuruan (hogeschool/HBO), universitas terbuka (vrij universiteit dan academie), serta institusi pendidikan internasional (instelling voor internationaal onderwijs).

Universitas sendiri terdiri dari tiga bagian utama, yaitu pertama universitas untuk ilmu-ilmu sosial, ekonomi, dan politik (universiteit). Kedua, untuk bidang ilmu dasar dan teknologi (technische universiteit). Ketiga, universitas khusus di bidang pertanian (landbouw universiteit). Masa studi di tingkat universitas pada awalnya diselesaikan dalam waktu minimal lima tahun atau lebih dengan gelar Ir (ingenieur, dalam bidang teknologi dan pertanian) atau Drs (doctorandus, untuk bidang sosial). Sementara itu, untuk pendidikan kejuruan yang lebih menekankan dunia profesional (hogescholen), waktu studi berkisar tiga hingga empat tahun, dengan gelar Ing (ingenieur, untuk bidang teknologi) dan baccalaureus (untuk bidang studi sosial dan ekonomi).

Sistem pendidikan tinggi itu dalam dua tahun terakhir mengalami perubahan. Pendidikan sarjana di tingkat universitas saat ini bisa dicapai hanya dalam tiga tahun dengan gelar yang sama. Setelah itu, mahasiswa memiliki pilihan untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat master (dua tahun). Perubahan ini membawa dampak lanjutan pada lembaga pendidikan seperti hogescholen yang juga dapat ditempuh dalam tiga tahun. Dengan waktu yang sama, lulusan universitas akan jauh lebih diminati ketimbang lulusan hogescholen. Karena itu, untuk menjaga kuantitas siswa di lembaga-lembaga seperti hogescholen, mereka mulai melakukan diversifikasi dan kerja sama dengan universitas-universitas dari luar Belanda, dengan tujuan menciptakan keunggulan komparatif.

Sementara itu, universitas yang mulai mengubah sistem dari lima tahun menjadi tiga tahun, ditambah dua tahun pendidikan master, kini juga mulai menerapkan bahasa Inggris sebagai pengantar di tingkat master. Hal ini bertujuan agar universitas di Belanda bisa mulai membuka pasaran pendidikan untuk level internasional. Dengan demikian, peluang siswa asing untuk melanjutkan studi di Belanda jauh lebih besar karena bahasa pengantar yang dipergunakan adalah Inggris. Meski demikian, tidak semua negara melakukan hal serupa. Jerman meski melakukan restrukturisasi serupa, namun bahasa pengantarnya tetap Jerman. Hal ini cukup beralasan mengingat Jerman tetap sebuah bahasa yang digunakan secara luas, baik di Eropa Barat maupun Eropa Timur.

Antara komodifikasi dan kesejahteraan publik

Restrukturisasi pendidikan tinggi ini juga dilandasi strategi untuk tetap menjaga keunggulan kompetitif dan komparatif kualitas sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki masing- masing negara di Eropa. Hal ini menjadi penting di tengah situasi bersatunya kekuatan ekonomi dan politik di Eropa. terutama kompetisi dalam menarik arus modal asing amat ditentukan kualitas SDM yang dimiliki setiap negara (Luigi Orsenigo, Innovation, Organizational Capabilities and Competitiveness in a Global Economy, 2000). Ketersediaan SDM berkualifikasi tinggi mencerminkan tingkat pendapatan yang tinggi serta kuatnya daya beli pasar. Hal ini tentu menjadi salah satu daya tarik investasi dalam memanfaatkan gaya hidup kelas menengah baru yang tercermin pada pola konsumsi mereka yang amat dinamis (Pascal Petit, Employment in a Knowledge-Based Economy, 2000).

Lebih jauh, studi aktual yang dilakukan universitas di Utrecht telah mengindikasikan kawasan metropolitan Belanda barat (Randstad: Amsterdam, Rotterdam, Den Haag, dan Utrecht) sedang terjadi krisis kualitas maupun kuantitas SDM. Jika hal ini terus berlanjut, Randstad akan kehilangan daya tariknya dibandingkan dengan London dan Frankfurt Metropolitan Area. Hilangnya daya tarik SDM itu berarti akan membawa pertumbuhan negatif. Situasi ini secara langsung memberi implikasi terhadap munculnya kompleksitas baru serta risiko sosial yang tinggi, sebagaimana diungkapkan pemikir Jerman, Ulrich Beck, dalam buku Risikogesellschaft und Gegengifte (1986).

Secara singkat, proses neoliberalisasi yang mendorong restrukturisasi sistem pendidikan tinggi di Eropa merupakan hal menarik untuk dicermati. Bukan saja karena situasi ini merupakan bagian dari proses rasionalisasi yang harus dilakukan tanpa pilihan, melainkan ekses yang ditimbulkan menjadi sedemikian kompleks serta mengindikasikan fenomena individualisasi yang mengandung risiko tinggi.

Restrukturisasi sistem pendidikan tinggi di Eropa semakin hari terus mengarah proses komodifikasi. Hal ini tentu kian jauh dari esensi dan komitmen sosial dalam tradisi Eropa, yang selalu menempatkan pendidikan tinggi dalam konteks kesejahteraan publik (public welfare). Situasi dilematis ini bagai telur di ujung tanduk karena memiliki risiko yang amat signifikan dalam konteks pembangunan jangka panjang.


O. artikel 15

PENDIDIKAN TINGGI DI ERA PASAR BEBAS

KEKUATAN utama perguruan tinggi dalam kehidupan di era pasar bebas yang ditandai oleh sifat ketidakpastian yang tinggi dan paradoksial, terletak pada kekuatan sumber daya dosen. Peran dosen berada dalam posisi yang paling strategis. Oleh karena itu, dalam upaya peningkatan mutu pendidikan tinggi, dosen seharusnya menjadi pusat perhatian saksama. Upaya pembenahan kurikulum, perbaikan prasarana dan sarana, manajemen perguruan tinggi merupakan hal penting, namun tanpa adanya dosen yang bermutu dan sejahtera, semuanya itu menjadi kurang bermakna. Salah satu faktor penting yang mempengaruhi mutu pendidikan tinggi adalah dosen yang bemutu. Dosen yang bermutu dapat diukur dengan lima faktor utama, yaitu kemampuan profesional, upaya profesional, kesesuaian antara waktu yang dicurahkan untuk kegiatan profesional, kesesuaian antara keahlian dan pekerjaannya, dan kesejahteraan yang memadai. Di era pasar bebas, pengelolaan perguruan tinggi harus ditujukan untuk mengantisipasi kehidupan yang penuh ketidakpastian, paradoksial, dan penuh persaingan, dengan upaya memberdayakan dan meningkatkan kualitas sumber daya dosen. Ini tidak mudah. Kehidupan perguruan tinggi yang bersumber pada kebebasan mimbar akademik dan otonomi keilmuan tidak mungkin dosen-dosen dikelola dalam suatu sistem organisasi birokrasi yang kaku, tanpa mengorbankan makna hakiki kehidupan akademik tersebut. Perguruan tinggi yang tidak dapat mempertahankan mutunya akan kalah dalam berbagai persaingan. Apa pun bentuk pengelolaan perguruan tinggi, tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kualitas produktivitas yang berkelanjutan, karena tahap akhir kualitas kinerja perguruan tinggi sangat ditentukan oleh kualitas kinerja kolektif masing-masing anggota sivitas akademika, termasuk di dalamnya, yakni dosen. Dengan demikian maka pengelolaan dosen harus mempunyai sasaran utama, yaitu kenaikan kualitas produktivitasnya melalui peningkatan efisiensi kerja sebagai tenaga pendidik, peneliti dalam pengabdian kepada masyarakat atau lebih tepat dalam pelayanan jasa kepada masyarakat. Untuk dapat mencapai sasaran pengelolaan perguruan tinggi tersebut, ada dua syarat kunci yang harus dipenuhi, yaitu: (1) sistem produksi harus mempunyai peluang untuk dapat ditingkatkan efisiensinya, (2) adanya manfaat untuk meningkatkan efisiensi produksi. Sistem pendidikan tinggi di Indonesia belum mempunyai standar ukuran produktivitas maupun efisiensinya karena adanya nilai-nilai tak terhitungkan yang melihat pada produktivitas perguruan tinggi. Di era pasar bebas pada abad ke -21 ini, perguruan tinggi harus dapat mengantisipasi berbagai tuntutan. Pertama, persaingan tenaga kerja yang mengglobal, yang masuk bersama penanaman modal asing sebagai konsekuensi diberlakukannya perjanjian ASEAN-AFTA (mulai tahun 2002), WTO-GATT dan APEC (mulai tahun 2010). Untuk antisipasi hal ini perguruan tinggi harus mampu menjamin hasil didiknya di berbagai bidang profesi untuk memperoleh sertifikat profesi sebagai syarat untuk memperoleh hak bekerja sesuai dengan kompetensi kepakaran yang dipelajarinya di perguruan tinggi. Kedua, perguruan tinggi harus mampu menyiapkan hasil didik yang kompetennya dinilai tidak hanya atas dasar penguasaan pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga penguasaan sikap dan semangat kerja, kemampuan berkomunikasi, interpersonal, kepemimpinan, kerja sama tim, analisis permasalahan dan sintesis pemecahan masalah, disiplin, teknologi informasi, pemanfaatan komputer, fleksibilitas kerja, mampu mengelola kekaburan masalah, dapat bekerja dalam berbagai budaya, pemahaman globalisasi, terlatih dalam etika kerja, serta menguasai bahasa asing sebagai bahasa utama kedua. Ketiga, perguruan tinggi diharapkan dapat menyelenggarakan program yang lebih humanis. Makna humanis dalam hal ini memberi peluang yang lebih besar bagi anggota masyarakat untuk dapat memperoleh manfaat dari penyelenggaraan pendidikan, jaminan mutu pendidikan, dan kegayutan kebutuhan masyarakat, menjawab pertanyaan terhadap persamaan hak, pemenuhan perspektif internasional dan mantranya, biaya pendidikan yang sepadan. Untuk ini kurikulum inti berada dalam suatu situasi di mana sasaran penguasaan teknologi menjadi bagian dari kebudayaan, berikut dengan implikasinya sebagai bekal dasar kompetensi yang diperlukan seseorang menemukan kemampuan makna diri dalam berkehidupan. Keempat, kurikulum sebagai pedoman penyelenggaraan program studi harus dapat menjaga keserasian antara program yang diselenggarakan dengan aspirasi masyarakat. Hal ini dapat ditempuh dengan cara meniadakan ketidakterpautan dan menghindarkan beban berlebihan proses pembelajaran, tetapi secara umum dapat mencirikan tugas khusus dan misi yang diembannya untuk setiap jenjang pendidikan. Kelima, penyelenggaraan pendidikan tinggi diharapkan mampu menampung politisasi pendidikan, kebutuhan belajar sepanjang hayat, internasionalisasi pendidikan tinggi dalam makna reconvergent phase of education. Politisasi pendidikan tinggi terjadi oleh karena masyarakat menyadari bahwa pendidikan merupakan jembatan untuk kemakmuran ekonomi di masa depan, pilihan piranti untuk mengatasi pengangguran, penggerak teknologi dan ilmu maju, prasyarat vitalitas kebudayaan untuk meningkatkan kenyaman kehidupan masyarakat, dan pengaman nilai-nilai demokratis. Bentuk politisasi penyelenggaraan pendidikan antara lain adalah akuntabilitas pemanfaatan sumber daya oleh pemerintah dan masyarakat yang terlibat, pengurangan pembiayaan oleh pemerintah, yang bila tidak terkendali berpotensi memperlemah penyelenggaraan pendidikan karena adanya konflik pengutamaan objektif program di satu kepentingan, sedangkan di sisi lain adanya keinginan untuk menyelenggarakan program secara simultan. Untuk memperoleh sistem pendidikan tinggi yang produktif, dosen harus berkebudayaan wirausaha dengan ciri: (a) percaya diri, (b) berorientasi pada tugas dan hasil, (c) berani mengambil risiko demi kemajuan, (d) berjiwa kepemimpinan yang terbuka dan mudah bergaul atau bekerjasama, (e) berpikir ke arah yang asli, dan (f) orientasi ke masa depan. Pengembanganan kebudayaan kewirausahaan para dosen , dilakukan dengan melalui jalur pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat yang secara keseluruhan bernuansa kewirausahaan. Sumberdaya dosen yang berjiwa kewirausahaan akan menjaga profesionalitas dalam kariernya sesuai dengan kompetensi ilmunya. Secara terbuka akan berani mengatakan dan membela kebenaran ilmiah, dengan tetap berada pada posisinya sebagai seorang dosen. Produktivitas dan mutu karya tulis seorang dosen mencerminkan mutunya sebagai dosen yang mampu menjalankan fungsi keilmuan, bukan sekadar mengajar. Pada gilirannya, kinerja dosen yang banyak membaca, menulis, dan meneliti, akan berbeda dengan mereka yang hanya membaca kemudian mengajar. Dalam mengajar, tipe dosen yang pertama akan lebih kaya, karena mereka telah memperlakukan ilmu baik sebagai proses maupun sebagai produk. Mereka tidak kehilangan akal dalam mengajar atau membimbing mahasiswa, karena tersedia banyak referensi dalam pikirannya. Di pihak lain, tipe dosen yang kedua hanya memperlakukan ilmu sebagai produk, sehingga cara mengajarnya akan kering. Kegiatan keilmuan yang dimaksud di sini meliputi salah satu atau semua dari empat kegiatan ini: (a) penelitian, (b) pengkajian, (c) pengkomunikasian hasil-hasil penelitian dan pengkajian, dan (d) aplikasi hasil-hasil penelitian dan pengkajian dalam praktik. Dalam keempat kegiatan ini terlibat kegiatan usaha memperoleh, memahami, memecahkan, dan menemukan sesuatu. Sesuatu menunjuk kepada masalah yang dipelajari. Dalam hal ini kegiatan keilmuan melibatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi dalam rangka menjelaskan dan mencari jawaban atas masalah-masalah keilmuan. Perguruan tinggi sebagai sistem produksi dapat dinilai dengan tolok ukur: (a) mutu layanan, (b) mutu hasil didik (produk), dan (c) mutu pengelolaan proses pembelajaran. Mutu layanan jasa perguruan tinggi mencakupi: tepat waktu pendidikan, jaminan keberhasilan pendidikan, atmosfir akademik yang mendukung; tidak adanya diskrimanis layanan jasa pendidikan; otonomi penyelenggaraan program; kompetitif dalam kemudahan layanan dan kepercayaan penyelenggaraan. Mutu hasil didik, mencakup: kompetensi pengetahuan dan sikap yang bersertifikasi, dan kompetitif secara nasional dan global; fleksibel hasil didik untuk pindah minat pendidikan dalam proses long life education ; akreditasi penyelenggaraan program; kemampuan membentuk jaringan kerjasama, dengan dikenai prestasi mutu hasil didik. Mutu pengelolaan proses pembelajaran, mencakupi: efisien, akuntabel disertai evaluasi diri minimum persyaratan pembatas; program terencana dan terfasilitasi dengan baik; satuan biaya kompetitif, berbagai fasilitas kemudahan studi; otonomi penyelenggaraan, fleksibel, akuntabel, dalam jaringan kerjasama penyelenggaraan pendidikan secara nasional maupun internasional. Suatu perguruan tinggi selalu bercirikan suatu satuan organisasi profesional, dimana hasil dan dampak yang tersalurkan ke masyarakat sangat ditentukan oleh kemampuan dan kinerja civitas akademika yang dilandasi oleh kreativitas dan kecerdikan. Hal ini memerlukan suasana kerja yang berbeda dari organisasi yang bergerak dalam bidang manufaktur, dimana kualitas kerja sangat ditentukan oleh ketepatan melaksanakan prosedur, yang menyangkut cara, urutan, dan waktu. Bagaimanapun, berdasarkan hasil penelaahan dan pengalaman lapangan tentang organisasi dapat disimpulkan bahwa kreativitas, kecerdikan, dan produktivitas suatu lembaga profesional lebih terangsang oleh pola kerja yang luwes dan mandiri daripada pola kerja yang terstruktur secara kaku. Hal inilah yang dapat dijadikan alasan yang kuat agar perguruan tinggi dapat dikelola berdasarkan asas otonomi. Meskipun dalam perkembangan sejarah, asas otonomi ( yang biasanya berpasangan dengan kebebasan akademik) sering berubah makna dan pelaksanaannya, namun asas ini tetap hidup dan tetap menjadi tuntutan, karena otonomi (kebebasan akademik) sudah sejak lama menjadi ciri kelompok masyarakat yang secara langsung terlibat dengan kegiatan lembaga pendidikan tinggi yang dikenal sebagai universitas. Perguruan tinggi tidak diselenggarakan dalam "ruang hampa", tetapi selalu terkait dan tergantung pada lingkungan dan masyarakat sekitarnya. Hal ini mengakibatkan tata nilai, norma, perundangan, peraturan yang menjadi rambu-rambu dan memandu perkembangan masyarakat, selalu harus diperhatikan dan menjadi acuan dalam pengelolaan perguruan tinggi. Dengan demikian maka asas otonomi yang diberlakukan dalam pengelolaan perguruan tinggi selalu harus disertai dengan pertanggunganjawab atau akuntabilitas.

Tidak ada komentar: