Sabtu, 28 Februari 2009

b)Pendidikan menengah

a.Artikel 1

PENGERTIAN SEKOLAH MENENGAH ATAS

Sekolah Menengah Atas (disingkat SMA), adalah jenjang pendidikan menengah pada pendidikan formal di Indonesia setelah lulus Sekolah Menengah Pertama (atau sederajat). Sekolah Menengah Atas ditempuh dalam waktu 3 tahun, mulai dari Kelas 10 sampai Kelas 12. Pada tahun ajaran 1994/1995 hingga 2003/2004, sekolah ini disebut Sekolah Menengah Umum (SMU).
Pada tahun kedua (yakni Kelas 11), siswa SMA dapat memilih salah satu dari 3 jurusan yang ada, yaitu Sains, Sosial, dan Bahasa. Pada akhir tahun ketiga (yakni Kelas 12), siswa diwajibkan mengikuti Ujian Nasional (dahulu Ebtanas) yang mempengaruhi kelulusan siswa. Lulusan Sekolah Menengah Atas dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi atau langsung bekerja.
Pelajar Sekolah Menengah Atas umumnya berusia 15-18 tahun. SMA tidak termasuk program wajib belajar pemerintah - yakni Sekolah Dasar (atau sederajat) 6 tahun dan Sekolah Menengah Pertama (atau sederajat) 3 tahun - maskipun sejak tahun 2005 telah mulai diberlakukan program wajib belajar 12 tahun yang mengikut sertakan SMA di beberapa daerah, contohnya Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul.[1]
Sekolah Menengah Atas diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta. Sejak diberlakukannya otonomi daerah pada tahun 2001, pengelolaan Sekolah Menengah Atas Negeri di Indonesia yang sebelumnya berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional, kini menjadi tanggung jawab kabupaten/kota. Sedangkan Departemen Pendidikan Nasional hanya berperan sebagai regulator dalam bidang standar nasional pendidikan. Secara struktural, Sekolah Menengah Atas Negeri merupakan Unit Pelaksana Teknis Dinas Pendidikan kabupaten/kota.


b.Artikel 2

KOMUNITAS PENDIDIKAN MENENGAH BERBASIS TIK DILUNCURKAN

Semakin majunya era teknologi informasi dan komunikasi membuat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berpikir keras agar pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) tidak ketinggalan. Karenanya, Pemprov DKI mencanangkan Komunitas Pendidikan Menengah Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Jakarta di dalam pendidikan SMA dan SMK Negeri. Pencanangan komunitas ini diluncurkan langsung Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta melalui pesan singkat kepada seluruh kepala sekolah yang hadir di Balai Agung, Selasa (14/10).

Kemudian Fauzi Bowo diberikan sebuah spidol oleh ROCI buatan seorang pelajar SMA Negeri di Jakarta. Spidol itu dipakai gubernur untuk menandatangi plakat yang disediakan Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi (Dikmenti) DKI Jakarta. Setelah peluncuran ini, artinya pelajar SMA dan SMK DKI tidak ketinggalan dengan negara maju dan berkembang lainnya. Seperti di Korea Selatan telah ada Cyber Korea 2001, Jepang dengan e-Japan Priority Program, Malaysia dengan Smart School dan negara-negara Eropa yang membangun e-Europe.

Meski baru diluncurkan sekarang, sebenarnya kegiatan pendidikan berbasis TIK telah diawali dengan berbagai kegiatan sejak 2003 antara lain pelaksanaan sistem software administrasi sekolah (SAS) offline dan online pada 2004 dan 2006, dan pemberian fasilitas kepemilikan laptop bagi guru pada 2006. Selain itu penambahan perangkat dan jaringan terus dilakukan. Hingga saat ini seluruh SMA/SMK negeri dan lebih dari 70 persen sekolah swasta sudah tersambung dengan jaringan internet.

Komputer yang terhubung ke internet lebih dari 10 ribu unit, dan 100 sekolah terpasang hotspot, 200 ruang guru dilengkapi LCD. Sedangkan guru yang telah memiliki laptop ada sekitar 7 ribu guru. AKhir tahun ini diharapkan seluruh SMA/SMK swasta sudah terhubung ke jaringan internet. Saat ini, terdapat 116 SMA negeri, 62 SMK negeri, 346 SMA swasta, dan 606 SMK swasta. Seluruh SMA dan SMK Negeri, komputernya telah terkoneksi dengan jaringan internet. Sedangkan untuk SMA dan SMK swasta baru, 60 persen terkoneksi dengan jaringan internet. Saat ini hanya ada 200 ruang kelas yang memakai LCD Projector dari puluhan ribu kelas di SMA dan SMK negeri dan swasta di Jakarta.

“Suatu dosa besar, jika Pemprov DKI dan berbagai instansi pemerintah lainnya tidak bisa menyiapkan murid-murid dalam pendidikan berbasis teknologi” - Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta

Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta menekankan, pemanfaatan TIK untuk SMA dan SMK baik negeri maupun swasta, harus diarahkan untuk peningkatan dan perluasan kesempatan belajar, peningkatan mutu pendidikan dan daya saing, serta peningkatan akuntabilitas dan citra publik. “Suatu dosa besar, jika Pemprov DKI dan berbagai instansi pemerintah lainnya tidak bisa menyiapkan murid-murid dalam pendidikan berbasis teknologi,” katanya dalam acara Pencanangan Komunitas Pendidikan Menengah Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Prov DKI Jakarta di Balai Agung, Selasa (14/10).

Karena, murid-murid SMA dan SMK harus siap menjadi basis pengetahuan terhadap ilmu pengetahuan di masa mendatang. Sebab dengan TIK, secara langsung telah memengaruhi cara belajar siswa untuk mengolah berbagai informasi dari berbagai tempat. “Program ini bertujuan meningkatkan sektor informasi TIK terutama di bidang pendidikan yang akan menjadi kunci sukses negara di masa depan,” ujar dia. Hingga tahun ini, di DKI Jakarta telah ada 10 ribu komputer sekolah telah terhubung internet. Sejumlah sekolah telah dilengkapi dengan wi-fi dan hotspot.

Kendati demikian, terang mantan Wakil Gubernur era Sutiyoso ini, 30 persen SMA masih memiliki sistem komputer yang out of date dan perlu di-upgrade. 30 persen SMA dan SMK telah memiliki laboratorium komputer, tetapi 15 persen diantaranya laboratorium komputernya sangat minim sarananya.

Sementara itu, Margani Mustar, Kepala Dikmenti DKI menyatakan, pencanangan komunitas berbasis TIK ini merupakan upaya untuk membangun kultur yang memotivasi siswa agar mampu mandiri dalam berpikir dan belajar. Pencanangan ini merupakan wujud kolaborasi antara dinas pendidikan menengah dan tinggi, sudin dikmenti, sekolah, telkom, microsoft, oracle education foundation, one`s beyond dan yayasan yang berkecimpung dibidang pendidikan lainnya. “Target ke depan, setiap kelas ada LCD Projector dan komputer. Kemudian ada ruangan khusus untuk multimedia dan local area networking untuk memungkinkan pembelajaran online siswa se-Jakarta,” harap Margani.

Pencanangan Komunitas Pendidikan Menengah Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) bukan untuk menghilangkan sisi humanisme para siswa, melainkan hanya untuk pembangunan kultur pemanfaatan TIK. Untuk mewujudkan masyarakat yang berpengetahuan, maka masyarakat harus selalu dapat mengakses informasi. Dengan tersedianya infrastruktur TIK, sekolah harus membentuk jejaring antar institusi pendidikan agar dapat saling menukar pengetahuan dan sumber daya.(beritajakarta)

c.Artikel 3

STRATEGI PEMBELAJARAN QUANTUM TEACHING DAN QUANTUM LEARNING

Seperti kita ketahui, di dalam dua tiga dasa warsa terakhir ini perkembangan teknologi itu berjalan dengan amat cepat. Teknologi yang di hari keamarin masih dianggap modern (sunrise teohnology ) bukan tak mungkin hari ini sudah mulai basi (sunset technology).
Teknologi baru terutama multimedia mempunyai peranan semakin penting dalarn pembelajaran. Banyak orang percaya bahwa multimedia akan dapat membawa kita kepada situasi belajar dimana learning with effort akan dapat digantikan dengan learning with fun. Apalagi dalam pembelajaran orang dewasa, learning with effort menjadi hal yang cukup menyulitkan untuk dilaksanakan karena berbagai faktor pembatas, seperti kemauan berusaha, mudah bosan dll. Jadi proses pembelajaran yang menyenangkan, kreatif, tidak membosankan menjadi pilihan para guru/fasilitator. Jika situasi belajar seperti ini tidak tercipta, paling tidak multimedia dapat membuat belajar lebih efektif menurut pendapat beberapa pengajar.
Pada saat ini kita semua memahami bahwa proses belajar dipandang sebagai proses yang aktif dan partisipatif, konstruktif, kumulatif, dan berorientasi pada tujuan pembelajaran, baik Tujuan Pembelajaran Umum (TPU) maupun Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK) untuk mencapai kompetensi tertentu.
SMK yang sudah mapan pada umumnya menggunakan teknologi multimedia di dalam kegiatan pembelajaran di kelas. Pada beberapa tahun lalu yang masih menggunakan Overhead Projector (OHP) dan menggunakan media Overhead Transparancy (OHT), pada saat ini menjadi tidak mode dan mulai ditinggalkan. Beberapa kelebihan multimedia seperti tidak perlu pencetakan hard copy dan dapat dibuat/diedit pada saat mengajar menjadi hal yang memudahkan guru dalam penyampaian materinya. Berbagai variasi tampilan/visual bahkan audio mulai dicoba seperti animasi bergerak, potongan video, rekaman audio, paduan warna dll dibuat untuk mendapatkan sarana bantu mengajar yang sebaik-baiknya. Bahkan pada beberapa kesempatan telah diadakan ToT Multimedia dan juga In House Training.

d.Artikel 4

CITRA SEKOLAH KEJURUAN DAN MADRASAH SEBAGAI Di SEKOLAH KELAS DUA

Adalah fenomena bahwa pendidikan atau sekolah itu sudah terkotak- kotak di Indonesia dan dimana-mana di atas dunia ini. Untuk Indonesia ada sekolah agama dan ada sekolah umum, orang yang taat menyebutnya dengan sekolah sekuler. Ada sekolah swasta dan ada sekolah negeri. Kemudian secara vertikal ada Sekolah Dasar (SD), SMP, STLA dan perguruan tinggi. Untuk tingkat SLTA ada namanya SMA, MA dan SMK.
SMA jumlah sangat banyak dan terlihat serba diperhatikan alias dianak emaskan oleh masyarakat, pemerintah dan malah juga oleh media massa. Event- event yang ada di SMA dikupas tuntas dan disebarluaskan, kemudian berita- berita tentang MAN dan SMK porsi nya tidak berimbang dibandingkan SMA. Secara konvensional orang mengatakan bahwa anak- anak yang belajar pada MAN kelak bisa menjadi anak surga (baca: generasi yang taat) dan dulu ketika STM belum lagi dikenal dengan sebutan SMK, dikenalkan sebagai sekolah yang murid- muridnya suka berkelahi massal atau tawuran..

Pemerintah tampaknya menjadikan SMA sebagai “anak emas” dan agar lulusannya bisa berkualitas maka pemerintah (dan juga tokoh politik di DPR) menyelenggarakan berbagai kegiatan dan program yang jauh lebih intensive dan sampai mematok standar kelulusan SMA. Karena hanya dari SMA lah kelak lahir dan bermunculan pemimpin bangsa, tokoh intelektual dan orang- orang hebat. Kemudian mengapa kualitas SMK dan MAN tidak begitu banyak disorot, digubris, dicikaraui apakah tak mungkin akan lahir pemimpin bangsa dan orang orang hebat dari kedua institusi pendidikan ini (?).

Dunia pendidikan atau dunia sekolah itu ibarat anak kecil, itu karena di sana merupakan tempat kedua terjadinya proses sosialisasi bagi anak-anak (anak didik) setelah rumah mereka. Anak- anak yang memperoleh cukup perhatian, banyak pengalaman dan kaya rangsangan atau stimulus secara kognitif, psikomotorik dan afektif akan tumbuh menjadi anak yang percaya diri. sementara anak yang merasa kurang diperhatikan dan kurang pula dalam memperoleh stimulus dan kesempatan untuk bereksperimen, cenderung mempunyai karakter “withdrawal” atau suka menarik diri, mengalami perasaan inferior complex atau rendah diri.
Masyarakat dan pemerintah adalah ibarat orang tua bagi dunia pendidikan. Sebut saja anak mereka yang berusia remaja bernama “SMK, MAN dan SMA’. Dewasa ini perhatian pemerintah menurut kacamata orang awam, perhatian mereka terhadap pendidikan siswa SMA sungguh banyak porsinya. Bila ada prestasi yang diukir oleh siswa SMA maka publikasinya terasa sangat menggema sampai ke mana- mana sementara publikasi tentang kegiatan yang ada pada SMK dan Man cenderung sepi atau biasa- biasa saja. Anggaplah pemerintah cukup bersikap adil (dan memang pemerintah sudah adil dalam memberikan kebijakan terhadap pendidikan di SMA, SMA dan SMK), namun sekarang tinggal lagi perlakuan masyarakat (?).
Adalah fenomena dalam masyarakat, bahwa SMA adalah sekolah bagi anak- anak yang ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Masukan anak ke MAN agar ia bisa menjadi orang taat dan SMA adalah sekolah sekuler. Kemudian pilihlah SMK kalau orangtua tidak mampu secara finansial, dan biar lah anak belajar di sana agar kelak cepat memperoleh kerja – menjadi pekerja, menjadi buruh atau menjadi TKI (?).
Dalam setting pada mulanya, keberadaan SMA, SMK dan MAN adalah sama dan cukup bagus. Namun dalam pelaksanaan dalam masyarakat terlihat kecendrungan bahwa kalau orang tua punya anak yang cerdas atau ingin punya anak cerdas maka mereka harus mengirim (dan mencarikan SMA) yang berbobot untuk mendidik mereka, agar kelak bisa tumbuh jadi orang terpandang. Apa saja persyaratan yang diminta oleh komite sekolah (di SMA) terhadap orang tua, maka hampir seratus persen akan dipenuhi. Sementara itu bila anak kalah dalam seleksi otak, atau anak orang tuanya kalah seleksi secara finansial atau keuangan maka mereka diultimatum, direkomendasikan atau sangat dianjurkan agar memilih SMK saja. Maka jadilah SMK ini sebagai tempat bersekolahnya anak- anak dengan mental inferior complex, berasal dari orang tua dengan ekonomi lemah dan anak- anak yang kualitas otaknya kurang beruntung.
Adalah fenomena umum bahwa kualitas pendidikan sekolah agama itu dipandang lebih rendah dari sekolah umum. Citra ini diciptakan sendiri oleh anak didik dan masyarakat. Tengoklah eksistensi ini pada banyak sekolah. Anak- anak pintar yang belajar di sana semuanya bermimpi agar bisa kuliah kelak pada universitas favorite yang berada di pulau Jawa atau kalau perlu langsung di universitas luar negeri. Kalau gagal maka tahun depan (atau sudah pasang ancang- ancang) untuk memilih universitas ngetop di provinsi mereka. Bila gagal atau merasa kemampuan otak lemah maka dengan rasa enteng mereka memilih perguruan tinggi Islam, dan pada akhirnya berkumpulah orang orang yang kultur dan percaya diri nya rendah belajar di perguruan tinggi ini.
Kemudian juga menjadi fenomena bahwa dalam rekruitmen tenaga pendidik, maka orang yang merasa pintar cenderung memilih sebagai guru SMA, kemudian sisanya bagi yang merasa diri bersahaja atau takut kalah dalam persaingan , mereka memilih untuk menjadi tenaga pengajar pada MAN.
Dalam fakta bahwa cukup banyak guru berkualitas dan bermutu yang hadir sebagai tenaga pendidik di MAN dan SMK. Namun kenapa kedua sekolah ini tidak menggeliat dalam hal mutu secara umum(?). keberadaan tenaga pendidik agaknya tidak lah menjadi masalah karena mereka bersal dari perguruan tinggi yang sama dengan rekan- rekan mereka di SMA. Yang menjadi masalah adalah sikap anak didik yang belajar di sana, sebagai produk sosialisasi dari rumah mereka, yang terbentuk dari lingkungan rumah untuk menjadi orang yang serba bersahaja, sikap fatalistic atau pasrah dan ini adalah menjadi tugas bagi pemerintah dan masyarakat untuk menyembuhkan gejala inferior complex mereka.
Kalau sekolah MAN dan SMK merasa sebagai sekolah kelas dua, gara- gara citra yang telah dibentuk oleh masyarakat, pemerintah, aktor politik dan pemberitaan media massa . Maka untuk mengembalikan harga diri atau citra mereka, tentu menjadi tanggung jawab masyarakat, pemerintah, aktor politik dan media massa pula.
Masyarakat tentu perlu juga untuk memberikan perhatian dan partisipasi dalam membesarkan dan menumbuhkan harga diri kedua sekolah ini. Adalah juga tepat bila orang tua memiliki anak cerdas dan super cerdas menyuruh mereka untuk belajar di sini dan kemudian ikut mendukung program pengembangan mutu pendidikan. Pemerintah dan aktor politik juga harus adil. Bila mereka berdebat tentang kualitas pendidikan di SMA- seperti membahas angka kelulusan SMA, maka coba pulalah untuk berdebat untuk meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah MAN dan SMK. Kemudian media masa juga harus berimbang dalam pemberitaan, janganlah hanya rajin mencari berita yang serba bagus ke SMA, tapi ia juga perlu bekerja intensive untuk meliput pendidikan pada MAN dan SMK. Media Massa hanya rajin meliput .Pendidikan MAN (agama) seputar bulan puasa Cuma.
Namun sebagai orang yang mau dewasa, maka Man dan SMK juga tidak boleh menyalahkan pihak lain- masyarakat, pemerintah, aktor politik dan orang tua atau masyarakat sebagai sumber masalah, menjadikan kedua sekolah ini sebagai sekolah kelas dua. Dalam pelajaran agama kita diberitahu bahwa “Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum (nasib kita), kecuali kita sendiri yang mengubah nasib ini”. Maka MAN dan SMK bisa dan harus menjadi sekolah kelas satu (first class), usahanya harus dilakukan oleh segenap personalia di sekolah ini- guru, murid, orang tua dan lingkungan.
Sekolah ini perlu melakukan publikasi , melakukan lomba yang eventnya dikemas seapik mungkin dan dipublikasikan. Untuk SMA biasanya ada lomba English speech contest, maka siswa MAN juga harus menggelar Arabic Speech contest, dan setting suasana menjadi moderen. SMK mungkin bisa melakukan robot creative contest. Atau perlombaan kreativitas lain. Kemudian kedua sekolah ini coba menumbuhkan prilaku yang smart (walau cukup banyak prilaku yang sama terjadi pada beberapa SMA), mengembangkan sikap intelektual, sikap kritis, menjauhi sikap kekanak- kanakan. Mengembangakan program kepintaran berganda anatara IQ, SQ dan EQ. pintar dengan angka- angka, pintar olah raga, pintar berpidato, pintar mengelola waktu, menguasai bahasa asing, komputer dan internet dan mantap nilai keimanan. Pendek kata berimbang anatara IPTEK dan IMTAQ (ilmu pengetahuan dan tekhnologi- serta iman dan taqwa).

e.Artikel 5

REDIP SEBAGAI MODEL UNTUK MENINGKATKAN PENDIDIKAN MENENGAH PERTAMA

Jakarta, Selasa (8 Juli 2008) — Program Pengembangan dan Peningkatan Pendidikan Daerah atau Regional Education Development and Improvement Program (REDIP) dapat dijadikan model untuk meningkatkan pendidikan menengah pertama. REDIP adalah program sederhana, tetapi komprehensif yang memungkinkan sekolah dan kecamatan untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri sesuai dengan aspirasi dan prioritas mereka sendiri. Meskipun sederhana, program ini dapat meningkatkan akses, mutu, dan manajemen secara bersamaan.

Program REDIP ini memberikan dana bantuan kepada sekolah dan tim pengembangan pendidikan kecamatan (TPK) sesuai proposal yang diajukan. Sekolah dan TPK bebas mengusulkan kegiatan apa saja sesuai kebutuhan dan prioritas mereka sendiri. Dengan menggunakan dana bantuan, sekolah dan TPK melaksanakan kegiatan yang diusulkan.

Sesudah menyelesaikan kegiatan, sekolah menyusun laporan keuangan dan laporan kegiatan lalu menyerahkannya kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota untuk diperiksa. REDIP mendorong mengambil inisiatif dan mempertanggungjawabkan usaha sekolah sendiri dalam meningkatkan pendidikan dan berfungsi sebagai pengamat pasif.

Kepala Sub Direktorat Kelembagaan Sekolah Direktorat Pembinaan SMP Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Kasubdit Kelembagaan Sekolah Dit.PSMP Ditjen Mandikdasmen) Depdiknas Yenni Rusnayani mengatakan, sejak 2005 Depdiknas telah mengadopsi program ini dengan bantuan teknis dari Japan International Cooperation Agency (JICA). Program ini sampai 2008 telah dikembangkan di Kabupaten Bogor, Kabupaten Tangerang, dan Kabupaten Bekasi mencakup 32 kecamatan dari sebanyak 391 SMP negeri dan swasta.

Yenni mengatakan, program REDIP, yang kemudian diubah menjadi program pengembangan SMP berbasis masyarakat (PSBM) sangat cocok dengan kondisi masyarakat Indonesia yang menghendaki penyelenggaraan pendidikan melalui prinsip bottom-up, desentralisasi penyelenggaraan, dan partisipasi masyarakat. “Program PSBM memberikan kontribusi terhadap penyelenggaraan pendidikan oleh kepala sekolah dan juga memberikan dampak untuk peningkatan mutu pembelajaran,” katanya pada REDIP Workshop dan Expo di Hotel Sultan, Jakarta, Selasa (8/07/2008).

Kepala Seksi Perencanaan Subdit Program Dit.PSMP Ditjen Mandikdasmen Depdiknas Supriano mengatakan, hasil yang dicapai melalui program ini adalah terjadinya perubahan pada sekolah, kecamatan, dan masyarakat. Dia mencontohkan, manajemen di sekolah menjadi demokratis dan transparan, pihak kecamatan yang semakin proaktif kepada pendidikan, dan masyarakat lebih peduli terhadap pendidikan. “Orang tua mendukung apa yang dikembangkan oleh sekolah. Semua kegiatan di sekolah selalu dikomunikasikan dan pengembangan sekolah dibicarakan dengan orang tua murid,” katanya.

Dia menyebutkan, program REDIP Government (REDIP G) yang didanai 100 persen APBN sampai 2008 sudah mengalokasikan anggaran hampir Rp.45 milyar untuk tiga kabupaten yakni Bogor, Bekasi, dan Tangerang. Selain REDIP G, kata dia, juga ada program REDIP Mandiri yang didanai oleh APBD, REDIP Pengembangan, dan REDIP Perluasan Pelaksanaan.

Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah Munthoha Nasuha mengatakan, implementasi program REDIP sejak 1999 dimulai dari dua kecamatan, kemudian berkembang menjadi sepuluh kecamatan, dan seluruhnya sebanyak 17 kecamatan. “Awalnya program difokuskan pada bidang manajemen sekolah dengan pola transparansi, sehingga semua rencana anggaran dipaparkan di papan dan di pintu masuk sekolah,” katanya.

Konsultan Nasional REDIP Winarno Surachmad, mengatakan, karakteristik Program REDIP adalah mudah, murah, tanpa resiko, dan low tech. “REDIP menjawab pertanyaan bagaimana mengembangkan pendidikan di daerah berdasarkan kekuatan dari bawah, tanpa duit, dan tanpa ahli,” katanya.

Ketua Tim REDIP-JICA Norimichi Toyomane mengatakan, indikator yang memperlihatkan bahwa program tersebut berhasil yakni, meningkatnya nilai Ujian Nasional, meningkatnya motivasi siswa untuk sekolah, meningkatnya motivasi guru dalam proses belajar mengajar dan juga motivasi dari kepala sekolah dalam memanajemen sekolahnya.
f.artikel 6
Pendidikan dasar dan pendidikan menengah
Saya tengah menulis disertasi tentang pendidikan menengah di Indonesia. Pada bab 2 saya mencoba membuat studi komparasi antara pengertian, perkembangan/perubahan pendidikan menengah selama masa penjajahan Belanda, Jepang, masa kemerdekaan, Repelita, dan reformasi. Objek kebijakan yang saya kaji adalah UU Sisdiknas dari tahun 1950, 1989 dan 2003, beserta PP, Permen, Kepmen lain yang terkait.
Untuk menganalisa topik itu saya secara umum menggunakan referensi dari dua buku utama yaitu 50 tahun Pembangunan Pendidikan Nasional 1945-1995 karangan Bapak H.A. R Tilaar (1995) dan buku 50 tahun Pendidikan di Indonesia yang dibuat pada jaman Mendikbud Wardiman Djoyodiningrat (1996). Selain itu beberapa literatur supplement dari jurnal.
Kedua buku menguraikan secara rinci sejarah pendidikan di Indonesia. Definisi tentang pendidikan dasar dan pendidikan menengah juga disebutkan dengan jelas dalam UU no 4 tahun 50, tetapi wording menjadi unclear dalam UU no 2 tahun 1989 dan UU no 20 tahun 2003.
Sayangnya saya tidak bisa mengakses online karya-karya di IKIP/UP di Indonesia, sehingga saya tidak mendapatkan apakah sudah ada yang menganalisa perubahan ini dengan detil. Saya minta tolong kepada Pak Dedi Dwitagama, karena saya tahu beliau punya relasi yang luas di dunia pendidikan.
Untuk membandingkan ketiga UU secara komprehensive, saya menggunakan metode/aspek/dimensi yang digunakan R Murray Thomas dalam sebuah papernya ketika menganalisa maturity UU no 20/1989.
Jika menyoroti pengertian pendidikan dasar dalam UU 50 yang disebut dengan pendidikan rendah, definisinya sangat jelas, bahwa level ini adalah level untuk menumbuhkan minat, mengasah kemampuan pikir, olah tubuh dan naluri. Sedangkan pendidikan menengah adalah pendidikan yang lebih mengarah kepada persiapan kerja dan lanjut ke PT. Berikut ini uraiannya,
Pendidikan dan pengadjaran rendah bermaksud menuntun tumbuhnya rohani dan jasmani kanak-kanak, memberikan kesempatan kepadanya guna mengembangkan bakat dan kesukaannya masing-masing, dan memberikan dasar-dasar pengetahuannnya, kecakapan dan ketangkasan, baik lahir maupun bathin.
Pendidikan dan pengadjaran menengah (umum dan vak) bermaksud melanjutkan dan meluaskan pendidikan dan pengajaran jang diberikan di sekolah rendah untuk mengembangkan cita-cita hidup serta membimbing kesanggupan murid sebagai anggota masyarakat, mendidik tenaga-tenaga ahli dalam berbagai lapangan khusus sesuai dengan bakat masing-masing dan kebutuhan masyarakat dan/atau mempersiapkannya bagi pendidikan dan pengadjaran tinggi.
Definisi ini menjadi disederhanakan dalam UU no 2/1989.

Seperti berikut ini :

Pendidikan dasar diselenggarakan untuk mengembangkan sikap dan kemampuan serta memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar yang diperlukan untuk hidup dalam masyarakat serta mempersiapkan peserta didik yang memenuhi persyaratan untuk mengikuti pendidikan menengah.

Pendidikan menengah diselenggarakan untuk melanjutkan dan meluaskan pendidikan dasar serta menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan lebih lanjut dalam dunia kerja atau pendidikan tinggi.
Adapun UU no 20 tahun 2003 menyebutkan seperti ini :

(1)Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah.(2) Pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.
(1)Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar.(2) Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan.(3) Pendidikan menengah berbentuk sekolah menengah atas (SMA), madrasah aliyah (MA), sekolah Menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.
UU 1989 dan 2003 memang dilengkapi dengan ayat bahwa hal-hal yang belum jelas akan dirincikan dalam PP, namun PP terakhir tentang Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah yang saya ketahui adalah PP no 28 tahun 1990 tentang pendidikan dasar, dan saya belum menemukan PP tentang pendidikan menengah.
Tapi dari pendefinisian yang termaktub dalam UU di atas, secara objektif kita dapat mengatakan bahwa definisi UU 50 lebih rasional dan lebih menyentuh esensi pendidikan, yaitu pendidikan tiga dimensi, tubuh, jiwa, dan otak. Bakat dan kesukaan sebagai sebuah hal yang mulai diabaikan saat ini karena semua anak harus digiring menuju arena kompetisi, tidak disebutkan dengan jelas pembinaannya dalam UU selanjutnya. UU 1989 dan 2003 memberikan beban lebih kepada anak yang belajar di level pendidikan dasar untuk siap menjadi anggota masyarakat, yang sama sekali tidak disebutkan dalam UU 1950.

Pendidikan menengah pda ketiga UU tidak mengalami perubahan yang berarti dalam pemaknaan. Tetapi terjadi perubahan dalam kategori sekolah pada jenjang pendidikan. Yaitu, dalam UU 1950, pendidikan dasar adalah SD. Sedangkan dalam UU 1989 dan 2003 pendidikan dasar adalah SD dan SMP serta sekolah yang sederajat. Pendidikan menengah adalah SMA, yang semula pada UU 1950, terdiri dari SMP dan SMA.
Perubahan itu barangkali terjadi karena program wajib belajar 9 tahun. Program wajar dalam UU terbaru disebutkan sebagai program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun. Penggolongan baru ini menimbulkan beberapa pertanyaan : apakah pendidikan di level SMP dapat dikatakan sebagai materi pendidikan dasar ? Jika ya, maka mengapa penamaan sebagai sekolah menengah masih dipakai ? Jika ini dimaksudkan untuk mensukseskan wajib belajar, maka seharusnya SD dan SMP digabungkan, sehingga masalah yang muncul dalam transisi SD ke SMP dapat teratasi (penelitian McClean, 2002 tentang kondisi di Eropa).
Konsekuensi lain dalam penggabungan adalah perlu dilakukan perubahan dalam proses penerimaan siswa setelah lulus SD. Yaitu, tidak perlu ada rayonisasi atau seleksi sekolah, tetapi harus dibuat lokalisasi SD dan SMP. Sebagai contoh siswa SD di kecamatan/kelurahan A hanya boleh mendaftar di SMP kecamatan/kelurahan A, dengan tanpa dipungut uang masuk dan SPP.
Proses lokalisasi akan menghemat pengeluaran penduduk untuk biaya pendidikan dan menjamin semua anak lulusan pendidikan formal, non formal dan informal level SD dapat diterima di SMP di lokasinya.
g.Artikel 7
Relevankah pendididkan menengah??
selama beberapa dekade, pendidikan formal telah menjadi bagian alami dari kehidupan masyarakat moderen sedemikian sehingga kita melihat sekolah sebagai prasyarat untuk menjalani kehidupan yang produktif. Mereka yang tidak bersekolah hampir dapat dianggap akan tersisih dari tatanan masyarakat moderen, tanpa adanya pilihan maupun keberuntungan.
Namun bagaimana sebenarnya pendidikan formal, terutama sekolah menengah, memberikan kontribusi terhadap masyarakat Indonesia? Dua berita di Kompas mengindikasikan bahwa
hanya 17,2% dari 28 juta penduduk Indonesia usia 19-24, dan 6,2% dari 306.749 murid di SMP Terbuka yang dapat meneruskan ke jenjang pendidikan tinggi (5 Agustus 2008).
Padahal kebanyakan SMU, terutama SMUN, masih menekankan hafalan terhadap lebih dari selusin mata pelajaran setiap minggunya dan mempersiapkan siswa untuk Ujian Nasional, dengan harapan kebanyakan dari lulusan sekolah akan melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi. Namun ternyata upaya ini hanya mencakup 17,2% pemuda-pemudi Indonesia. Lalu apakah fungsi pendidikan di sekolah menengah bagi 82,8% ‘sisa’nya?
Dalam sebuah kunjungan ke SMAN 1 di Desa Marangkayu, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, saya mengamati siswa-siswi di kelas Kimia sedang belajar menghitung lokasi atom pada tabel periodik untuk mengidentifikasi jenis zatnya. Padahal sekolah tersebut tidak memiliki dana untuk melangsungkan eksperimen di laboratorium kimia, sehingga kemungkinan besar siswa-siswi tidak akan pernah melihat zat-zat kimia yang telah mereka identifikasikan.
Walaupun sebagian dari lulusan SMAN 1 berencana melanjutkan ke universitas, lebih banyak yang akan mencoba memasuki dunia kerja dengan menggunakan ijazah SMA mereka sebagai satu-satunya modal. Di desa yang berpenduduk 22.117 orang, hanya 7% lulusan SMU dan 1,2% lulusan diploma dan sarjana. Dengan kata lain, hanya sekitar 14,6% lulusan SMU yang melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya (Kecamatan Marangkayu, 2008). Lalu apakah gunanya kemampuan untuk mengidentifikasi jenis zat sebuah atom untuk kehidupan dan masa depan kebanyakan murid disana? Nyaris tidak ada.
Ijazah SMU telah dianggap sebagai paspor untuk memasuki dunia kerja, padahal Survei Angkatan Kerja Nasional menunjukkan dari 10 juta pengangguran usia kerja, 55% berpendidikan sekolah menengah (BPS, 2008). Jelas, lulusan sekolah menengah tidak dipersiapkan dan tidak memiliki ketrampilan untuk memasuki dunia kerja.
Pendidikan menengah di Indonesia sangat terfokus pada pengembangan kemampuan akademik menuju universitas, dan karenanya tidak – atau lebih tepatnya belum – relevan bagi mayoritas pemuda-pemudi Indonesia. Pertanyaan yang berikutnya muncul adalah: Lalu, pendidikan menengah seperti apa yang lebih relevan?
Mengambil Desa Marangkayu sebagai contoh kasus, 78% perekonomian di Kabupaten Kutai Kartanegara datang dari bidang pertambangan dan penggalian, dan 11% dari pertanian (ProVisi Education, 2007). Sementara di Desa Marangkayu 28,4% bekerja di bidang pertanian dan perkebunan karet, 5% karyawan, 1,7% wiraswasta, dan 2,8% bekerja di bidang pertukangan, nelayan, dan jasa, sementara sisanya tidak terdata (Kecamatan Marangkayu, 2008).
Dengan kata lain, sedikitnya 78% sumber perekonomian tidak melibatkan peran dan belum mensejahterakan kebanyakan warga Desa Marangkayu. Dapatkah pendidikan menengah mencoba mengatasi kesenjangan antara kualitas sumber daya manusia dengan kemampuan untuk mengolah sumber alam lokal? Bukankah pekerjaan kebanyakan penduduk di bidang pertanian dan perkebunan karet seharusnya dapat dijadikan sumber pembelajaran?
Saya tidak menyarankan agar semua sekolah menengah di Kabupaten Kutai Kartanegara berbondong-bondong memfokuskan perhatiannya pada bidang pertambangan, penggalian, dan pertanian. Namun dari pemahaman yang lebih mendalam tentang sumber daya alam lokal, pembelajaran di sekolah dapat bersifat lebih kontekstual dan bermakna bagi keberlangsungan kehidupan dan kemajuan komunitas lokal.
Misalnya, dalam pelajaran Sejarah, Sosiologi, dan Ekonomi, siswa dapat meneliti asal usul keberadaan Desa Marangkayu, latar belakang sosial ekonomi, jenis pekerjaan, dan permasalahan sosial. Dalam pelajaran Geografi siswa dapat mendatangi lahan-lahan pertambangan, perminyakan, pertanian, dan perkebunan untuk mengkaji perbedaan antar lahan. Kegiatan tersebut dapat dikaitkan dengan pelajaran Biologi yang mengkaji kondisi dan masalah lingkungan, ekosistem, jenis tanaman dan binatang lokal, dll.
Kemampuan siswa dalam mewawancara, menganalisa, dan membuat laporan mengasah ketrampilan interpersonal, berpikir, dan berbahasa Indonesia. Pengetahuan tentang sumber daya lokal, dari rumput-rumput ilalang, berbagai jenis daun, dan batu-batuan dapat dijadikan bahan dasar untuk pelajaran Kesenian dan Teknik Ketrampilan, yang hasilnya dapat dijual ke kota terdekat untuk menjajagi kemampuan berwiraswasta.
Kegiatan-kegiatan tersebut bertujuan memberikan ketrampilan dan pengetahuan lokal yang memungkinkan sebagian besar siswa untuk langsung terjun ke dunia kerja, tanpa mengesampingkan pengetahuan akademik bagi mereka yang mampu dan memiliki kesempatan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Dari pembahasan contoh kasus di atas, tersirat bahwa solusi untuk permasalahan pendidikan menengah yang lebih relevan membutuhkan kajian mengenai kondisi lokal sehingga solusinya bersifat kontekstual terhadap komunitas. Kondisi komunitas yang berbeda membutuhkan solusi yang berbeda pula.
Pendidikan menengah yang kita kenal sekarang baru memberikan tawaran solusi yang diseragamkan dengan menggunakan sebagian kecil penduduk Indonesia sebagai tolak ukur. Sementara untuk mayoritas penduduk, masih perlu dikaji dan dirumuskan bentuk-bentuk pendidikan yang lebih relevan, yang kemungkinan besar belum kita kenal sekarang.
h.Artikel 8
Dinas Pendidikan Menengah Umum - Dinas Pendidikan Kaltim
Program-program yang ditawarkan dan langsung ditangani secara terpusat oleh Dinas Pendidikan Provinsi Kaltim pada Bidang Dikmenum melalui program Peningkatan Mutu Pembelajaran secara umum dapat dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu 1) pemerataan dan perluasan akses, 2) mutu, relevansi dan daya saing, serta 3) governance, akuntabilitas dan pencitraan public. Bagian berikut akan mendiskripsikan masing-masing program tersebut.

A. Pemerataan dan Perluasan Akses

Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun dicanangkan pada tahun 1994 dan diharapkan dapat tuntas pada tahun 2003/2004. Namun, krisis multidimensi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 menyebabkan target tersebut tidak dapat tercapai. Target penuntasan Wajar yang bermutu disesuaikan dari 2003/2004 menjadi 2008/2009. Permasalahan yang masih perlu penanganan bersama diantaranya adalah :

Jumlah anak usia 13 – 15 tahun yang belum mendapatkan layanan pendidikan pada tahun 2005 masih cukup tinggi, yaitu sekitar 1,9 juta.
Angka Partisipasi Kasar SMP dari 118 kabupaten/kota di Indonesia masih di bawah 75%
Angka putus SMP masih sebesar 2,74 % (272.000 anak) yang dimungkinkan disebabkan karena faktor kemiskinan (jumlah keluarga miskin di Indonesia tahun 2005 mencapai 17%).
Peran Pemda dalam penuntasan Wajib Belajar 9 Tahun masih rendah
Adanya kesenjangan budaya dan kesetaraan gender
Sarana dan prasarana pendidikan kurang memadai.
Beberapa permasalahan di atas memerlukan penyelesaian yang berbeda-beda. Agar semakin banyak anak usia 13 – 15 tahun dapat melanjutkan pendidikan di jenjang SMP salah satu upayanya adalah meningkatkan daya tampung pada jenjang SMP.
Adapun program-program yang ditawarkan Dinas Pendidikan Provinsi Kaltim Pembinaan SMP dalam kelompok ini mencakup : unit sekolah baru (USB), pembangunan ruang kelas baru (RKB), SMP Terbuka, Beasiswa SMP Terbuka, sosialisasi penuntasan Wajib Belajar dan SD-SMP Satu Atap. Ringkasan informasi masing-masing program tersebut sebagai berikut.
Unit Sekolah Baru (USB)
Pembangunan Ruang Kelas Baru (RKB)
SMP Terbuka
Sosialisasi Penuntasan Wajib Belajar 9 Tahun
Pengembangan SD SMP Satu Atap

B. Mutu, Relevansi dan Daya Saing

Beberapa tantangan yang dihadapi dalam peningkatan mutu, relevansi dan daya saing pendidikan SMP diantaranya :
Walaupun nilai rata UAN SMP Nasional tahun 2004/2005 sebesar 6.28, masih ada 4.703 SMP atau 21.47% SMP yang pencapaiannya di bawah 5,5.
Prestasi non akademik masih minimal
Angka mengulang kelas masih cukup tinggi, yaitu sebanyak 31.154 pada tahun 2005.
Proses pembelajaran belum bermutu.
Dalam rangka peningkatan mutu dan relevansi pendidikan, Dinas Pendidikan Provinsi Kaltim Pembinaan Sekolah Menengah Pertama akan melaksanakan beberapa program yang dikoordinir adalah : .
Pembelajaran Kontekstual
Sosialisasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
Pendidikan Teknologi Dasar (PTD)
Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skills)
Pembelajaran Bilingual
Program Matrikulasi/Bridging Course
Program Kesiswaan
Widyakrama
Pembinaan Sekolah
Regional Education Development and Improvement Program-Government (REDIP-G)
Pembangunan Ruang Penunjang Pembelajaran Lain (RPL)

C. Governance, Akuntabilitas dan Pencitraan Public

Dalam rangka mengawal program-program yang akan diimplementasikan, Dinas Pendidikan Provinsi Kaltim Pembinaan SMP melakukan berbagai upaya baik di tingkat pusat maupun di level sekolah untuk membuat agar program-program itu benar-benar mencapai sasaran dan akuntabel.
Di tingkat pusat, program yang dilaksanakan untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan yang bersih dan akuntabel adalah pengembangan Sistem Informasi Manajemen Dinas Pendidikan Provinsi Kaltim Pembinaan SMP. Sedangkan untuk di level sekolah, Dinas Pendidikan Provinsi Kaltim Pembinaan SMP menekankan implementasi Manajemen Berbasis Sekolah pada seluruh Sekolah Menengah Pertama. Di samping itu, Dinas Pendidikan Provinsi Kaltim Pembinaan SMP juga melaksanakan berbagai program yang sifatnya mengantar, membina atau melakukan supervise dan memonitor kegiatan di lapangan. Bagian berikut, akan mendiskripsikan ketiga kelompok kegiatan itu.

1.Pengembangan SIM Direktorat Pembinaan SMP
2.Manajemen Berbasis Sekolah
3.Monitoring dan Evaluasi Independen
4.Program-program lain
i.artikel 9
(Berbagai Paradigma Serta Perubahan Budaya Menyongsong Era Informasi, Globalisasi dan Otonomi Pendidikan)

Proses demokratisasi di Indonesia telah menimbulkan keterkejutan budaya (cultural shock). Secara alamiah, manusia cenderung mencari kemapanan sehingga tidak menyukai perubahan, apalagi yang berlangsung sangat cepat. Sedangkan Indonesia selama tiga dasa warsa didominasi iklim kekuasaan otoritarian, sentralistik dan status quo. Sehingga masa reformasi adalah periode yang dipenuhi kontradiksi di semua bidang kehidupan.
Namun, manusia dikaruniai kemampuan beradaptasi, sehingga reformasi merupakan tempat untuk melakukan dan menerima perubahan. Dan ini merupakan esensi upaya untuk tetap bertahan hidup, naluri survival.
Keterkejutan ini menciptakan kesadaran baru, selama ini kita ternyata hidup di alam mimpi indah namun realitanya tertinggal dari bangsa lain. Bangsa kita ibarat baru saja lahir kembali, belajar mandiri secara instan sembari saling cakar. Di sisi lain SDA yang dibanggakan dan diandalkan ternyata telah dikuras untuk kemakmuran sebagian orang saja, praktis tidak ada lagi potensi tersisa selain tumpukan hutang, bom politik, sosial, ekonomi, budaya, hukum, keamanan dan berbagai masalah yang tanpa ujung pangkal.
Hanya sedikit anak muda bangsa yang mampu bertahan dalam perubahan ini, sebagian besar menyerah karena tidak memiliki daya. PHK dan pengangguran, kemiskinan terjadi di seluruh negeri. Fakta menunjukkan SDM Indonesia ternyata sangat lemah. Padahal di era globalisasi dan abad informasi yang penuh dengan ketidakpastian dan persaingan, hanya SDM berkualitas yang bisa diandalkan untuk tetap survive. Bahkan bangsa ini telah mengalami krisis moral, kepercayaan dan identitas.
Maka kita harus berupaya bangkit dengan segala keterbatasan. Untuk itu kita harus memiliki semangat dan wawasan luas, yang sedini mungkin harus ditanamkan melalui mekanisme pendidikan untuk seluruh bangsa, terutama generasi muda. Terlepas apakah kita terlambat atau tidak, upaya memperbaiki budaya dan SDM harus menjadi prioritas, karena itulah potensi / modal terbesar kita saat ini. Dan ini hanya bisa dilakukan melalui pendidikan
Untuk menghadapi era informasi dan globalisasi dimana terjadi perubahan radikal dalam peradaban manusia, diperlukan pensikapan dan pemahaman terhadap perubahan. Artinya dunia pendidikan, sebagai tulang punggung pengelolaan dan pengembangan SDM, harus mau meninggalkan status quo dan belajar mengadopsi berbagai paradigma baru.
Proses Ini harus disadari sebagai suatu proses revolusi budaya dan cara berpikir yang membutuhkan keyakinan kuat, keteguhan hati, kejujuran, kreatifitas dan optimisme serta keberanian. Terutama untuk mengakui kelemahan dan kesalahan serta tentu saja pikiran dan hati yang terbuka terhadap semua masukan dari siapapun. Dan yang lebih penting lagi, adalah komitmen untuk bekerja keras menjadikan porses ini suatu kenyataan.
Bila kita ingin bangsa ini survive, maka semua ini bukanlah suatu pilihan, melainkan justru harus disadari bahwa hanya inilah satu-satunya jalan yang harus ditempuh.
Paradigma Perubahan Budaya, Penddikan, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Iptek adalah produk budaya, sehingga iklim kultural dan pola pikir suatu bangsa sangat menentukan perkembangan Iptek. Negara maju adalah contoh, dimana budaya yang demokratis berpengaruh kuat terhadap kemajuan Iptek. Indonesia punya kultur yang luhur yang seharusnya mampu mendorong suatu kemajuan.
Selama ini budaya justru disalahgunakan sebagai alat untuk menguasai dan membatasi. Untuk itu diperlukan reformasi dunia pendidikan untuk merubah budaya yang salah arah tersebut. Mengapa dunia pendidikan ? Karena melalui dunia pendidikan proses penyadaran dapat dilakukan secara sistemik. Kedua menyangkut sebagian besar generasi muda bangsa yang bakal menjadi jaminan bangsa ini di masa depan. Ketiga dengan pendidikanlah generasi muda dan masyarakat akan memahami pentingnya Iptek.
Semula dunia pendidikan kita dikooptasi kekuasaan sebagai alat indoktrinasi bangsa maka di masa sekarang dunia pendidikan harus ditempatkan pada posisi yang proporsional sesuai amanat pembukaan konstitusi kita. Yaitu mengemban misi mencerdaskan kehidupan bangsa untuk memberi kesejahteraan lahir dan batin. Slogannya adalah mencetak SDM yang berkualitas sekaligus memiliki imtaq.
Tahun 2003 pasar bebas ASEAN dimulai dan akan diikuti masuknya SDM asing dengan kualifikasi internasional untuk mengisi pasar profesional di negeri kita. Inilah tantangan yang nyata. Akibatnya pasar dunia kerja yang sudah sempit akan makin ketat persaingannya. Padahal angkatan kerja yang dihasilkan oleh dunia pendidikan kita saat ini boleh dibilang tidak memiliki keunggulan yang dapat diandalkan, apalagi pengalaman.
Perubahan budaya dengan pendekatan top down melalui kebijakan pemerintah memerlukan proses panjang dan tidak terjamin keberhasilannya. Sedang waktu kita sangat terbatas. Oleh karena itu masyarakat harus proaktif melakukan stimulasi langsung di lingkungan pendidikan. Dengan cara demikian perubahan budaya untuk menciptakan iklim kondusif bagi bangkitnya kembali dunia pendidikan nasional dapat dipercepat.
Langkah konkretnya adalah dengan mewujudkan semangat otonomi pendidikan seluas-luasnya. Dalam proses ini diperlukan keberanian para pelaku di jajaran struktural, peserta didik, keluarga dan masyarakat luas untuk melakukan inovasi dan improvisasi. Pemerintah tidak lagi menempatkan diri sebagai otorita melainkan sebagai fasilitator dan pengayom sekaligus penjamin kontinuitas proses demokratisasi ini. Sinergi diantara komponen ini diharapkan akan cepat menciptakan demokratisasi kependidikan yang kita harapkan.
j.Artikel 10
SD dan Menengah Desain Model Pendidikan
Dinas Pendidikan dan Pengajaran provinsi Papua kini tanpa henti-hentinya selalu melakukan berbagai strategi maupun terobosan dalam peningkatan SDM di Papua. Salah satunya melalui rapat koordinasi reviuw tentang rencana pengembangan pendidikan sekolah dasar dan sekolah menengah di 20 kabupaten dan kota.
st1\:*{behavior:url(#ieooui) }
Rapat koordinasi ini berlangsung di ruang meeting Hotel Musi, Entrop, Jumat (28/11). Rapat ini dihadiri Kepala Tata Usaha (KTU) Dinas P dan P Papua, Drs. Paul Indubri dan perencana dan pendata pendidikan dasar dan menengah dari 20 kabupaten dan kota.
Untuk itu, kata Paul dengan terlaksananya pertemuan ke II ini para peserta dari 20 kabupaten dan kota dapat menyusun program pendidikan dasar dan menengah terkait dengan akses mutu, bahkan diharapkan mereka dapat mendesain model pendidikan sesuai dengan kondisi wilayah masing-masing, setelah itu kemudian mereka dapat menyusun program lima tahun kedepan.
‘’Ini menjadi penting, kita sudah bisa melihat atau mengukur dalam kurun waktu 2-3 tahun keberhasilan pendidikan yang dicapai, seperti apa pencapaian angka partisipasi. Hal ini akan melahirkan gambaran keberhasilan kita sesudah program dilakukan,’’ kata Paul usai membuka rapat kordinasi reviuw tentang rencana pendidikan dasar dan sekolah menengah di Hotel Musi, Entrop, Jumat (28/11).
Dalam rapat koordinasi ini juga program-program tersebut dievaluasi guna mengetahui sampai sejauh mana keberhasilan yang dicapai. Dengan demikian nantinya dapat disusun program yang lebih kongkrit lagi.
Dikatakan rapat Koordinasi hanya diikuti 20 kabupaten dan kota, belum termasuk 9 kabupaten yang baru dimekarkan. Namun demikian ujar Paul, dalam rapat koordinasi tahun 2009 mendatang, ke 9 kabupaten akan ikut guna menyamakan persepsi dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan di tingkan sekolah dasar dan menengah.‘’Saat ini kita belum bisa menyebutkan bahwa program pendidikan dasar dan menengah berhasil, tetapi itu akan terlihat setelah 2-3 tahun mendatang. Dengan demikian nantinya kita sudah bisa menetapkan kebijakan yang tepat untuk ditetapkan kedepan’’.
k.Artikel 11
Dinas Pendidikan Menengah Dinilai Boros

Jakarta: Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan 56 penyimpangan sebesar Rp 25,984 miliar di Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi DKI Jakarta. Itu baru hasil pemeriksaan BPK pada semester kedua 2005, khusus kinerja Dinas pada tahun anggaran 2004.Anggota BPK Baharuduin Aritonang mengatakan, BPK telah mengeluarkan rekomendasi untuk setiap kasus yang ditemukan. Termasuk rekomendasi itu adalah pemberian sanksi kepada petugas yang terlibat dan pengembalian uang ke kas negara.BPK telah melaporkan semua temuan itu ke Dewan Perwakilan Rakayat Daerah (DPRD) DKI Jakarta. "Kami sudah laporkan. Selanjutnya Dewan yang harus mengejar," kata Baharudin.BPK membagi penyimpangan di Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi ke dalam dua kategori. Pertama, penyimpangan terhadap azas kehematan. Jumlahnya mencapai 33 kasus dengan nilai pemborosan sekitar Rp 5,713 miliar."Sebesar Rp 3,338 miliar tergolong merugikan keuangan negara," tulis BPK dalam dokumen laporan yang diterima Tempo.Termasuk dalam kategori pemborosan, misalnya, pembayaran ganda ganda akomodasi dan konsumsi pada loka karya peningkatan mutu SMA sebesar Rp Rp 437 juta, proyek pengadaan buku pelajaran dan perpustakaan kemahalan sekitar Rp 954 juta, dan pengadaan program Pesona Fisika dan Multimedia untuk SMA yang tidak sesuai aturan sebesar Rp 1,272 miliar.Jenis temuan kedua adalah penyimpangan yang mengakibatkan tak tercapainya tujuan program. Jumlahnya ada 33 kasus dengan nilai penyimpangan sekitar Rp 20,271 miliar. Dari jumlah itu, yang dianggap merugikan keuangan negara sekitar Rp 191 juta.Jadi, menurut BPK, Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi DKI Jakarta paling tidak harus mengembalikan uang ke kas negara sebesar Rp 3,529 miliar.Kepala Dinas Pendidikan Menengah Tinggi DKI Jakarta Margani M Mustar membantah ada penyimpangan di lembaganya. "Tak ada penyimpangan, tak ada kerugian negara," kata Margani kepada Tempo di kantornya, Jumat (2/6) malam.Awalnya, kata Margani, Dinas menyambut baik keinginan BPK memeriksa. "Kami senang, karena kami pikir akan mendapatkan feed back." Tapi, kata Margani, saat pemeriksaan itu berakhir, "Kami kecewa dengan hasil pemeriksaan BPK."Menurut Margani, temuan BPK-lembaga audit tertinggi negara-itu bertentangan dengan temuan Badan Pengawasan Daerah yang juga memeriksa Dinas Pendidikan Menengah pada periode yang sama, Lembaga audit tingak provinsi itu, kata Margani, sama sekali tak menemukan penyimpangan.Meski begitu, Dinas Pendidikan Menengah kini tengah meneliti ulang temuan BPK. Termasuk yang diteliti itu temuan pembayaran ganda akomodasi dan konsumsi workshop peningkatan mutu SMA."Kami heran mengapa kasus itu masih dipublikasi. Kami sebelumnya telah memberi tanggapan, itu sesuai anggaran dalam daftar isian proyek." Jika dalam penelitian ulang temuan BPK tidak terbukti, kata Margani, "Dinas tak akan mematuhi rekomendasi BPK."
L.artikel 12
Program Keahlian yang Dikembangkan di SMK

Beberapa kelompok bidang atau program keahlian baru yang dikembangkan pada Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang sudah ada dan unit pelaksana teknis (UPT). Berdasarkan urutan terbanyak, meliputi:

1.Teknologi Informasi dan Komunikasi.
2.Teknologi Industri, khususnya program analisis kimai, geologi, pertambangan, teknik bangunan, teknik otomotif, pemesinan kapal, dan teknologi kapal niaga.
3.Perikanan dan Kelautan, khususnya nautika, perikanan laut, aqua cultur, dan tekologi hasil perikanan.
4.Pertanian, khususnya untuk program budi daya kelapa sawit.
5.Pariwisata, khususnya untuk program akomodasi perhotelan, tata busana, dan tata kecantikan.
6.Kelompok Program Bisnis dan Manajemen, diprioritaskan untuk program penjualan, akutansi perbankan, dan kewirausahaan.

Bidang keahlian untuk program SMK PPKT dan commuity college:

a.Kelompok Teknologi Industri meliputi teknik las, teknik komputer, otomotif, disain grafis periklanan, dan teknik konstruksi kayu.
b.Kelompok Teknologi Komunikasi dan Informasi meliputi, teknologi informatika, teknik informatika komputer, dan teknik audio video.
c.kelompok Pariwisata meliputi tata busana, bahasa Mandarin, bahasa Jepang, akomodasi perhotelan, usaha jasa pariwisata, dan tata boga.
d.Kelompok Pertanian meliputi, pembenihan udang windu dan budi daya tanaman.
e.Kelompok Bisnis dan Manajemen meliputi, akuntansi perpajakan, akuntansi jasa, akuntansi keuangan, dan marketing.
f.Kelompok Seni dan Kerajinan meliputi kria tekstil.
m.Artikel 13
Ujian kejujuran pada pendidikan menengah
Minggu-minggu ini, dunia pendidikan kita tengah disibukkan dengan penyelenggaraan Ujian Nasional (UN), baik tingkat SLTA maupun SLTP. Untuk tingkat SLTA telah berlangsung minggu lalu dan kita dikejutkan dengan adanya berita perbuatan curang beberapa oknum kepala sekolah dan guru untuk alasan “menolong” siswanya supaya mendapatkan nilai yang baik.
Mengapa sampai terjadi “perbuatan tidak terpuji” seperti itu? Bukankah kejadian serupa pun terjadi pada UN tahun lalu, dimana beberapa oknum guru tengah mengerjakan soal UN untuk menggantikan hasil kerjaan siswanya dan kemudian tertangkap tangan oleh Densus 88 antiteror. Tidakkah hal tersebut mejadikan pelajaran berharga? Belum lagi bentuk-bentuk kecurangan yang lain yang mungkin tidak kita temui tetapi dapat “dirasakan” aromanya.Mengapa tiap kali pelaksanaan UN banyak pihak mengalami stress, mulai dari orang tua murid, guru dan bahkan kepala sekolah? Bagi orang tua murid jelas mereka cemas, takut putra-putrinya tidak lulus. Bagi guru dan kepala sekolah barangkali terkait dengan reputasi diri dan sekolah yang bersangkutan. Belum lagi bila keberhasilan (dengan tingkat kelulusan tertentu), taruhannya adalah kedudukannya, jelas ini merupakan sesuatu yang “masuk akal” bila kemudian guru dan kepala sekolah merasa was-was dengan hasil UN.
Apakah hal tersebut merupakan justifikasi pentingnya pengawas dan pemantau independent dalam UN? Seperti kita ketahui, akhir-akhir ini, pelaksanaan UN harus diawasi oleh Pengawas Independen untuk ”menjamin” pelaksanaan UN berlangsung dengan fair. Walaupun ini tidak menjadi jaminan karena kebocoran bisa terjadi di banyak lini yang tidak terjangkau oleh pengawas independen. Namun dengan adanya pengawas independen menunjukkan bahwa paling tidak pelaksanaan UN yang sudah-sudah dicurigai tidak berlangsung dengan jujur, sebagaimana terlihat dari beberapa kasus dalam UN.
Yah, itulah keprihatinan kita. Kejujuran pelaksanaan UN sudah diragukan sehingga perlu adanya pengawas independen. Laksana pemilu saja, yang memerlukan pengawas dan pemantau independen demi pemilu yang LUBER. Jika dari tingkat sekolah sudah diawali dengan ketidakjujuran, lantas bagaimana dengan kelanjutannya? Inilah krisis pendidikan kita yang sesungguhnya. Sekolah, atau tepatnya pendidikan sudah menjadi objek penderita. Sekolah sudah menjadi ajang permainan pejabat politik, lebih-lebih menjelang pemilu, para petinggi daerah mematok target tertentu. Kedudukan guru dan kepala sekolah menjadi terancam oleh tindakan politis para pejabat politik sehingga untuk mengamankan kedudukannya bertindaklah di luar kejujuran, kasak-kusus tak tentu arah. Nilai-nilai kemandirian dan kejujuran dalam proses pendidikan selama tiga tahun hilang seketika hanya beberapa hari. Proses pendidikan yang juga berlangsung selama 3 tahun harus ditentukan oleh ujian ”kognitif” beberapa hari saja. Sekolah (guru dan kepala sekolah) benar-benar tidak memiliki akses untuk menilai dan menentukan kelulusan murid. Padahal mereka yang tahu persis akan siswa-siswanya. Sebuah sistem yang patut untuk dievaluasi
n.Artikel 14
Subsidi Pendidikan Dasar dan Menengah Perlu Diperbesar

Solo, Kompas - Pendidikan dasar dan menengah seharusnya menerima subsidi pendidikan lebih besar daripada pendidikan tinggi karena diikuti hampir seluruh anak usia sekolah di Indonesia. Karena itu, secara bertahap pendidikan menengah akan diberikan secara gratis seperti halnya pendidikan dasar.
Menteri Pendidikan Nasional A Malik Fadjar menjanjikan hal tersebut seusai membuka Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (Pimnas) XVI di Kampus Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Kamis (24/7). Ia didampingi Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas Satryo Sumantri Brodjonegoro dan Rektor UNS HM Syamsulhadi.
"Seharusnya siswa pendidikan dasar dan menengah, terutama program wajib belajar sembilan tahun, tidak dikenakan biaya apa pun," katanya.
Secara logika, subsidi pendidikan dikurangi seiring naiknya jenjang pendidikan digabung dengan pembiayaan dari orangtua dan masyarakat.
"Sekarang kondisinya terbalik. Subsidi pendidikan untuk mahasiswa perguruan tinggi justru lebih besar dari subsidi untuk siswa sekolah dasar dan menengah," ujar Malik.
Kurang tepatnya pemberian subsidi itu telah menjadi bahan kritik sejak awal 1970-an, sejak Indonesia mencanangkan pembangunan. Karena itu Mendiknas mengungkapkan, pemerintah akan berupaya mendekati kondisi ideal itu. Konsepnya kira-kira untuk sekolah dasar tidak dipungut biaya. Dengan demikian, jenjang pendidikan itu dapat diikuti hampir seluruh anak usia sekolah di Indonesia.
Untuk jenjang SMU, siswa membayar 25 persen sampai 50 persen biaya pendidikan. Mahasiswa perguruan tinggi menanggung 50-75 persennya. Alasannya, semakin tinggi pendidikan yang ditempuh semakin besar biaya yang diperlukan.
Pimnas yang bertema "Satukan Tekad Tingkatkan Prestasi Ilmiah untuk Tingkatkan Daya Saing Bangsa" ini berlangsung hingga Sabtu (26/7). Menurut Pembantu Rektor III UNS Totok Sarsito, jumlah peserta Pimnas 1.500 orang. Peserta lomba 725 orang dari 48 perguruan tinggi.
Sehari sebelumnya, Direktur Pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas Prof Dr Ir Dodi Nandika MS memaparkan, hasil penelitian perguruan tinggi masih sulit menembus dunia usaha karena belum adanya jembatan yang bisa menyambungkan hasil perguruan tinggi dengan kebutuhan pasar/industri.
Karena itulah Pimnas akan menghadirkan juri dari kalangan pengusaha. "Yang menilai jangan hanya ilmuwan, tetapi juga orang bisnis yang bisa melihat karya mana yang mempunyai potensi ekonomi," kata Dodi.
o.artikel 15
Pendidikan Dasar (dan Menengah) untuk Rakyat Miskin

Wendell Johnson, ahli psikologi klinis Universitas Iowa, AS, pernah memberikan empat nasihat supaya orang tidak terkena gangguan jiwa. Salah satunya adalah jangan mengacaukan kata dengan rujukannya. Kata itu bukan rujukan. Kata hanya mewakili rujukan.
Sejak dahulu, pemerintah dan pejabat sangat pandai dalam memainkan kata-kata. Ketika pejabat X ditahan dikatakan bahwa dia tidak ditahan tapi hanya ”diamankan”. Dan ketika didapati di suatu daerah terdapat banyak orang miskin cukup dikatakan bahwa daerah itu ”rawan pangan”.
Permainan kata-kata itu rupanya berlanjut sampai sekarang. Rencana kenaikan penghasilan pimpinan DPR sebesar Rp 85 juta dan Rp 46 juta untuk anggota DPR tidak dikatakan kenaikan gaji, tapi hanya kenaikan tunjangan. Meski rujukannya sama, yaitu kenaikan keuangan.
Di bidang pendidikan, permainan kata-kata oleh pemerintah tidak kalah dahsyat. Sekolah percontohan, sekolah teladan, pendidikan dasar gratis, dan kata-kata promotif lainnya menghiasi dunia (kata-kata) pendidikan. Namun, mayoritas kata-kata itu sama sekali tidak mencerminkan rujukannya. Terjadi perbedaan yang sangat jauh antara kata-kata dan rujukannya.
Contoh paling mutakhir dari perbedaan antara kata dan rujukan adalah kata-kata ”pendidikan dasar gratis”. Kata ini seharusnya merujuk pada penyelenggaraan pendidikan di tingkat dasar dan menengah (SD dan SLTP) tanpa dipungut biaya apa pun. Pendidikan dasar mempunyai pengertian tingkat dasar dan menengah, sedangkan gratis berarti tanpa pungutan. Entah itu pungutan pendaftaran (apalagi pendaftaran ulang), pengadaan buku ajar, atau pungutan (baca: sumbangan) pengadaan gedung, dan pungutan (baca: iuran) pelaksanaan ujian.
Pada kenyataannya kata itu tinggal kata, sama sekali tidak mencerminkan rujukannya. Penyelenggaraan pendidikan di tingkat dasar dan menengah yang diadakan oleh SD/MI dan SMP/MTs negeri sama sekali tidak berlaku seperti itu. Di Kota Malang misalnya, untuk pendaftaran SD/MI tingkat standar dibutuhkan lebih kurang Rp 700.000 dan untuk SD/MI favorit lebih dari Rp 1 juta. SMP/MTs standar butuh biaya Rp 1 juta, dan tentunya yang favorit lebih dari itu.
Pada hari Senin tanggal 11 Juli 2005, saya mencoba mengecek pembiayaan pendaftaran pada sejumlah SD dan SLTP. Ada beberapa kepala sekolah yang sudah berani menentukan biaya itu dan sebagian masih menjawab secara diplomatis, ”Masih menunggu rapat dengan komite sekolah.” Itu pun dibarengi pernyataan bahwa pada tahun lalu biaya pendaftaran Rp 600.000 (SD/MI) dan Rp 800.000 (SMP/MTs). Sepertinya para kepala sekolah mengatakan, ”Kalau tahun kemarin segitu, tahun ini, ya, di atas itu sedikitlah....”
Realita biaya mahal untuk pendidikan dasar dan menengah bukan realita di Kota Malang saja. Saya yakin itu merupakan realita di seantero Nusantara. Kecuali (mungkin) di Kabupaten Jembrana, Bali, yang mendapat penghargaan Museum Rekor Indonesia sebagai kabupaten pertama yang menyelenggarakan pendidikan dasar gratis di Indonesia.
Di belakang realita itu, yang perlu diketahui adalah bahwa pembiayaan mahal untuk penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah tersebut didukung oleh UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam UU Sisdiknas, kepala sekolah dan guru diberi peluang untuk berkreativitas dalam pembiayaan sekolah. Berarti, kalau suatu ketika kepala sekolah dan guru menarik biaya mahal dari calon murid dan muridnya, pemerintah tidak bisa menegur (FX Wahono, Kompas, 12 Juli 2005).
Implikasi logis dari dukungan UU Sisdiknas bahwa selama beberapa tahun ke depan pembiayaan pendidikan dasar dan menengah masih sangat mahal. Oleh karena itu, daripada nanti kecewa, para wali murid lebih baik tidak mengharapkan turunnya biaya pendidikan, apalagi pendidikan dasar dan menengah gratis terealisasi dengan segera.

Salah seorang teman kami (baca: guru) yang duduk di Komisi C DPRD Kota Malang memberitakan bahwa Pemerintah Kota Malang benar-benar merealisasikan pendidikan dasar dan menengah gratis. Prosedur pemanfaatan subsidi pendidikan itu akan didapatkan masyarakat apabila peminta subsidi mengurus surat tidak mampu dari tingkat RT, RW, kelurahan sampai kecamatan. Kemudian mengajukan ketidakmampuan itu kepada kepala sekolah di sekolah yang akan dimasuki anaknya.
Menurut dia, apabila kepala sekolah tidak mau menerima, ia akan menelepon kepala dinas pendidikan dan kepala sekolah bersangkutan. Dan ia akan menjamin bahwa anak peminta subsidi tidak akan dipungut biaya sepeser pun.
Kalau prosedur penyelenggaraan pendidikan seperti itu yang dimaksudkan dengan pendidikan dasar dan menengah gratis, maka—menurut hemat kami—kata itu tidak mewakili kenyataan. Justru penggunaan kata atau istilah program pendidikan untuk masyarakat miskin atau masyarakat tidak mampu, atau masyarakat kalangan ekonomi lemah, malah lebih mendekati makna denotatif—sekaligus makna konotatifnya—dari ”prosedur subsidi” tersebut.
Sebagai bangsa yang salah satu prioritasnya adalah integritas dan kestabilan bangsa dan negara, kita perlu untuk tidak mengacaukan kata dengan rujukannya. Mengingat kembali petuah doktor Wendell, hal itu secara personal bisa menyebabkan gangguan jiwa. Artinya, secara komunal hal itu menumbuhkan bibit disintegrasi dan ketidakstabilan (jiwa) bangsa ini.

Tidak ada komentar: